Sabtu, 16 Maret 2013

Kepakan Sayap Pemimpi(n)


Kepakan Sayap Pemimpi(n)


RINA NOVIYANTI


Alkisah, pada suatu pagi di hari pahlawan tahun 1991, tangisan bayi perempuan pecah di kota kecil Salatiga. Persalinan itu tak didampingi sesosok ayah karena ayah sang bayi masih harus bergelantungan di bus kota untuk mengais rupiah demi membiayai persalinan tersebut. Saat bayi dari keluarga muslim lain dikumandangkan azan dan ikamah oleh ayahnya di kedua telinganya, bayi ini mendengar tangis ibunya yang berjuang melahirkannya ke dunia tanpa suami di sisinya. Ketika baru berusia dua bulan, bayi itu bahkan terpaksa harus disuapi pisang mentah karena tak ada sepeser pun uang di genggaman ibunya. Sementara itu, ayahnya belum pulang ke rumah. Pada saat yang sama, bayi-bayi lain seusianya pasti sedang makan bubur bayi penuh gizi atau susu-susu mahal.
Belum genap berusia dua tahun, bayi itu telah menemani ibunya berjualan. Selepas subuh, setiap hari ia berada di gendongan ibunya yang berjalan kaki sejauh empat kilo meter untuk menjajakan dagangan. Ia sudah menyapa dinginnya udara, menemani ibunya menghadapi kerasnya dunia. Bayi lain, pada pagi yang belum benar-benar bermentari itu tentu tengah berada dalam selimut hangat. Singkat cerita, ayahnya berganti pekerjaan berjualan minuman tradisional di malam hari. Ia pun dibawa oleh kedua orang tuanya berjualan. Ia belum berusia lima tahun ketika setiap malam harus menemani orang tuanya berjualan di pinggir jalanan Salatiga. Sementara teman-teman sebayanya tengah berada di ranjang nyaman ditemani boneka-boneka lucu, anak itu tidur di bawah atap ciptaan Tuhan, yaitu angkasa dan bintang-bintang, ditemani deru kendaraan malam.
Ya, sepenggal kisah di atas adalah kisahku, kawan. Sengaja kuceritakan pada kalian agar kalian tahu bahwa sejak dilahirkan, aku telah akrab dengan sesuatu bernama perjuangan. Bahwa sejak balita, aku tahu bahwa hidup ini adalah pacuan, bukan sekedar duduk nyaman dan berpangku tangan. Agar kalian juga tahu, bahwa apapun yang ada padaku bukan kondisi umum yang kondusif untuk mencapai sesuatu bernama keberhasilan akademis. Jangankan untuk memperoleh keberhasilan akademis, untuk mempertahankan diri berada di dunia akademis saja sudah merupakan perjuangan keras.
Aku pun akrab pada sesuatu bernama penghinaan sejak masih sangat belia. Tetanggaku terlampau sering memberikan cibiran padaku dan pada keluargaku karena demikian buruknya kondisi keuangan keluarga kami. Tak berhenti sampai di situ, badai musibah kembali menguji keluargaku hingga aku terpaksa dititipkan ke tempat saudaraku di sebuah pedalaman Kabupaten Semarang. Saudaraku itu berbeda keyakinan denganku. Aku baru kelas 6 SD saat itu. Perbedaan keyakinan membuatku harus berjuang keras menjalankan ibadah. Apalagi, ketika Ramadan tiba. Aku harus berjalan sangat jauh bahkan menyeberangi sungai ketika pulang sekolah. Ingin sekali rasanya minum air sungai untuk membatalkan puasa. Namun, kata-kata ayah bahwa Tuhan selalu mengawasiku juga selalu membatalkan niat kurang terpujiku itu. Belum lagi, untuk menjalankan ibadah tarawih. Mayoritas penduduk desa itu beragama Buddha sehingga aku pun harus berjalan sangat jauh untuk menemukan masjid. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku berjalan sangat jauh di tempat tanpa lampu, melewati makam-makam yang terkenal angker dengan hanya ditemani mukena, Alquran, dan obor. Sering aku sahur sendirian dengan cucuran air mata. Saat itu, aku tak banyak memikirkan ini. Namun, sekarang aku sangat yakin tak banyak kawan seusiaku yang berjuang sekeras itu hanya untuk berpuasa ketika mereka masih duduk di tahun akhir sekolah dasarnya.
Bukan kisah yang menyenangkan tentu. Aku tahu, aku telah dibesarkan dengan banyak hal tak menyenangkan. Namun, bukan berarti aku berpikir bahwa hidupku tidak menyenangkan. Hidupku, dengan segala lika-likunya, adalah anugerah terindah dari Tuhan. Bukan berarti kesulitan yang kualami menjadi alasan untukku mengasihani diri sendiri. Segala hal tak menyenangkan di sekitarku sama sekali tak boleh menjadi alasan untukku menjadi pribadi yang tidak menyenangkan juga. Keras jalan yang kualami harus menguatkanku, bukan menjadikanku seseorang yang keras kepala. Hinaan yang kuterima dan perlakuan tak bersahabat dari lingkunganku kumaknai sebagai pelajaran agar aku tak berbuat serupa pada sesama. Bukan sebaliknya, menjadi alasan untuk aku berbuat sekenanya.
Perlahan pemaknaan itu semakin mendalam seiring mendewasanya usiaku. Masalah tak berhenti, datang silih berganti. Keadaan ekonomi keluarga pun belum beranjak jauh dari kategori miskin. Sampai duduk di bangku kuliah ini pun, biaya hidupku sehari-hari ditunjang dari beasiswa dan penghasilan dari pekerjaan paruh waktu yang kadang kuambil. Tak jarang, aku mengalami keadaan sangat sulit di bangku perguruan tinggi ini. Pada semester-semester awalku, sering aku harus benar-benar mengorbankan uang makan untuk membeli buku. Prinsipku, setidaknya kepalaku terisi walaupun perutku tak terisi.
Tak bisa diingkari, semangat juang itu terbentuk perlahan. Tak jarang, rasa putus asa menyerang. Kadang, tangis dalam doa pada Tuhan pun masih menyisakan kegalauan. Namun keyakinan akan keadilan Tuhan juga selalu mampu mendamaikan. Semua itu membentuk diriku yang sekarang, Rina yang kalian kenal ramah dan ceria. Aku mungkin sangat berbeda dengan kalian yang selalu berkecukupan. Tapi bukan berarti aku boleh tertinggal jauh dari kalian. Setiap potongan kisah itu mengajarkanku pentingnya kerja keras, tanggung jawab, dan kepedulian pada sekitar.
Ketika kerja kerasku mulai menunjukkan hasil dan mendekatkanku pada kesempatan meraih keberhasilan, aku tak ingin menikmati kesempatan itu sendiri. Aku bersama keempat temanku membentuk kewirausahaan sosial yang kami niatkan untuk menjadi aktualisasi jiwa mahasiswa kami. Kami ingin melengkapi tridarma perguruan tinggi kami dengan mengabdi pada masyarakat bermodalkan pengetahuan yang kami miliki. Syukurlah, bisnis itu kini mulai menunjukkan perkembangan yang menyenangkan. Aku berjanji untuk melakukan usaha sekeras segala upayaku yang dahulu-dahulu untuk memperjuangkan usahaku.
Mengapa aku memilih berwirausaha sosial untuk berjuang saat ini? Aku hanya ingin berada di tengah orang-orang yang berlatar belakang ekonomi dan sosial sama denganku. Aku ingin berbagi semangat pada mereka. Semangat bahwa keterbatasan yang mereka miliki kini bukanlah batasan dalam memperjuangkan hidup. Aku ingin menyebarkan nasihat ayahku dulu, yaitu bahwa kerja keras dan penyertaan Tuhan akan membawa akhir manis dalam hidup.
Segala yang kucapai kini, jika ditakar dalam kaca mata umum mungkin tampak sebagai sesuatu yang mustahil. Secara matematis, penghasilan orang tuaku tak memungkinkanku tetap belajar sampai di perguruan tinggi. Jika aku menerima saja hitungan matematis itu, pasti aku tak akan menyandang gelar mahasiswi sekarang. Lingkungan sekitarku juga selalu menjatuhkanku dengan berbagai cara. Jika aku menerima saja hal-hal itu, mungkin aku hanya bertumbuh menjadi pribadi yang negatif. Namun, aku memilih mengambil pelajaran dari setiap hal menyakitkan yang kualami. Pilihan-pilihan itu, kuyakini akan menentukan takdirku yang akan berujung baik.
Keyakinanku terbukti tentu saja. Sebelum aku berusia 17 tahun, aku sudah diperkenankan Tuhan untuk menjuarai kompetisi nasional dan mengunjungi Negeri Ginseng, Korea Selatan. Tanpa sedikit pun merepotkan orang tua dan bahkan membuat mereka bangga. Masih kuingat jelas, ayahku tak henti memandangi surat undangan penyerahan penghargaanku yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu dan Duta Besar Korea untuk Indonesia. Setitik rasa haru menyusup ke dalam hatiku. Aku mematrikan janji untuk senantiasa berjuang keras demi membuat ayah menyunggingkan senyum-senyum bangga berikutnya. Semangat itu juga yang membawaku ke negara-negara lain berikutnya.
Siapa yang pernah memprediksi, anak yang sempat disuapi pisang mentah ini bisa berada di perguruan tinggi terbaik di negeri ini? Siapa yang pernah menyangka, gadis yang selalu tersenyum menerima semua penghinaan ini kini telah pergi ke lebih dari tiga negara? Siapa yang tahu bahwa anak yang pada masa balitanya menghabiskan malam di pinggir jalan ini mampu menjalani kehidupan kampus yang baik, bernilai baik, berorganisasi dengan baik, dan masih sesekali menjuarai kompetisi? Mungkin itu belum ada apa-apanya. Tapi, yang berbeda, gadis ini ingin orang-orang yang sama dengannya memiliki mimpi dan keinginan meraih mimpi sebesar dirinya. Benar, aku tak ingin keputusasaan menimpa kaum menengah ke bawah. Aku ingin meyakinkan setiap orang bahwa kerja keras akan membawa kita mencapai hal yang kita impikan. Untuk itulah, aku berharap suatu hari nanti bisa memiliki yayasan pendidikan sendiri. Bagiku, pendidikan bisa menjadi pembebas seseorang dari jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Aku menganalogikan perjalananku sebagai kepakan sayap. Seluruh hal yang kualami sejak kecil kuanggap sebagai tempaan yang menerpa sayapku agar lebih kuat. Sayap itulah yang akan membawaku meraih impianku, mereguk ilmu hingga jenjang tertinggi, memiliki yayasan pendidikan sendiri. Sayap kuat itu juga yang akan membawa dan melindungi sayap-sayap kecil lain untuk bisa berproses menjadi kuat. Agar kelak, sayap-sayap kecil itu juga mampu mengepak sendiri menuju tempat yang tinggi, mencapai impian yang juga tinggi.
Ya, segala perih yang menempa telah membuat sayapku kuat hingga sedemikian rupa. Bukan tidak mungkin aku keberatan dengan sayap kuat itu lalu jatuh dan terkapar. Hal ini akan terjadi jika aku menjadikan pahit yang kuterima sebagai alasan untuk menyerah. Namun, aku memilih untuk memacu diri lebih kuat lagi agar mampu mengendalikan sayap kuat itu menuju indahnya pelangi.
Kawan, sebelum kututup ceritaku yang mungkin membosankan ini, izinkan kuberi tahu alasanku memilih cerita ini. Sebenarnya, yang diminta adalah menulis tentang pemimpin, bukan? Aku bisa saja menceritakan pengalamanku menjadi koordinator kepanitiaan nasional atau menjelaskan tanggung jawab strukturalku di organisasi. Namun, aku memilih cerita masa laluku untuk menjelaskan kepemimpinan. Bagiku, pemimpin itu bisa diteladani. Satu hal dari diriku yang mungkin bisa diteladani adalah kerja kerasku yang tinggi dan upayaku mengambil sisi baik dari hal-hal buruk yang menimpaku. Maka, mungkin dengan sedikit berbagi tentang itu, ada hal yang bisa kalian jadikan pelajaran dariku.
Terlebih lagi, aku ingin kalian bersyukur lebih akan hidup yang kalian miliki. Syukuri nyamannya kondisi keluarga kalian, teman-teman dan tetangga-tetangga kalian yang hangat. Syukuri bahwa kalian tak perlu cemas memikirkan bagaimana makan dan membayar buku esok hari. Bersyukur, kawan. Jika aku yang penuh keterbatasan bisa melangkah tegak penuh senyuman, tentu kalian juga harus tersenyum cerah dengan kehidupan kalian yang lebih nyaman.
Jika aku mampu sejauh ini, kawan, kalian tentu mampu melakukan yang lebih baik dari aku. Bukankah tak ada satu pun alasan yang layak menghentikan kita untuk melakukan upaya terbaik? Jika aku yang biasa diperlakukan diskriminatif masih peduli pada sesama, lalu bukankah kalian yang diperlakukan lebih baik juga seharusnya memiliki kepedulian yang lebih? Demi semua anugerah Tuhan, kawan, tetaplah berpikir baik dan berupaya baik dalam menjalani hidup. Isi dengan perjuangan di bidang apapun yang kalian pilih untuk diperjuangkan. Mungkin aku tak bisa menjelaskan tentang pemimpin dengan baik. Namun, aku tahu bahwa aku pemimpin yang baik karena aku telah memperjuangkan hidup dengan cara terbaik hingga saat ini. Akhirnya, tetap kepakkan sayap, kawan! Percaya pada mimpi kalian dan jadilah pemimpin hidup kalian!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar