Untukmu Sejenak
FAIQ MIFTAKHUL
FALAKH
Untukmu yang sedang mencari inspirasi,
Saya katakan di
awal tulisan ini bahwa apa yang akan saya sampaikan mungkin tidak akan membuat
kau kagum, lalu berkata “wow”. Ya, karena saya bukan siapa-siapa. Kau juga tidak usah
berekspektasi terlalu tinggi tentang seorang Faiq Miftakhul Falakh. Saya bukan
mahasiswa UI dengan IPK nyaris 4.0, bukan ketua atau BPH organisasi mahasiswa
level UI, bukan juga tiga besar mapres (mahasiswa berprestasi)
fakultas, apalagi mapres UI. Saya juga belum pernah ikut konferensi di luar negeri.
Saya hanya akan bercerita dan berbagi tentang diri saya, tentang kenyataan
sejarah kecil yang saya rasakan di dunia yang terlalu besar ini. Jika kau punya waktu luang, bacalah perlahan kisah saya sambil tersenyum. Jika tidak, lewati saja tulisan ini lalu
baca tulisan teman-teman saya yang lebih hebat dan menginspirasi
pada halaman-halaman berikutnya.
Ketika kau baca paragraf ini, artinya
di antara kita sudah terjalin komitmen. Ya, kau masih saja membaca celotehan
ini meski sudah saya peringatkan di awal. Artinya, kau juga sedang punya waktu
yang cukup luang untuk mendengar kisah-kisah yang akan saya ceritakan.
Konsekuensinya, saya sangat berharap engkau benar-benar membaca dengan wajah
segar penuh senyuman.
Untukmu yang ingin tahu lebih banyak
alias kepo,
Saya selalu bangga dengan nama
pemberian orang tua saya. Dalam bahasa Arab, Faiq artinya istimewa, Miftakhul artinya
kunci, dan Falakh artinya
kemenangan. Jika dirangkai, nama saya berarti kunci kemenangan yang istimewa. Belum pernah saya tanyakan apa yang
sebenarnya mereka (orang tua) harapkan dengan nama cool
tersebut. Tapi saya yakin, mereka mendoakan saya supaya saya selalu jadi
pemenang di mana pun medan perangnya, termasuk kelak menjadi pemenang di hati dia yang
menunggu di sana (kode).
Untukmu yang ingin segera menyimak
kisah saya,
Dulu ketika kelas XII SMA, saya diberi
kesempatan mewakili kota Tegal dalam lomba Keteladanan Siswa tingkat Provinsi
Jawa Tengah. Ketika sesi wawancara terkait kepemimpinan, saya ditanya oleh jurinya seperti ini.
“Berapa jumlah temanmu di
sekolah?”
Saya jawab, “Kira-kira 150, Pak.”
Dalam otak saya, definisi teman yang
saya pikirkan adalah orang-orang yang saya kenal. Selain itu mereka juga mengenal saya. Saya dan orang yang saya kenal pernah minimal berinteraksi meski cuma sekali. Jadi, saya
jawab kira-kira sejumlah itulah teman saya yang ada di sekolah.
“Selanjutnya, berapa jumlah temanmu di
rumah?”
Waduh,
saya baru sadar kalau saya hanya punya sedikit teman di sekitar rumah. Mungkin
karena saya baru pindahan dan saya jarang sekali keluar rumah. Jadi, hanya
sedikit orang yang memiliki definisi teman seperti yang saya rangkai di atas.
Akhirnya, saya jawab, “Dua puluh, Pak.”
Bapak juri di depan saya tidak berkomentar.
Beliau malah kembali bertanya,
“Di antara kamu, teman-teman sekolahmu, dan teman-teman rumahmu, siapa yang
paling pantas dijadikan teladan?”
Eh, ini Bapak susah sekali memberi
pertanyaan. Untuk sejenak, saya diam. Saya berpikir jika saya menjawab “saya”, akan terlihat sombong.
Padahal, masih banyak hal dalam diri
saya yang harus diperbaiki. Selain itu, masih
banyak teman-teman saya yang lebih baik. Akan tetapi, saya
berpikir apa salahnya menjawab “saya”. Saya toh tidak akan bertemu Bapak ini
lagi, atau mungkin ini adalah lomba terakhir tingkat SMA yang bakal saya
ikuti. Akhirnya, kalimat yang keluar dari mulut saya adalah, “Saya”.
Lagi-lagi si Bapak tidak berkomentar.
Beliau bertanya kembali, katanya pertanyaan terakhir. “Berapa persen kamu yakin jadi juara pada
lomba keteladanan siswa ini?”
Sepertinya memang si Bapak hobi
menanyakan pertanyaan yang membingungkan untuk dijawab. Akhirnya, karena saya
sudah terlanjur pesimis dan hopeless untuk menang, saya jawab,
“98%.”
“Yang 2% ke mana?”
“Untuk kekurangan-kekurangan saya,
Pak.”
Untukmu yang ingin tahu banget akhirnya saya juara berapa,
Saya katakan dahulu kalau lomba ini
sangat prestisius. Bagaimana tidak prestisius, kau berkompetisi dengan siswa
teladan utama dari 38 kota dan kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah. Apalagi,
saya adalah siswa paling minder,
karena kelemahan saya banyak, terlalu banyak bahkan jika dibandingkan peserta
lain. Sebelum pengumuman juara, Bapak juri yang mewawancarai saya tiba-tiba
tampil di depan semua peserta memberikan sambutan. Kata-kata beliau yang masih
saya ingat adalah,
“Kemarin, ketika
sesi wawancara terkait kepemimpinan, saya menanyakan pertanyaan yang sama
kepada setiap peserta, yaitu ‘berapa
persen kamu yakin jadi juara pada lomba ini?’ Sangat disayangkan, hanya
segelintir dari kalian yang dengan mantap menjawab di atas 80%. Saya tidak tahu apakah sebagian besar dari kalian terlalu minder, malu, atau tidak mau dianggap sombong. Satu hal yang pasti,
kehadiran kalian di ruangan ini, menunjukkan bahwa kalian pantas 100% menjadi teladan bagi yang lain.”
Finally, justru karena pesimisme saya, dewan juri mengumumkan bahwa
saya menjadi juara III dalam kompetensi bergengsi itu. Tubuh saya pun menjadi
dingin, benar-benar tidak bisa dipercaya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?1
Saya mencuplik sepenggal episode
kehidupan saya di atas karena selalu mengingatkan saya bahwa kepemimpinan tak
akan lepas dari keteladanan. Belajar dari The
Greatest Leader ever, Rasulullah saw., tak ada satu pun cela dari
perkataan maupun tindakan beliau sebagai pemimpin seluruh umat. Beliaulah sosok
yang paling pantas dijadikan contoh karena setiap perbuatannya adalah
kebaikan, akhlaknya adalah Alquran. Daripada terkagum-kagum pada Superman,
Spiderman, Iron Man—saya terjemahkan bebas menjadi Manusia Setrika—Captain Amerika, dan
gerombolan The Avenger yang semuanya hanya khayalan dan tak ada bedanya dengan
sinteron naga di Indo*iar, bukankah lebih baik mengagumi Rasulullah?
Kepemimpinan
adalah hasil tanya jawab saya terhadap Whitney
Houston2 berikut:
Everybody's
searching for a hero (ya, bener)
People
need someone to look up to (oke, oke)
I never
found anyone who fulfilled my needs (ada, kok,
beliau bernama Muhammad saw. Belum pernah baca shiroh, nih, orang.
Untukmu yang mungkin sudah bilang “wow.”
Tidak usah kau bayangkan bahwa
kehidupan saya di kampus UI juga penuh dengan gemerlap prestasi. Pikiran, jiwa,
tenaga, dan raga saya rupanya lebih tersita oleh makhluk menawan nan mempesona
bernama Sintesa, singkatan dari Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara. Gila, saya
benar-benar terpikat padanya. Sampai-sampai saya enggan ikut organisasi semacam
BEM UI atau UKM yang lain seperti Futsal, Kriket, apalagi Liga
Tari.
Saya memiliki
kesadaran dari awal masuk UI bahwa mengurus Sintesa, yang tidak dibatasi waktu,
akan lebih besar pahalanya daripada mengurus organisasi kampus yang sifatnya
tahunan itu. Sintesa yang membela hak siswa Tegal, apalagi
yang kurang mampu, untuk bisa kuliah dengan layak di UI dan kampus lain, lebih menarik hati saya daripada organisasi
kampus yang membela proker-prokernya. Sintesa yang akhirnya adalah paseduluran (persaudaraan), lebih bermakna bagi saya daripada organisasi kampus yang ending-nya adalah LPJ dan makan-makan3.
Menjelang akhir
tahun 2010, segenap warga Sintesa berkumpul di basecamp Sintesa untuk mengadakan Musyawarah Akhir Tahun (MuAT)
dalam rangka memilih ketua Sintesa periode berikutnya. Dengan proses musyawarah yang memakan waktu cukup lama karena disertai pula dengan saling lempar argumen dari berbagai isi kepala, Sintesa
memilh saya sebagai ketua. Jika saya katakan Sintesa memilih saya, artinya
bukan sekadar prosesi kelembagaan, tapi juga manusia-manusia yang
terikat jiwa Sintesalah yang memberikan amanah itu kepada saya.
Di awal kepengurusan, nampaknya saya
belum mengenal dengan benar sosok Sintesa yang saya kagumi itu. Seperti
lumrahnya kepengurusan yang baru berjalan, saya dan pengurus inti
Sintesa melakukan ritual penyusunan proker (program kerja) untuk satu tahun ke depan.
Kami berusaha profesional, meski sebenarnya tak ada insentif juga untuk apa
yang kami lakukan4. Program yang kami susun hanya
berdasar program tradisi tahunan yang ditambah dengan imajinasi
monoton dari pikiran-pikiran kami. Program eksternal tahunan untuuk siswa
dan masyarakat Tegal seperti Try Out Sintesa, SGTT (Sintesa Goes To Tegal), dan
SBB (Sintesa Belajar Bareng) sangat minim inovasi dan
miskin kreativitas.
Mendekati masa akhir kepengurusan, saya baru sadar dan merasa lebih
mengenal Sintesa. Untuk program internal, harusnya saya dan pengurus
menyediakan waktu dan energi sehingga dapat benar-benar
mendengar apa yang diinginkan para anggota Sintesa. Begitu pula untuk program
eksternal, harusnya saya dan Sintesa benar-benar menyentuh masyarakat Tegal dan
menyimak apa hal yang paling mereka butuhkan. Jika hal seperti ini dilakukan, kebijakan yang dikeluarkan pengurus
Sintesa dapat benar-benar tepat sasaran.
Saya sendiri selalu menganggap Sintesa
sebagai paguyuban, bukan sebagai organisasi. Definisi organisasi dan paguyuban sangat berbeda.
Organisasi secara umum adalah kelompok yang secara bersama-sama ingin mencapai
suatu tujuan. Definisi ini dipersempit oleh definisi
Cyrill Soffer, Kast Rozenzweig yang menekankan pada orientasi pembagian tugas,
hasil, dan penekanan tujuan. Sedangkan paguyuban adalah perkumpulan para
pekerja ahli yang alamiah dari masyarakat5. Sistem
paguyuban mewakili gerak hati alamiah masyarakat untuk memerintah dirinya
sendiri menghadapi perubahan-perubahan mengikut perkembangan dan kemajuan.
Tentu saja kemudian paguyuban secara konkret akan
menjadi semacam keluarga tanpa menunggu kebijakan dari pemerintah6. Paradigma
paguyuban ini membuat saya selalu berusaha menjadikan Sintesa penuh kenyamanan
bagi para anggotanya.
Kepemimpinan di Sintesa juga sangat
berbeda. Belajar bersama Sintesa, artinya belajar bermasyarakat, bukan sekadar
belajar berorganisasi. Kau harus paham keunikan tiap individunya dan keunikan
komunitas-komunitas kecil di Sintesa. Kau harus paham pula apa
yang sebenarnya diinginkan oleh segenap anggota Sintesa. Kau harus menjadi
figur yang menyenangkan bagi semua anggota dan mengerti pendekatan yang berbeda
untuk tiap kepala.
Ketika bersentuhan dengan masyarakat
Tegal, Sintesa juga harus berpikir panjang untuk selalu menjaga hubungan baik dan silaturahmi. Sintesa
tak akan pernah kehilangan “pasar”-nya. Tiap tahun siswa Tegal selalu berganti sehingga selalu saja ada beberapa siswa yang punya mimpi berkuliah di
UI atau kampus “menara gading” lainnya. Jadi, sebenarnya apapun yang
dibawa Sintesa bagi mereka—terkait pendidikan tentunya—selalu
memiliki daya tarik abadi. Di satu sisi, Sintesa tidak bisa menampik bahwa
Pemerintah Kota Tegal, Kepala Sekolah di SMA-SMA, maupun para guru BK-nya tiap
tahun dijabat oleh manusia-manusia yang itu-itu saja,
tak pernah berganti. Di sisi lain, warga Sintesa, yang notabene adalah
mahasiswa, sangat dinamis sehingga selalu
berganti tiap tahunnya. Satu kesalahan interaksi dengan beliau-beliau di Tegal
itu, bisa berdampak pada reputasi Sintesa untuk jangka panjang.
Saya percaya apa yang dikatakan Mas Adi
Jaya (senior Sintesa), bahwa para anggota Sintesa adalah bibit-bibit terbaik
yang kelak akan menghasilkan buah yang baik pula. Tidak berlebihan kalau
buah-buah yang baik itu dirasakan oleh akar pohonnya, yaitu masyarakat Tegal
dan sekitarnya7. Saya sendiri sadar akan kemampuan dan sudah jenuh
dengan kemacetan abadi serta pekatnya kehidupan di Jakarta.
Untukmu yang sedang membaca (you don’t
say),
Jangan lupa konsekuensinya untuk tetap
tersenyum. Bukan maksud saya menjadikan tulisan ini makin serius dan ilmiah,
tapi kalau sudah bercerita tentang Sintesa dan visi besarnya membangun Tegal
melalui pendidikan, beginilah jadinya. Masih
memakmumi senior saya mas Adi Jaya, daripada K2N jauh-jauh ke pelosok
Nusantara, saya lebih memilih K2N selamanya di kampung halaman tercinta.
Catatan
1
Qs. Ar-Rahman
2
Lagu Greatest Love of All,
dipopulerkan oleh Whitney Houston.
3 Budi Mulyawan.
2011. “Sintesa: Kenyataan Sejarah Kecil di Dunia yang Terlalu Besar”
4 Definisi profesional berdasarkan KBBI adalah mengharuskan adanya pembayaran untuk
melakukannya
5 Budi Mulyawan. 2011.
“Sintesa: Sebuah Teori Nilai Kebersamaan”
6 Ibid.
7 Adi Jaya Rizkiawan.
2011. “Sintesa, Sebagaimana Aku Memandangnya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar