Am I a Leader?
EKANING
WEDARANTIA
Apa yang terlintas dalam pikiran Anda
jika disebut kata pemimpin? Presiden? Gubernur? Walikota?
Bupati? Camat? Lurah? Pak RW? Pak RT?
Mungkin setiap orang akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda atas
pertanyaan itu. Tapi, bagi saya, pemimpin itu sederhana.
Kita tidak perlu mencari sosok yang jauh dari diri kita karena sebenarnya
setiap kita diciptakan sebagai pemimpin. Klasik mungkin, tapi itulah kenyataannya.
Islam mengatakan bahwa setiap manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi
ini. Manusia dikaruniai akal dan pikiran sebagai pembeda dengan makhluk
lainnya. Oleh karena keistimewaan itulah, manusia ditakdirkan sebagai pemimpin.
Pemimpin yang paling sederhana adalah
pemimpin bagi dirinya sendiri. Selain
dikaruniai akal dan pikiran, manusia juga dikaruniai nafsu. Manusia yang
berhasil menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri adalah manusia yang bisa
mengendalikan nafsunya dengan memaksimalkan peran akal dan pikiran yang
dipunyai. Ada ungkapan yang mengatakan, “Seorang pemimpin harus selesai dengan
dirinya sendiri.” Bagaimana kita bisa memimpin orang lain jika kita masih
bermasalah dengan diri kita sendiri? Hal itu berarti, sebelum kita dapat
memimpin orang lain, kita harus menjadi pemimpin bagi diri
kita sendiri.
Seorang pemimpin tidak selalu
membutuhkan jabatan karena seorang pemimpin memberikan dampak pada orang di sekelilingnya
tanpa diangkat menjadi pemimpin resmi sekalipun. Contoh kecilnya adalah anak-anak. Ketika SD, kita sering
berinteraksi dengan teman-teman kita. Suatu ketika, ada seorang teman yang mengalami musibah
sakit. Seorang anak yang mempunyai sifat pemimpin pasti akan berinisiatif
menggerakkan teman-temannya untuk menjenguk atau minimal mendoakan temannya
yang sedang sakit. Itulah salah satu sifat seorang
pemimpin yang sederhana, inisiatif. Seorang pemimpin mempunyai inisiatif yang
tinggi untuk memulai sesuatu. Sesuatu yang belum terpikirkan oleh orang lain—namun
telah terpikirkan olehnya—sehingga timbul keinginan mengajak
orang lain untuk melaksanakan sesuatu.
Semenjak SD saya dipanggil “Mbak”,
sebutan untuk kakak perempuan yang lebih tua atau dituakan dalam budaya Jawa.
Sebenarnya saya juga bingung kenapa saya dipanggil demikian. Entah karena saya
memang lebih tua dari teman-teman saya atau saya dianggap lebih dewasa oleh
mereka. Mungkin karena anak pertama, sifat dewasa mau tidak mau tertanam
dalam diri saya. Tidak terasa sifat itu saya bawa ketika bergaul dengan
teman-teman saya. Semenjak SD, saya senang berinteraksi dengan
teman-teman sebaya. Saya memiliki kemampuan menginisiasi mereka untuk menjenguk teman ketika
sakit, memberi kado ulang tahun, hingga menciptakan budaya arisan di antara
teman-teman perempuan. Oleh karena itu, saya
sering dipercaya menjadi ketua kelompok bahkan beberapa kali saya menjabat sebagai ketua kelas.
Kepemimpinan
saya dipandang agak keras oleh teman-teman. Namun,
ternyata kepemimpinan yang keras dan tegas itulah yang diperlukan untuk
mengendalikan teman-teman laki-laki yang sedikit bandel serta tidak
mempan dinasihati oleh sesama anak laki-laki. Dari pengalaman itu, saya dapat menyimpulkan bahwa
seorang pemimpin harus mampu membaca keadaan dan memahami
bagaimana kondisi dan sifat orang-orang yang akan dipimpinnya. Apabila hal ini telah diterapkan,
pemimpin akan dengan mudah memutuskan cara
memimpin yang dapat diterapkan pada orang-orang di sekitarnya.
Saat SMP, saya
lebih banyak belajar tentang kepemimpinan. Saya mulai senang untuk mengikuti
sejumlah organisasi, seperti OSIS, Pramuka, Drum Band, dan seni tari. Di sana, saya
belajar banyak tentang kerja sama, tentang bagaimana seorang
pemimpin harus mampu bekerja sama dengan bawahannya. Saya menjadi mengerti kemauan bawahan sehingga mudah mengarahkan bawahan pada tujuan organisasi.
Di
OSIS, saya dipercaya memegang jabatan sebagai Kepala Bidang VIII
Apresiasi dan Kreasi Seni. Mungkin kepercayaan itu diberikan kepada saya karena saya aktif
pada bidang seni tari dan beberapa kali dipercaya menjadi ketua kelompok sejumlah pagelaran tari. Walaupun di OSIS SMP, seorang
siswa hanya berperan 50% sampai 75% dalam pelaksanaan tugas
organisasi, saya tetap dapat belajar banyak tentang kepemimpinan.
Selain itu, saya juga belajar hidup
mandiri melalui pramuka. Di sana, saya belajar hidup di alam bebas. Pengalaman saya membuat saya mengerti bahwa seorang
pemimpin membutuhkan sikap mandiri. Akan ada suatu masa ketika kita
tidak mempunyai orang lain untuk bergantung. Di situlah
sifat mandiri seorang pemimpin dibutuhkan.
Ketika SMA, saya
ketagihan untuk mengikuti organisasi. Saya tertantang untuk menambah
pengetahuan dan pengalaman saya di bidang kepemimpinan. Saya memutuskan untuk
masuk OSIS SMA Negeri 2 Madiun. Selain itu, saya
juga sempat mengikuti ekstrakurikuler pencak silat dan kerohanian
Islam. OSIS yang saya rasakan ketika SMA sangat berbeda dengan OSIS yang saya emban ketika SMP. Di SMA, peran
siswa sangat besar. Hampir 95% kegiatan organisasi dipegang
oleh siswa. Di sini, saya belajar tentang tanggung jawab.
Seorang pemimpin harus mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa
yang dia pimpin.
Di kelas XI
SMA, saya dipercaya menjabat sebagai Kepala Bidang IV Kepribadian
dan Budi Pekerti Luhur. Program kerja (proker) besar saya adalah menjadi Kepala
Pelaksana Masa Orientasi Siswa. Ketika menjabat sebagai ketua bidang, saya belajar bagaimana mengarahkan anggota. Seorang
pemimpin harus dapat mengarahkan kinerja anggota. Sebagai seorang
pemimpin, tugasnya bukan hanya memerintah ataupun menuntut anggota, melainkan juga menjadi rekan yang paling dekat dengan anggota. Pemimpin merupakan tempat berkeluh
kesah anggota. Selain itu, seorang pemimpin harus dapat memotivasi dirinya
sendiri dan anggotanya. Seorang pemimpin harus dapat membangkitkan kembali
semangat anggotanya yang mulai turun. Oleh
karena itu, seorang pemimpin haruslah selalu mempunyai semangat tinggi.
Ketika
melaksanakan tugas sebagai ketua pelaksana Masa Orientasi Siswa, saya
belajar tentang bagaimana membangun team work, mempercayai orang
lain untuk mencapai visi bersama, dan menggerakkan orang
lain agar rela bersusah payah bersama pula. Dalam
sebuah tim, diperlukan kekuatan internal sebelum bertempur
melaksanakan tugas-tugas yang berat. Kekuatan sebuah tim
dimulai dari bagaimana pemimpin menyatukan bawahannya agar menjadi tim yang
solid dan memiliki rasa kekeluargaan. Saya beruntung karena mempunyai
rekan-rekan yang solid dan bersahabat sehingga beban dan pekerjaan yang berat
terasa ringan karena dikerjakan berlandaskan rasa kekeluargaan.
Foto 1. Masa Orientasi
Siswa SMA
(Dok. Ekaning Wedarantia)
Selain
di OSIS, saya sempat mengikuti pencak silat. Dari pencak silat, saya belajar bahwa seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan sifat yang telah
saya sebutkan di atas saja. Namun, seorang
pemimpin juga membutuhkan fisik yang kuat. Sebuah hadis yang menyatakan bahwa mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang
lemah. Seorang pemimpin membutuhkan fisik yang kuat dan tidak
mudah sakit. Bagaimana seorang pemimpin bisa menghadapi berbagai masalah dan
pekerjaan yang padat jika fisiknya lemah? Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah tahu
bagaimana menjaga kondisi badannya agar selalu sehat. Di pencak silat, saya
belajar bagaimana menjaga diri dan orang lain serta bagaimana mempertahankan
diri agar tetap sehat. Sementara itu, di kerohanian Islam, saya banyak belajar tentang sosok pemimpin yang banyak dicontohkan melalui
Rasullullah, mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang dicintai oleh
bawahannya.
Saat memasuki dunia kampus yang baru, saya semakin tertantang untuk merambah dunia organisasi, walaupun saya tahu tantangannya jauh lebih besar. Namun, saya pikir, dengan bekal yang telah saya kumpulkan sampai SMA, tidak ada salahnya jika
saya terus mencoba belajar tentang kepemimpinan di dunia baru ini. Saya memulai belajar di BEM dan NURANI FKM UI. Saya
sebernarnya lebih tertarik untuk belajar di BEM UI, tetapi saya
tidak akan mempunyai teman dekat di FKM jika saya langsung ke BEM UI.
Seperti
yang telah saya prediksi sebelumnya, dunia baru yang saya masuki sangat berbeda
dengan dunia SMA. Lingkungan baru
saya begitu heterogen. Namun, di lingkungan yang heterogen inilah, saya belajar
mengenai nilai yang mengharuskan seorang pemimpin
untuk bisa menghargai perbedaan. Perbedaan harus
dipahami sebagai
kesempatan untuk bisa saling mengisi dan melengkapi, bukan untuk saling
mengeliminasi dan mengungguli. Seorang
pemimpin harus dapat merangkul semua kalangan, baik orang-orang yang sepemahaman ataupun berbeda dengan dia.
Di
dunia baru ini, saya menemukan sosok-sosok inspiratif, sosok-sosok pemimpin
tangguh yang dapat menjadi teladan. Saya belajar bahwa seorang pemimpin
seharusnya mempunyai sifat 3R, yaitu respecting time, respecting
people, dan respecting
system. Respecting time akan membuat seorang
pemimpin mempunyai sikap militansi. Ia juga harus ada
ketika dibutuhkan, tepat waktu, dan disiplin. Respecting people
mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus peka terhadap orang lain, bisa
menghargai, dan cepat tanggap atas apa yang dirasakan bawahannya. Respecting
system mengajarkan bagaimana seoarang
pemimpin harus dapat menghargai sistem yang tengah berlaku. Jika kita
belum mampu mengubah suatu sistem yang kita rasa tidak sesuai, jangan
sekali-kali melanggar sistem yang berlaku tersebut. Jika kita
melanggar sistem yang ada, sistem yang ada tidak menjadi lebih baik,
akan tetapi malah lebih kacau.
Foto 2. BEM
Universitas Indonesia
(Dok. Ekaning
Wedarantia)
Di dunia baru itu pula saya menemukan arti
pemimpin yang sebenarnya. Kebanyakan orang menganggap bahwa pemimpin adalah
jabatan. Namun, pemimpin sesungguhnya tidak membutuhkan jabatan. Kontribusi
seorang pemimpin tidak melulu ditentukan dan dibatasi oleh sebuah jabatan.
Pemimpin yang sesungguhnya adalah orang yang dapat memengaruhi, mendatangkan perubahan positif, dan memberikan kebermanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya. Saya berpikir bahwa sebenarnya jabatanlah yang
membutuhkan pemimpin, bukan pemimpin yang membutuhkan jabatan.
Lalu
apakah kita masih bertanya, “Am I a Leader?”
Jawabannya adalah “Ya”. Setiap
kita adalah pemimpin. Hal yang membedakan satu pemimpin dengan pemimpin lainya adalah kemauan
belajar dan terus belajar untuk menjadi pemimpin yang lebih baik bagi kita
sendiri maupun orang lain. Ada teori yang mengatakan bahwa pemimpin itu
dilahirkan, sementara teori lain menyebutkan pemimpin itu diciptakan. Saya
pribadi lebih senang mengatakan pemimpin itu dilahirkan kemudian diciptakan. Seseorang mungkin mempunyai potensi ketika dilahirkan, tetapi
tanpa diciptakan dengan berbagai pembelajaran, dia belum tentu dapat menjadi
pemimpin yang baik.
Seorang
pemimpin adalah orang yang mau terus belajar memperbaiki kesalahannya dan
menambah apa yang belum dimilikinya. Setiap kita adalah pemimpin. Jadi, marilah
kita terus belajar untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Jika kita memang
tidak ingin memimpin orang lain, setidaknya kita harus dapat memimpin diri kita
sendiri dengan baik. Untuk menjadi seorang pemimpin, kita
tidak perlu menunggu hingga mempunyai jabatan. Cukup dengan menunjukkan sikap kepemimpinan kita pada orang di sekeliling
kita, kita sebenarnya
telah menjadi pemimpin. Dengan menjadi pemimpin yang baik untuk diri
sendiri, keberadaan kita akan memberikan
dampak yang positif pada orang-orang di sekitar kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar