Sabtu, 16 Maret 2013

Belajar Merawat Mimpi


Belajar Merawat Mimpi


SYARIFAH LUBBNA


Mimpi adalah kunci
Untuk kita menaklukan dunia
Berlarilah tanpa lelah
Sampai engkau meraihnya.

Sepintas, bait tersebut mungkin hanyalah sebatas nyanyian pengiring para laskar pelangi ketika memainkan perannya. Tetapi, bagi yang percaya, mimpi memang benar-benar sebuah kunci untuk menaklukkan dunia.

Impian
Sahabat, ingatkah ketika kita masih kanak-kanak, kita pernah ditanya, “Mau jadi apa nanti kalau sudah besar?” Mayoritas kita dengan mantapnya menjawab ingin jadi dokter, polisi, presiden, dan lain-lain. Sesederhana itu kita menyebutkan cita-cita kita. Memang fitrahnya anak-anak memiliki masa “meniru” siapa yang ia lihat. Jika kita melihat Spiderman sebagai sosok heroik, menyelamatkan banyak orang dan terkesan hebat, kita akan mengatakan, “Aku mau jadi Spiderman!” Tetapi, ketika itu, cita-cita hanya sebatas keinginan. Belum terpikirkan upaya apa yang akan kita lakukan untuk mencapai cita-cita itu.
Berbeda ketika saat ini kita ditanya, “Ingin jadi apa?” Akan ada proses berpikir terlebih dahulu sebelum kita menjawab. Hal yang kita pertimbangkan adalah apakah yang kita inginkan itu realistis? Apakah mampu kita capai? Dan tentu saja diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tidak mungkin kita mengatakan, “Aku ingin jadi Spiderman!” karena itu memang sesuatu yang tidak realistis. Jika kita berkata, “Impian saya adalah menjadi seorang pengusaha sukses,” disadari atau tidak, sebenarnya kita sudah memikirkan apa alasan kita, apakah mungkin, bagaimana caranya, apa harapannya, dan untuk apa kita menjadi pengusaha sukses. Itulah impian!
Bagaimana kita memaknai kata impian? Setiap orang berhak mendefinisikan kata tersebut sesuai persepsi masing-masing meskipun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), definisi impian sangat sederhana, yaitu barang yang diimpikan atau barang yang sangat diinginkan. Tetapi, saya sendiri lebih suka mengganti kata barang menjadi sesuatu. Sesuatu itu bisa dalam bentuk materi atau nonmateri. Impian adalah sumber harapan yang akan membangkitkan motivasi dan menggerakkan seseorang menjadi besar dan sukses (Ridwan, 2012). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah memiliki impian yang kuat akan memberikan motivasi untuk bekerja keras lebih demi mewujudkan impian tersebut, apapun rintangannya.
Lalu pertanyaannya adalah “Apakah kita punya impian?” That’s the simplest question. Setiap kita berhak menggoreskan tinta sejarah pada kanvas kehidupan kita masing-masing karena, pada dasarnya, bermimpi itu gratis, bukan? Kita bisa saja mempunyai mimpi setinggi langit, tetapi kita harus memulainya dengan mimpi-mimpi yang membumi. Tugas kita di dunia ini sebenarnya bukanlah untuk berhasil. Tugas kita adalah untuk mencoba karena di dalam proses mencoba itulah kita menemukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh, 2012). Ya, mencoba bermimpi dan mencoba merawat mimpi itu!

Pemimpi
Coba perhatikan, sadarkah kita kalau para tokoh pengubah dunia pada awalnya adalah seorang pemimpi? Steve Jobs, misalnya. Pendiri Apple Computers dan Pixar Animation Studio ini adalah seorang anak yang diserahkan ke lembaga adopsi karena ibunya masih kuliah. Kemudian ia diadopsi oleh keluarga kelas menengah dengan ayah yang tidak pernah lulus SMA dan ibu yang tidak lulus kuliah. Bagaimana ia yang memiliki latar belakang biasa-biasa ini bisa menjadi seorang millionaire pada usia muda? Itu karena ia memiliki impian besar untuk memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat. Visinya adalah computer for the rest of us. Steve Jobs memiliki impian komputer yang mulanya barang mahal dan langka, yang ukurannya sangat besar, dapat diperkecil menjadi kebutuhan semua orang, dan dapat membantu orang banyak dalam mengoptimalkan pekerjaan sehari-hari. Oleh karena itu, ia selalu bekerja optimal untuk mencapai impiannya dengan kemauan yang kuat walaupun caranya sederhana.
Jika kita tilik, ketika ia masih duduk di kelas 2 SMP, Steve Jobs yang saat itu berusia 13 tahun dan teman-teman satu kelompoknya mendapatkan tugas untuk membuat suatu rangkaian elektronika. Salah satu temannya berkata, “Kita membutuhkan chip untuk membuat rangkaian ini. Tetapi chip ini hanya bisa ditemukan di pabrik HP.” Keesokan harinya Steve Jobs datang ke sekolah dengan membawa chip yang mereka butuhkan. Sontak teman-teman satu kelompoknya kaget dan salah satu bertanya, “Dari mana kamu dapatkan chip ini?” Jobs menjawab, “Saya telepon Bill Hewlett dan saya minta kepadanya”. Temannya bertanya lagi, “Dari mana kamu tahu nomor telepon Mr. Hewlett?” Dengan ringan Jobs menjawab, “Ada di yellow pages!” Sore itu Steve Jobs menelepon rumah Bill Hewlett, pendiri Hewlett Packard bersama David Packard. Jobs dan Hewlett berbicara selama 20 menit dan Jobs tidak hanya mendapatkan chip yang mereka butuhkan, tetapi Jobs juga mendapatkan pekerjaan di musim panas di pabrik HP. Ini adalah awal hubungan akrab antara Steve Jobs dengan Bill Hewlett dan David Packard. Cara yang ia lakukan merupakan cara yang cukup sederhana, bukan? Metode yang sangat sederhana, pendekatan yang juga sangat sederhana. Dengan ini, Jobs muda membuktikan bahwa kita dapat menembus batas jika kita mau. Kita dapat berhubungan dengan orang yang kita kira sulit untuk ditemui hanya dengan membuka yellow pages dan meneleponnya.
Pada lembaran kisah Steve Jobs lainnya, ia juga tetap memiliki kemauan yang kuat untuk menggapai impiannya untuk sukses dan berguna untuk orang banyak. Ia tetap berjuang walaupun banyak keterbatasan yang ia miliki. Pada saat Steve Jobs berumur 17 tahun, ia mendatangi kantor Atari untuk mendapat pekerjaan. Atari adalah sebuah perusahaan produsen game console kala itu. Walau ia diusir satpam, ia memilih untuk menunggu hingga sore hari. Satpam pun menyerah dan ia diizinkan bertemu CEO-nya, Nolan Bushnell. Ia berkata bahwa ia bersungguh-sungguh dan mau bekerja walaupun ia tidak bisa apa-apa. Kata kuncinya adalah mau. Bushnell merespon, “Oke, kalau begitu kamu jadi asisten saya saja.” Mulai saat itu, Jobs menemani Bushnell ke setiap pertemuan-pertemuan penting dan menjadi sangat intim dengannya. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, Steve Jobs—yang selalu menjaga mimpinya—mendalami bidang hardware dari Bill Hewlet dan David Packard. Ia juga mendalami bidang piranti lunak dari Nolan Bushnell. Alhasil, dengan kegigihan, kerja keras, dan kerja cerdasnya, sampai saat ini ia mampu membuat pemasaran Apple menjadi lebih besar daripada Microsoft.
Sebenarnya, banyak sekali para pemimpi di sekeliling kita. Mungkin kitalah yang kurang menyadari. Contoh lain, yaitu bagaimana seorang Ahmad Fuadi, sang pemuda desa dari Minang, mampu menjadi penulis terkenal yang menjelajahi dunia? Bagaimana ia menembus ujian masuk HI UNPAD. Padahal, ia menuntut ilmu di pesantren yang tidak mempelajari ilmu-ilmu umum? Bagaimana ia bisa mendapat beasiswa ke Kanada dengan hanya bermodalkan tulisan-tulisan yang dimuat di koran tanpa ia bisa menampilkan kesenian tradisional di depan pewawancara saat ia mengajukan beasiswa? Atau jika kita lihat Dahlan Iskan, bagaimana seorang anak kampung yang sehari-hari menggembala kambing dan tak punya alas kaki mampu menjadi menteri BUMN? Bagaimana seorang Dahlan Iskan, yang biasa melilitkan dan mengikat sarungnya di perut dengan kencang untuk mengurangi rasa lapar, mampu menjadi pemimpin yang sederhana, namun memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa? Itu karena mereka merawat mimpi-mimpinya!

Merawat Mimpi
Ada yang berkata bahwa kunci kebahagiaan adalah mempunyai impian, sedangkan kunci kesuksesan itu sendiri adalah mewujudkan impian. Bagaimana seseorang mampu mewujudkan impian berkaitan erat dengan kemampuannya dalam merawat mimpinya. Sekarang, apa yang ada di benakmu ketika mendengar kata merawat? Menurut KBBI, merawat berarti memelihara, menjaga, mengurus dan membela. Merawat impian berarti memelihara, menjaga, mengurus, dan membela impian.
“Hanya desain-desain kecil yang saya buat, tapi saya wujudkan dengan konstan dan istikamah.” (Dahlan Iskan)

Berbicara mengenai belajar merawat mimpi berarti berbicara mengenai bagaimana menjaga mimpi kita, bagaimana membuat semangat kita konstan, dan bagaimana langkah kita bisa istikamah. Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada indahnya mimpi-mimpi mereka (Eleanor Roosevelt). Tidak ada yang tidak mungkin. Yang ada adalah yang tidak mau. Kegagalan terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba (Robyn Allan). Sekali lagi, mencoba bermimpi dan mencoba belajar merawat mimpi. Orang yang memiliki impian, bukan sekedar keinginan, berarti secara tidak langsung dan perlahan, ia mengubah pola pikirnya. Pola pikir yang seperti apa? Pola pikir bagaimana menjadi pemenang dan pola pikir untuk tidak mudah mengikuti nafsu bermalas-malasan. Hanya orang yang mampu memimpin dirinyalah yang bisa merawat mimpinya. So, if we want to keep our dreams exist and become to be true, be a good leader at least for ourselves. 

Seorang yang Sedang Belajar Merawat Mimpi
Ada seorang pemimpi, saat ini ia masih menjadi mahasiswa biasa tingkat akhir di Universitas Indonesia. Ia berasal dari keluarga sederhana, dari desa kecil di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Ayahnya seorang guru agama SMP. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu bersemangat untuk membantu suamiya mencari nafkah. Ia pernah menjadi penjahit, membuka warung nasi, menjadi pedagang warung sembako, dan melakukan pekerjaan kecil lain. Apapun yang dilakukan pasangan orang tua super ini memiliki tuujuan yang satu: agar anak-anaknya tidak putus sekolah.
Ketika masih duduk di sekolah dasar, ia sama sekali belum mengerti pentingnya memiliki impian. Tak heran, saat ditanya cita-citanya pun ia tidak tau mau menjawab apa. Yang ia lakukan hanyalah bagaimana caranya membuat orang orang tuanya tersenyum padanya setiap kali ia pulang sekolah. Hanya itu. Ia menjadi ketua kelas dan juara kelas setiap tahun, menjuarai lomba kaligrafi, lomba sinopsis, lomba cerdas cermat, dan banyak lomba lain. Sekali lagi, semua hal tersebut dilakukannya hanya untuk melihat orang tuanya tersenyum bangga dan membelikan hadiah kecil untuknya. Hingga suatu hari, ia masuk sekolah menengah pertama (SMP) favorit dengan hasil ujian nasional SD dan ujian masuk SMP tertinggi di kecamatannya. Ia masuk ke kelas unggulan, menjadi ketua organisasi PASKIBRA, dan sekretaris umum OSIS di SMP-nya. Ia mengikuti olimpiade ilmiah. Saat kelulusan sekolah, ia termasuk sepuluh besar siswa dengan prestasi terbaik. Lagi-lagi, ia hanya ingin melihat orang tuanya tersenyum bangga. Ia belum memiliki impian apapun.
Di mozaik kehidupannya yang lain, ia merasa tidak suka dengan perilaku teman-temannya di sekolah karena mereka berkelompok-kelompok alias membentuk geng. Ia didekati teman-temannya jika ingin bertanya atau meminta jawaban tugas sekolah atau jika mereka memiliki “kepentingan” terhadapnya. Kemudian, setelah urusannya selesai, mereka kembali ke gengnya. Ia merasa kalau itu bukan pertemanan yang tulus. Ia tidak suka berkelompok-kelompok. Ia suka independen. Pada saat itu, ia sadar dirinya bukan orang yang supel, bukan orang yang cukup berani menyampaikan pendapatnya, bukan orang yang bisa dengan mudahnya mendapat teman. Ia bermimpi suatu saat nanti ia mampu “berbicara”, bisa “berfungsi” untuk orang sekitarnya dengan independen, menjadi dirinya sendiri tanpa harus terikat pada geng manapun.
Goresan tinta hidupnya berlanjut saat ia masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia diterima di salah satu SMA favorit di Kota Cirebon, tetapi ia cukup minder karena ia berasal dari kampung, sedangkan teman-teman barunya dari kota. Perjalanan yang harus ia tempuh pulang pergi memakan waktu 2 jam setiap hari. Lagi dan lagi, semangat belajarnya yang tinggi ia tujukan untuk melihat orang tuanya tersenyum bangga padanya. Ia memang diterima di kelas internasional, tetapi sampai saat ini ia pun masih menganggap hal itu keajaiban karena ia bisa diterima dengan segala keterbatasan berbahasa Inggrisnya. Sementara itu, teman-teman sekelasnya sudah pandai sekali berbahasa Inggris. Ia sempat frustrasi karena setiap hari harus berbahasa Inggris dan soal-soal ujian pun berbahasa Inggris. Namun, ia sadar dirinya harus berubah.
Ketika ia akan lulus SMA, ia merenung, “Apakah ia perlu kuliah? Bagaimana biayanya? Di mana? Jurusannya?” Di desanya masih jarang sekali pemuda yang ingin kuliah. Banyak teman sekolahnya yang setelah lulus SD kemudian menikah, mempunyai anak, berdagang di pasar, dan pasrah dengan keadaannya begitu saja. Ia tidak mau seperti itu, sampai suatu ketika, Tuhan memberinya petunjuk dengan surat cinta dari kekasih-Nya, Muhammad:

“Orang beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia.”

Ia kemudian bertekad ingin menjadi manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Logikanya, jika ingin bermanfaat berarti harus ada yang bisa ia berikan. Jika ia ingin banyak berbagi berarti harus ada banyak hal yang ia miliki. Jika ingin memiliki banyak hal, ia harus lebih keras berupaya agar mendapat sesuatu yang ingin ia capai atau ia miliki. Setelah melewati proses perenungan yang panjang, apa yang harus ia lakukan tidak hanya harus berguna bagi orang lain, tetapi juga bagi anak-anak dan keluarga yang akan ia rintis kelak. Singkat cerita, akhirnya, ia menetapkan niat ingin menjadi seorang perawat, terutama perawat anak. Apapun yang orang lain katakan tentang perawat, ia tetap ingin menjadi perawat. Ya, menjadi perawat yang terbaik, perawat yang profesional, perawat yang menulis, perawat yang berprestasi, perawat yang mampu bersaing di kancah internasional, dan perawat yang paling bermanfaat.
Ia kemudian berpikir lagi, “Berarti jika ingin menjadi perawat terbaik, caranya adalah berinteraksi dengan perawat-perawat terbaik, bergaul dengan orang-orang terbaik, dan menuntut ilmu di tempat terbaik.” Ia menemukan di kota-kota besarlah terdapat universitas-universitas terbaik. Akhirnya, ia memutuskan untuk merantau walaupun sulit rasanya karena mayoritas pemuda seusianya ketika itu pasrah dengan keadaan ekonominya dan tetap setia tinggal di desa mungil mereka. Tapi, pemimpi ini masih meyakini kalau Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. Ia mencoba mengikuti ujian masuk di empat universitas terbaik dengan selalu memilih jurusan ilmu keperawatan sebagai pilihan pertama. Ia pun bekerja keras belajar dan berdoa agar diterima di salah satu universitas yang ia pilih. Sampai pada akhirnya, ia diterima di keempat universitas tersebut dan ia memilih Universitas Indonesia dengan berbagai pertimbangan. Okay, she has a great chance to catch her dreams!
Saat ia menjadi mahasiswa baru UI, banyak pertanyaan yang harus ia jawab. Mulai dari “Bagaimana cara membayar biaya kuliahnya?”, “Bagaimana ia bisa berinteraksi dan bergaul dengan orang banyak di sana?”,  “Bagaimana ia sebagai satu-satunya anak dari kampungnya saat itu, yang mencoba kuliah di Kota, bisa bertahan hidup di sana?”, “Bagaimana nanti ia akan selalu belajar dari buku-buku berbahasa Inggris?”, “Bagaimana caranya ia bisa menjadi perawat yang terbaik dan perawat paling bermanfaat?”, “Bagaimana ia tetap membuat orang tuanya tersenyum bangga padanya?”, dan “Bagaimana caranya ia bisa mengubah nasibnya?”
Ia lalu mengukir buku impiannya dengan berbekal imajinasi tentang bagaimana ia beberapa tahun mendatang. Ia mulai mengukir visi hidupnya, menjadi apa, di mana, dan kapan. Selanjutnya, ia mendaftar keterbatasan-keterbatasan yang ia miliki. Ia belum bisa berbahasa Inggris dengan baik, padahal ia ingin menjadi perawat yang mendunia. Ia belum tahu apakah setiap semester ia dapat membayar uang kuliah, padahal ia menyadari  biaya yang harus dikeluarkan akan sangat banyak. Ia belum bisa berkomunikasi dan bergaul dengan baik, padahal ia ingin menjadi perawat yang pandai berinteraksi dan paling bermanfaat. Ia pun belum mengerti bagaimana caranya memimpin dan meyakinkan orang lain termasuk calon pasiennya kalau ia adalah perawat profesional.
Dari keterbatasan-keterbatasan itu, ia mulai menyusun misi hidupnya satu per satu. Ia harus mendapatkan beasiswa untuk membantu membiayai kuliah. Untuk mendapat beasiswa, berarti ia harus memiliki prestasi yang baik. Ia menargetkan IPK selalu cumlaude dan bisa menjadi mahasiswa berprestasi. Untuk bisa bergaul dengan banyak orang, ia harus bisa meningkatkan jiwa kepemimpinannya dan menjadi pemimpin yang baik, minimal untuk diri sendiri. Untuk bisa berbahasa internasional dengan baik, ia ingin belajar langsung dari orang asing dengan cara mengikuti beasiswa untuk dapat berkuliah di luar negeri. Ia bertekad untuk memulai prestasi-prestasi kecil untuk mendapat yang besar. Karena ia ingat pepatah Cina kuno mengatakan, “Biar bagaimanapun, perjalanan sejauh 1000 mil dimulai dengan 1 langkah.”
Ia berusaha melakukan apa yang ia targetkan untuk menggapai impiannya. Untuk merawat mimpinya, ia harus bisa memimpin dirinya. Untuk menjadi pemimpin yang baik, ia harus bertemu para pemimpin yang baik. Ia belajar komunikasi dan kepemimpinan di suatu organisasi, ia mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan termasuk pelatihan kepemimpinan yang diadakan oleh Universitas Indonesia, yaitu Universias Indonesia Leadership Development Program (UILDP). Di sana, ia bertemu dengan orang-orang hebat nan menginspirasi. Ia belajar banyak hal termasuk bagaimana menjadi pemimpin yang berkualitas. Ia belajar untuk selalu bersemangat dengan melihat, mendengar, dan membaca shirah nabawiyah, shirah shohabiyah, dan biografi tokoh-tokoh hebat yang menginspirasi hidupnya. Selain itu, ia menekadkan dirinya untuk menjadi pemburu beasiswa. Ia tidak mau melewatkan setiap peluang beasiswa yang ada. Mungkin pihak kemahasiswaan sampai merasa bosan melihatnya karena sering sekali datang untuk mengurus berkas-berkas beasiswa. Ia tetap bersyukur. Meski sering kali gagal, masih ada beasiswa lain yang ia dapatkan untuk membantunya membiayai kuliah. Ia bersyukur masih bisa menjadi finalis Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Keperawatan dengan karya tulis dan presentasi terbaik meskipun ia tidak menjadi mapres utama. Ia bersyukur bisa belajar mematahkan rasa malu untuk berbahasa Inggris di depan banyak orang ketika mengikuti kompetisi putra-putri keperawatan walaupun ia gagal pada akhirnya. 
Selain itu, ia juga mencoba mendaftar berbagai beasiswa yang bisa membuka peluangnya untuk belajar berinteraksi dengan jaringan yang lebih luas, seperti PPSDMS, Goodwill, Tanoto, Indonesian English Language Study Program (ILSP) oleh IIEF, Temasek Foundation (TF LEaRN) National university of Singapore, dan program-program lain yang tidak bisa ia sebutkan satu per satu. Apakah ia berhasil? Tidak sama sekali. Ia gagal dan gagal lagi. Namun, selama proses itu, ia belajar banyak hal dan ia merasakan ada banyak perubahan dalam dirinya. Ia sempat hampir putus asa, tetapi ia sadar, putus asa sama dengan tidak akan pernah meraih mimpinya menjadi perawat yang paling bermanfaat. Sampai saat ini pun ia tidak tahu akan seperti apa masa depannya. Ia tidak tahu pasti apakah ia bisa menjadi perawat yang terbaik, perawat yang profesional, perawat yang berprestasi, perawat yang mendunia, dan perawat yang paling bermanfaat. Yang ia yakini hanya satu, yaitu bahwa tugasnya sebagai manusia hanyalah bersyukur, bersabar, dan mencoba. Ia hanya terus belajar bagaimana memimpin dirinya untuk tetap teguh menatap visinya. Dan ia, yang terus belajar bagaimana merawat mimpinya, adalah orang yang saat ini tulisannya sedang Anda baca.

Antara sungguh-sungguh dan sukses itu tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi juga bisa puluhan tahun...

Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal, keberuntungan adalah hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih...

Bagaimanapun tingginya impian, dia tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut. Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi, hanya dengan sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan sabar. (A. Fuadi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar