Belajar Merawat Mimpi
SYARIFAH LUBBNA
Mimpi
adalah kunci
Untuk
kita menaklukan dunia
Berlarilah
tanpa lelah
Sampai
engkau meraihnya.
Sepintas, bait tersebut mungkin
hanyalah sebatas nyanyian pengiring para laskar pelangi ketika memainkan
perannya. Tetapi, bagi yang percaya, mimpi memang benar-benar sebuah kunci
untuk menaklukkan dunia.
Impian
Sahabat, ingatkah ketika kita masih
kanak-kanak, kita pernah ditanya, “Mau jadi apa nanti kalau sudah besar?”
Mayoritas kita dengan mantapnya menjawab ingin jadi dokter, polisi, presiden,
dan lain-lain. Sesederhana itu kita menyebutkan cita-cita kita. Memang
fitrahnya anak-anak memiliki masa “meniru” siapa yang ia lihat. Jika kita
melihat Spiderman sebagai sosok heroik, menyelamatkan banyak orang dan terkesan
hebat, kita akan mengatakan, “Aku mau jadi Spiderman!” Tetapi, ketika itu,
cita-cita hanya sebatas keinginan. Belum terpikirkan upaya apa yang akan kita
lakukan untuk mencapai cita-cita itu.
Berbeda ketika saat ini kita ditanya,
“Ingin jadi apa?” Akan ada proses berpikir terlebih dahulu sebelum kita
menjawab. Hal yang kita pertimbangkan adalah apakah yang kita inginkan itu realistis? Apakah mampu kita capai?
Dan tentu saja diikuti dengan pertimbangan-pertimbangan lainnya. Tidak mungkin
kita mengatakan, “Aku ingin jadi Spiderman!”
karena itu memang sesuatu yang tidak realistis. Jika kita berkata, “Impian saya
adalah menjadi seorang pengusaha sukses,” disadari atau tidak, sebenarnya kita
sudah memikirkan apa alasan kita, apakah mungkin, bagaimana caranya, apa
harapannya, dan untuk apa kita menjadi pengusaha sukses. Itulah impian!
Bagaimana kita memaknai kata impian? Setiap orang berhak
mendefinisikan kata tersebut sesuai persepsi masing-masing meskipun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
definisi impian sangat sederhana, yaitu barang yang diimpikan atau barang yang
sangat diinginkan. Tetapi, saya sendiri lebih suka mengganti kata barang
menjadi sesuatu. Sesuatu itu bisa
dalam bentuk materi atau nonmateri. Impian adalah sumber harapan yang akan
membangkitkan motivasi dan menggerakkan seseorang menjadi besar dan sukses
(Ridwan, 2012). Yang perlu digarisbawahi di sini adalah memiliki impian yang
kuat akan memberikan motivasi untuk bekerja keras lebih demi mewujudkan impian
tersebut, apapun rintangannya.
Lalu pertanyaannya adalah “Apakah kita
punya impian?” That’s the simplest question. Setiap kita berhak menggoreskan
tinta sejarah pada kanvas kehidupan kita masing-masing karena, pada dasarnya,
bermimpi itu gratis, bukan? Kita bisa saja mempunyai mimpi setinggi langit,
tetapi kita harus memulainya dengan mimpi-mimpi yang membumi. Tugas kita di dunia ini sebenarnya bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba karena di dalam proses mencoba itulah kita menemukan dan
belajar membangun kesempatan untuk berhasil (Mario Teguh, 2012). Ya, mencoba
bermimpi dan mencoba merawat mimpi itu!
Pemimpi
Coba perhatikan, sadarkah kita kalau para tokoh
pengubah dunia pada awalnya adalah seorang pemimpi? Steve Jobs, misalnya.
Pendiri Apple Computers dan Pixar Animation Studio ini adalah seorang anak yang diserahkan ke lembaga adopsi karena ibunya
masih kuliah. Kemudian ia diadopsi oleh keluarga kelas menengah dengan ayah
yang tidak pernah lulus SMA dan ibu yang tidak lulus kuliah. Bagaimana ia yang
memiliki latar belakang biasa-biasa ini bisa menjadi seorang millionaire pada usia muda?
Itu karena ia memiliki impian besar untuk memberikan kebermanfaatan bagi
masyarakat. Visinya adalah computer
for the rest of us. Steve Jobs memiliki impian komputer yang
mulanya barang mahal dan langka, yang ukurannya sangat besar, dapat diperkecil
menjadi kebutuhan semua orang, dan dapat membantu orang banyak dalam
mengoptimalkan pekerjaan sehari-hari. Oleh karena itu, ia selalu bekerja
optimal untuk mencapai impiannya dengan kemauan yang kuat walaupun caranya
sederhana.
Jika kita tilik, ketika ia masih duduk
di kelas 2 SMP, Steve Jobs yang saat itu berusia 13 tahun dan teman-teman satu
kelompoknya mendapatkan tugas untuk membuat suatu rangkaian elektronika. Salah
satu temannya berkata, “Kita membutuhkan chip untuk membuat rangkaian
ini. Tetapi chip ini hanya bisa ditemukan di pabrik HP.” Keesokan
harinya Steve Jobs datang ke sekolah dengan membawa chip yang mereka
butuhkan. Sontak teman-teman satu kelompoknya kaget dan salah satu bertanya,
“Dari mana kamu dapatkan chip ini?” Jobs menjawab, “Saya telepon Bill
Hewlett dan saya minta kepadanya”. Temannya bertanya lagi, “Dari mana kamu tahu
nomor telepon Mr. Hewlett?” Dengan ringan Jobs menjawab, “Ada di yellow
pages!” Sore itu Steve Jobs menelepon rumah Bill Hewlett, pendiri Hewlett
Packard bersama David Packard. Jobs dan Hewlett berbicara selama 20 menit dan
Jobs tidak hanya mendapatkan chip yang mereka butuhkan, tetapi Jobs juga
mendapatkan pekerjaan di musim panas
di pabrik HP. Ini adalah awal hubungan akrab antara Steve
Jobs dengan Bill Hewlett dan David Packard. Cara yang ia lakukan merupakan cara
yang cukup sederhana, bukan? Metode
yang sangat sederhana, pendekatan yang juga sangat sederhana.
Dengan ini, Jobs muda membuktikan bahwa kita dapat menembus batas jika kita
mau. Kita dapat berhubungan dengan orang yang kita kira sulit untuk ditemui hanya
dengan membuka yellow pages dan meneleponnya.
Pada lembaran kisah Steve Jobs lainnya,
ia juga tetap memiliki kemauan yang kuat untuk menggapai impiannya untuk sukses
dan berguna untuk orang banyak. Ia tetap berjuang walaupun banyak keterbatasan
yang ia miliki. Pada saat Steve Jobs berumur 17 tahun, ia mendatangi kantor
Atari untuk mendapat pekerjaan. Atari adalah sebuah perusahaan produsen game
console kala itu. Walau ia diusir satpam, ia memilih untuk menunggu hingga
sore hari. Satpam pun menyerah dan ia diizinkan bertemu CEO-nya, Nolan
Bushnell. Ia berkata bahwa ia bersungguh-sungguh dan mau bekerja walaupun ia
tidak bisa apa-apa. Kata kuncinya adalah mau. Bushnell merespon, “Oke,
kalau begitu kamu jadi asisten saya saja.” Mulai saat itu, Jobs menemani
Bushnell ke setiap pertemuan-pertemuan penting dan menjadi sangat intim
dengannya. Akhirnya, seiring dengan berjalannya waktu, Steve Jobs—yang selalu
menjaga mimpinya—mendalami bidang hardware dari Bill Hewlet dan David
Packard. Ia juga mendalami bidang piranti lunak dari Nolan Bushnell. Alhasil,
dengan kegigihan, kerja keras, dan kerja cerdasnya, sampai saat ini ia mampu
membuat pemasaran Apple menjadi lebih besar daripada Microsoft.
Sebenarnya, banyak sekali para pemimpi
di sekeliling kita. Mungkin kitalah yang kurang menyadari. Contoh lain, yaitu
bagaimana seorang Ahmad Fuadi, sang pemuda desa dari Minang, mampu menjadi
penulis terkenal yang menjelajahi dunia? Bagaimana ia menembus ujian masuk HI
UNPAD. Padahal, ia menuntut ilmu di pesantren yang tidak mempelajari ilmu-ilmu
umum? Bagaimana ia bisa mendapat beasiswa ke Kanada dengan hanya bermodalkan
tulisan-tulisan yang dimuat di koran tanpa ia bisa menampilkan kesenian
tradisional di depan pewawancara saat ia mengajukan beasiswa? Atau jika kita
lihat Dahlan Iskan, bagaimana seorang anak kampung yang sehari-hari menggembala
kambing dan tak punya alas kaki mampu menjadi menteri BUMN? Bagaimana seorang
Dahlan Iskan, yang biasa melilitkan dan mengikat sarungnya di perut dengan
kencang untuk mengurangi rasa lapar, mampu menjadi pemimpin yang sederhana,
namun memiliki pemikiran-pemikiran luar biasa? Itu karena mereka merawat
mimpi-mimpinya!
Merawat Mimpi
Ada yang berkata bahwa kunci kebahagiaan
adalah mempunyai impian, sedangkan kunci kesuksesan itu sendiri adalah
mewujudkan impian. Bagaimana seseorang mampu mewujudkan impian berkaitan erat
dengan kemampuannya dalam merawat mimpinya. Sekarang, apa yang ada di benakmu
ketika mendengar kata merawat?
Menurut KBBI, merawat berarti memelihara, menjaga, mengurus dan membela. Merawat
impian berarti memelihara, menjaga, mengurus, dan membela impian.
“Hanya
desain-desain kecil yang saya buat, tapi saya wujudkan dengan konstan dan
istikamah.” (Dahlan Iskan)
Berbicara mengenai belajar merawat
mimpi berarti berbicara mengenai bagaimana menjaga mimpi kita, bagaimana
membuat semangat kita konstan, dan bagaimana langkah kita bisa istikamah. Masa depan adalah milik mereka yang percaya pada
indahnya mimpi-mimpi mereka (Eleanor Roosevelt). Tidak ada yang tidak mungkin. Yang ada adalah yang tidak
mau. Kegagalan
terbesar adalah apabila kita tidak pernah mencoba (Robyn
Allan). Sekali lagi, mencoba bermimpi dan mencoba belajar merawat mimpi.
Orang yang memiliki impian, bukan sekedar keinginan, berarti secara
tidak langsung dan perlahan, ia mengubah pola pikirnya. Pola pikir yang seperti
apa? Pola pikir bagaimana menjadi pemenang dan pola pikir untuk tidak mudah
mengikuti nafsu bermalas-malasan. Hanya orang yang mampu memimpin dirinyalah
yang bisa merawat mimpinya. So, if we want to keep our dreams exist
and become to be true, be a good leader at least for ourselves.
Seorang yang Sedang Belajar Merawat Mimpi
Ada seorang pemimpi, saat ini ia masih
menjadi mahasiswa biasa tingkat akhir di Universitas Indonesia. Ia berasal dari
keluarga sederhana, dari desa kecil di wilayah Cirebon, Jawa Barat. Ayahnya
seorang guru agama SMP. Ibunya seorang ibu rumah tangga yang selalu bersemangat
untuk membantu suamiya mencari nafkah. Ia pernah menjadi penjahit, membuka
warung nasi, menjadi pedagang warung sembako, dan melakukan pekerjaan kecil
lain. Apapun yang dilakukan pasangan orang tua super ini memiliki tuujuan yang
satu: agar anak-anaknya tidak putus sekolah.
Ketika masih duduk di sekolah dasar, ia
sama sekali belum mengerti pentingnya memiliki impian. Tak heran, saat ditanya
cita-citanya pun ia tidak tau mau menjawab apa. Yang ia lakukan hanyalah
bagaimana caranya membuat orang orang tuanya tersenyum padanya setiap kali ia
pulang sekolah. Hanya itu. Ia menjadi ketua kelas dan juara kelas setiap tahun,
menjuarai lomba kaligrafi, lomba sinopsis, lomba cerdas cermat, dan banyak
lomba lain. Sekali lagi, semua hal tersebut dilakukannya hanya untuk melihat
orang tuanya tersenyum bangga dan membelikan hadiah kecil untuknya. Hingga
suatu hari, ia masuk sekolah menengah pertama (SMP) favorit dengan hasil ujian
nasional SD dan ujian masuk SMP tertinggi di kecamatannya. Ia masuk ke kelas
unggulan, menjadi ketua organisasi PASKIBRA, dan sekretaris umum OSIS di
SMP-nya. Ia mengikuti olimpiade ilmiah. Saat kelulusan sekolah, ia termasuk
sepuluh besar siswa dengan prestasi terbaik. Lagi-lagi, ia hanya ingin melihat
orang tuanya tersenyum bangga. Ia belum memiliki impian apapun.
Di mozaik kehidupannya yang lain, ia
merasa tidak suka dengan perilaku teman-temannya di sekolah karena mereka
berkelompok-kelompok alias membentuk geng.
Ia didekati teman-temannya jika ingin bertanya atau meminta jawaban tugas
sekolah atau jika mereka memiliki “kepentingan” terhadapnya. Kemudian, setelah
urusannya selesai, mereka kembali ke gengnya.
Ia merasa kalau itu bukan pertemanan yang tulus. Ia tidak suka
berkelompok-kelompok. Ia suka independen. Pada saat itu, ia sadar dirinya bukan
orang yang supel, bukan orang yang cukup berani menyampaikan pendapatnya, bukan
orang yang bisa dengan mudahnya mendapat teman. Ia bermimpi suatu saat
nanti ia mampu “berbicara”, bisa “berfungsi” untuk orang sekitarnya dengan
independen, menjadi dirinya sendiri tanpa harus terikat pada geng manapun.
Goresan tinta hidupnya berlanjut saat
ia masuk Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia diterima di salah satu SMA favorit di
Kota Cirebon, tetapi ia cukup minder
karena ia berasal dari kampung, sedangkan teman-teman barunya dari kota.
Perjalanan yang harus ia tempuh pulang pergi memakan waktu 2 jam setiap hari.
Lagi dan lagi, semangat belajarnya yang tinggi ia tujukan untuk melihat orang
tuanya tersenyum bangga padanya. Ia memang diterima di kelas internasional,
tetapi sampai saat ini ia pun masih menganggap hal itu keajaiban karena ia bisa
diterima dengan segala keterbatasan berbahasa Inggrisnya. Sementara itu,
teman-teman sekelasnya sudah pandai sekali berbahasa Inggris. Ia sempat
frustrasi karena setiap hari harus berbahasa Inggris dan soal-soal ujian pun
berbahasa Inggris. Namun, ia sadar dirinya harus berubah.
Ketika ia akan lulus SMA, ia merenung,
“Apakah ia perlu kuliah? Bagaimana biayanya? Di mana? Jurusannya?” Di desanya
masih jarang sekali pemuda yang ingin kuliah. Banyak teman sekolahnya yang
setelah lulus SD kemudian menikah, mempunyai anak, berdagang di pasar, dan
pasrah dengan keadaannya begitu saja. Ia tidak mau seperti itu, sampai suatu
ketika, Tuhan memberinya petunjuk dengan surat cinta dari kekasih-Nya,
Muhammad:
“Orang
beriman itu bersikap ramah dan tidak ada kebaikan bagi seorang yang tidak
bersikap ramah. Dan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling bermanfaat
bagi manusia.”
Ia kemudian bertekad ingin menjadi
manusia yang paling bermanfaat untuk orang lain. Logikanya, jika ingin
bermanfaat berarti harus ada yang bisa ia berikan. Jika ia ingin banyak berbagi
berarti harus ada banyak hal yang ia miliki. Jika ingin memiliki banyak hal, ia
harus lebih keras berupaya agar mendapat sesuatu yang ingin ia capai atau ia
miliki. Setelah melewati proses perenungan yang panjang, apa yang harus ia
lakukan tidak hanya harus berguna bagi orang lain, tetapi juga bagi anak-anak
dan keluarga yang akan ia rintis kelak. Singkat cerita, akhirnya, ia menetapkan
niat ingin menjadi seorang perawat, terutama perawat anak. Apapun yang orang
lain katakan tentang perawat, ia tetap ingin menjadi perawat. Ya, menjadi
perawat yang terbaik, perawat yang profesional, perawat yang menulis, perawat
yang berprestasi, perawat yang mampu bersaing di kancah internasional, dan
perawat yang paling bermanfaat.
Ia kemudian berpikir lagi, “Berarti
jika ingin menjadi perawat terbaik, caranya adalah berinteraksi dengan perawat-perawat
terbaik, bergaul dengan orang-orang terbaik, dan menuntut ilmu di tempat
terbaik.” Ia menemukan di kota-kota besarlah terdapat universitas-universitas
terbaik. Akhirnya, ia memutuskan untuk merantau walaupun sulit rasanya karena
mayoritas pemuda seusianya ketika itu pasrah dengan keadaan ekonominya dan
tetap setia tinggal di desa mungil mereka. Tapi, pemimpi ini masih meyakini
kalau Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kaum itu sendiri
yang mengubah apa apa yang pada diri mereka. Ia mencoba mengikuti ujian
masuk di empat universitas terbaik dengan selalu memilih jurusan ilmu
keperawatan sebagai pilihan pertama. Ia pun bekerja keras belajar dan berdoa
agar diterima di salah satu universitas yang ia pilih. Sampai pada akhirnya, ia
diterima di keempat universitas tersebut dan ia memilih Universitas Indonesia
dengan berbagai pertimbangan. Okay, she has a great chance to catch her
dreams!
Saat ia menjadi mahasiswa baru UI,
banyak pertanyaan yang harus ia jawab. Mulai dari “Bagaimana cara membayar
biaya kuliahnya?”, “Bagaimana ia bisa berinteraksi dan bergaul dengan orang
banyak di sana?”, “Bagaimana ia sebagai
satu-satunya anak dari kampungnya saat itu, yang mencoba kuliah di Kota, bisa bertahan hidup di sana?”, “Bagaimana
nanti ia akan selalu belajar dari buku-buku berbahasa Inggris?”, “Bagaimana
caranya ia bisa menjadi perawat yang terbaik dan perawat paling bermanfaat?”,
“Bagaimana ia tetap membuat orang tuanya tersenyum bangga padanya?”, dan
“Bagaimana caranya ia bisa mengubah nasibnya?”
Ia lalu mengukir buku impiannya dengan
berbekal imajinasi tentang bagaimana ia beberapa tahun mendatang. Ia mulai
mengukir visi hidupnya, menjadi apa, di mana, dan kapan. Selanjutnya, ia
mendaftar keterbatasan-keterbatasan yang ia miliki. Ia belum bisa berbahasa
Inggris dengan baik, padahal ia ingin menjadi perawat yang mendunia. Ia
belum tahu apakah setiap semester ia dapat membayar uang kuliah, padahal ia
menyadari biaya yang harus dikeluarkan
akan sangat banyak. Ia belum bisa berkomunikasi dan bergaul dengan baik,
padahal ia ingin menjadi perawat yang pandai berinteraksi dan paling
bermanfaat. Ia pun belum mengerti bagaimana caranya memimpin dan meyakinkan
orang lain termasuk calon pasiennya kalau ia adalah perawat profesional.
Dari keterbatasan-keterbatasan itu, ia
mulai menyusun misi hidupnya satu per satu. Ia harus mendapatkan beasiswa untuk
membantu membiayai kuliah. Untuk mendapat beasiswa, berarti ia harus memiliki
prestasi yang baik. Ia menargetkan IPK selalu cumlaude dan bisa menjadi
mahasiswa berprestasi. Untuk bisa bergaul dengan banyak orang, ia harus bisa
meningkatkan jiwa kepemimpinannya dan menjadi pemimpin yang baik, minimal untuk
diri sendiri. Untuk bisa berbahasa internasional dengan baik, ia ingin belajar
langsung dari orang asing dengan cara mengikuti beasiswa untuk dapat berkuliah
di luar negeri. Ia bertekad untuk memulai prestasi-prestasi kecil untuk
mendapat yang besar. Karena ia ingat pepatah Cina kuno mengatakan, “Biar
bagaimanapun, perjalanan sejauh 1000 mil dimulai
dengan 1 langkah.”
Ia berusaha melakukan apa yang ia
targetkan untuk menggapai impiannya. Untuk merawat mimpinya, ia harus bisa
memimpin dirinya. Untuk menjadi pemimpin yang baik, ia harus bertemu para
pemimpin yang baik. Ia belajar komunikasi dan kepemimpinan di suatu organisasi,
ia mengikuti berbagai pelatihan kepemimpinan termasuk pelatihan kepemimpinan
yang diadakan oleh Universitas Indonesia, yaitu Universias Indonesia Leadership
Development Program (UILDP). Di sana, ia bertemu dengan orang-orang hebat
nan menginspirasi. Ia belajar banyak hal termasuk bagaimana menjadi pemimpin
yang berkualitas. Ia belajar untuk selalu bersemangat dengan melihat,
mendengar, dan membaca shirah nabawiyah, shirah shohabiyah, dan biografi
tokoh-tokoh hebat yang menginspirasi hidupnya. Selain itu, ia menekadkan
dirinya untuk menjadi pemburu beasiswa. Ia tidak mau melewatkan setiap peluang
beasiswa yang ada. Mungkin pihak kemahasiswaan sampai merasa bosan melihatnya
karena sering sekali datang untuk mengurus berkas-berkas beasiswa. Ia tetap
bersyukur. Meski sering kali gagal, masih ada beasiswa lain yang ia dapatkan
untuk membantunya membiayai kuliah. Ia bersyukur masih bisa menjadi finalis
Mahasiswa Berprestasi Fakultas Ilmu Keperawatan dengan karya tulis dan
presentasi terbaik meskipun ia tidak menjadi mapres utama. Ia bersyukur bisa
belajar mematahkan rasa malu untuk berbahasa Inggris di depan banyak orang
ketika mengikuti kompetisi putra-putri keperawatan walaupun ia gagal pada
akhirnya.
Selain itu, ia juga mencoba mendaftar
berbagai beasiswa yang bisa membuka peluangnya untuk belajar berinteraksi
dengan jaringan yang lebih luas, seperti PPSDMS, Goodwill, Tanoto, Indonesian
English Language Study Program (ILSP) oleh IIEF, Temasek Foundation
(TF LEaRN) National university of Singapore, dan program-program lain yang
tidak bisa ia sebutkan satu per satu. Apakah ia berhasil? Tidak sama sekali. Ia
gagal dan gagal lagi. Namun, selama proses itu, ia belajar banyak hal dan ia
merasakan ada banyak perubahan dalam dirinya. Ia sempat hampir putus asa,
tetapi ia sadar, putus asa sama dengan tidak akan pernah meraih mimpinya
menjadi perawat yang paling bermanfaat. Sampai saat ini pun ia tidak tahu akan
seperti apa masa depannya. Ia tidak tahu pasti apakah ia bisa menjadi perawat yang terbaik, perawat yang profesional,
perawat yang berprestasi, perawat yang mendunia, dan perawat yang paling
bermanfaat. Yang ia yakini hanya satu, yaitu bahwa tugasnya sebagai manusia
hanyalah bersyukur, bersabar, dan mencoba. Ia hanya terus
belajar bagaimana memimpin dirinya untuk tetap teguh menatap visinya. Dan ia,
yang terus belajar bagaimana merawat mimpinya, adalah orang yang saat ini
tulisannya sedang Anda baca.
Antara sungguh-sungguh dan sukses itu
tidak bersebelahan, tapi ada jarak. Jarak ini bisa hanya satu sentimeter, tapi
bisa juga ribuan kilometer. Jarak ini bisa ditempuh dalam hitungan detik, tapi
juga bisa puluhan tahun...
Jarak antara sungguh-sungguh dan sukses
hanya bisa diisi sabar. Sabar yang aktif, sabar yang gigih, sabar yang tidak
menyerah, sabar yang penuh dari pangkal sampai ujung yang paling ujung. Sabar
yang bisa membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, bahkan
seakan-akan itu sebuah keajaiban dan keberuntungan. Padahal, keberuntungan adalah
hasil kerja keras, doa, dan sabar yang berlebih-lebih...
Bagaimanapun tingginya impian, dia
tetap wajib dibela habis-habisan walau hidup sudah digelung oleh nestapa akut.
Hanya dengan sungguh-sungguhlah jalan sukses terbuka. Tapi, hanya dengan
sabarlah takdir itu terkuak menjadi nyata. Dan Tuhan selalu memilihkan yang
terbaik dan paling kita butuhkan. Itulah hadiah Tuhan buat hati yang kukuh dan
sabar. (A. Fuadi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar