Sabtu, 16 Maret 2013

Untukmu Sejenak


Untukmu Sejenak


FAIQ MIFTAKHUL FALAKH


Untukmu yang sedang mencari inspirasi,
Saya katakan di awal tulisan ini bahwa apa yang akan saya sampaikan mungkin tidak akan membuat kau kagum, lalu berkata “wow”. Ya, karena saya bukan siapa-siapa. Kau juga tidak usah berekspektasi terlalu tinggi tentang seorang Faiq Miftakhul Falakh. Saya bukan mahasiswa UI dengan IPK nyaris 4.0, bukan ketua atau BPH organisasi mahasiswa level UI, bukan juga tiga besar mapres (mahasiswa berprestasi) fakultas, apalagi mapres UI. Saya juga belum pernah ikut konferensi di luar negeri. Saya hanya akan bercerita dan berbagi tentang diri saya, tentang kenyataan sejarah kecil yang saya rasakan di dunia yang terlalu besar ini. Jika kau punya waktu luang, bacalah perlahan kisah saya sambil tersenyum. Jika tidak, lewati saja tulisan ini lalu baca tulisan teman-teman saya yang lebih hebat dan menginspirasi pada halaman-halaman berikutnya.
Ketika kau baca paragraf ini, artinya di antara kita sudah terjalin komitmen. Ya, kau masih saja membaca celotehan ini meski sudah saya peringatkan di awal. Artinya, kau juga sedang punya waktu yang cukup luang untuk mendengar kisah-kisah yang akan saya ceritakan. Konsekuensinya, saya sangat berharap engkau benar-benar membaca dengan wajah segar penuh senyuman.

Untukmu yang ingin tahu lebih banyak alias kepo,
Saya selalu bangga dengan nama pemberian orang tua saya. Dalam bahasa Arab, Faiq artinya istimewa, Miftakhul artinya kunci, dan Falakh artinya kemenangan. Jika dirangkai, nama saya berarti kunci kemenangan yang istimewa. Belum pernah saya tanyakan apa yang sebenarnya mereka (orang tua) harapkan dengan nama cool tersebut. Tapi saya yakin, mereka mendoakan saya supaya saya selalu jadi pemenang di mana pun medan perangnya, termasuk kelak menjadi pemenang di hati dia yang menunggu di sana (kode).

Untukmu yang ingin segera menyimak kisah saya,
Dulu ketika kelas XII SMA, saya diberi kesempatan mewakili kota Tegal dalam lomba Keteladanan Siswa tingkat Provinsi Jawa Tengah. Ketika sesi wawancara terkait kepemimpinan, saya ditanya oleh jurinya seperti ini.
“Berapa jumlah temanmu di sekolah?”
Saya jawab, “Kira-kira 150, Pak.”
Dalam otak saya, definisi teman yang saya pikirkan adalah orang-orang yang saya kenal. Selain itu mereka juga mengenal saya. Saya dan orang yang saya kenal pernah minimal berinteraksi meski cuma sekali. Jadi, saya jawab kira-kira sejumlah itulah teman saya yang ada di sekolah.
“Selanjutnya, berapa jumlah temanmu di rumah?”
Waduh, saya baru sadar kalau saya hanya punya sedikit teman di sekitar rumah. Mungkin karena saya baru pindahan dan saya jarang sekali keluar rumah. Jadi, hanya sedikit orang yang memiliki definisi teman seperti yang saya rangkai di atas. Akhirnya, saya jawab, “Dua puluh, Pak.”
Bapak juri di depan saya tidak berkomentar. Beliau malah kembali bertanya,
Di antara kamu, teman-teman sekolahmu, dan teman-teman rumahmu, siapa yang paling pantas dijadikan teladan?”
Eh, ini Bapak susah sekali memberi pertanyaan. Untuk sejenak, saya diam. Saya berpikir jika saya menjawab “saya”, akan terlihat sombong. Padahal, masih banyak hal dalam diri saya yang harus diperbaiki. Selain itu, masih banyak teman-teman saya yang lebih baik. Akan tetapi, saya berpikir apa salahnya menjawab “saya”. Saya toh tidak akan bertemu Bapak ini lagi, atau mungkin ini adalah lomba terakhir tingkat SMA yang bakal saya ikuti. Akhirnya, kalimat yang keluar dari mulut saya adalah, “Saya”.
Lagi-lagi si Bapak tidak berkomentar. Beliau bertanya kembali, katanya pertanyaan terakhir. “Berapa persen kamu yakin jadi juara pada lomba keteladanan siswa ini?”
Sepertinya memang si Bapak hobi menanyakan pertanyaan yang membingungkan untuk dijawab. Akhirnya, karena saya sudah terlanjur pesimis dan hopeless untuk menang, saya jawab, “98%.”
“Yang 2% ke mana?”
“Untuk kekurangan-kekurangan saya, Pak.”

Untukmu yang ingin tahu banget akhirnya saya juara berapa,
Saya katakan dahulu kalau lomba ini sangat prestisius. Bagaimana tidak prestisius, kau berkompetisi dengan siswa teladan utama dari 38 kota dan kabupaten se-Provinsi Jawa Tengah. Apalagi, saya adalah siswa paling minder, karena kelemahan saya banyak, terlalu banyak bahkan jika dibandingkan peserta lain. Sebelum pengumuman juara, Bapak juri yang mewawancarai saya tiba-tiba tampil di depan semua peserta memberikan sambutan. Kata-kata beliau yang masih saya ingat adalah,
“Kemarin, ketika sesi wawancara terkait kepemimpinan, saya menanyakan pertanyaan yang sama kepada setiap peserta, yaitu ‘berapa persen kamu yakin jadi juara pada lomba ini?’ Sangat disayangkan, hanya segelintir dari kalian yang dengan mantap menjawab di atas 80%. Saya tidak tahu apakah sebagian besar dari kalian terlalu minder, malu, atau tidak mau dianggap sombong. Satu hal yang pasti, kehadiran kalian di ruangan ini, menunjukkan bahwa kalian pantas 100% menjadi teladan bagi yang lain.”
Finally, justru karena pesimisme saya, dewan juri mengumumkan bahwa saya menjadi juara III dalam kompetensi bergengsi itu. Tubuh saya pun menjadi dingin, benar-benar tidak bisa dipercaya.
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?1
Saya mencuplik sepenggal episode kehidupan saya di atas karena selalu mengingatkan saya bahwa kepemimpinan tak akan lepas dari keteladanan. Belajar dari The Greatest Leader ever, Rasulullah saw., tak ada satu pun cela dari perkataan maupun tindakan beliau sebagai pemimpin seluruh umat. Beliaulah sosok yang paling pantas dijadikan contoh karena setiap perbuatannya adalah kebaikan, akhlaknya adalah Alquran. Daripada terkagum-kagum pada Superman, Spiderman, Iron Mansaya terjemahkan bebas menjadi Manusia Setrika—Captain Amerika, dan gerombolan The Avenger yang semuanya hanya khayalan dan tak ada bedanya dengan sinteron naga di Indo*iar, bukankah lebih baik mengagumi Rasulullah?
Kepemimpinan adalah hasil tanya jawab saya terhadap Whitney Houston2 berikut:
Everybody's searching for a hero (ya, bener)
People need someone to look up to  (oke, oke)
I never found anyone who fulfilled my needs (ada, kok, beliau bernama Muhammad saw. Belum pernah baca shiroh, nih, orang.

Untukmu yang mungkin sudah bilang “wow.
Tidak usah kau bayangkan bahwa kehidupan saya di kampus UI juga penuh dengan gemerlap prestasi. Pikiran, jiwa, tenaga, dan raga saya rupanya lebih tersita oleh makhluk menawan nan mempesona bernama Sintesa, singkatan dari Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara. Gila, saya benar-benar terpikat padanya. Sampai-sampai saya enggan ikut organisasi semacam BEM UI atau UKM yang lain seperti Futsal, Kriket, apalagi Liga Tari.
Saya memiliki kesadaran dari awal masuk UI bahwa mengurus Sintesa, yang tidak dibatasi waktu, akan lebih besar pahalanya daripada mengurus organisasi kampus yang sifatnya tahunan itu. Sintesa yang membela hak siswa Tegal, apalagi yang kurang mampu, untuk bisa kuliah dengan layak di UI dan kampus lain, lebih menarik hati saya daripada organisasi kampus yang membela proker-prokernya. Sintesa yang akhirnya adalah paseduluran (persaudaraan), lebih bermakna bagi saya daripada organisasi kampus yang ending-nya adalah LPJ dan makan-makan3.
Menjelang akhir tahun 2010, segenap warga Sintesa berkumpul di basecamp Sintesa untuk mengadakan Musyawarah Akhir Tahun (MuAT) dalam rangka memilih ketua Sintesa periode berikutnya. Dengan proses musyawarah yang memakan waktu cukup lama karena disertai pula dengan saling lempar argumen dari berbagai isi kepala, Sintesa memilh saya sebagai ketua. Jika saya katakan Sintesa memilih saya, artinya bukan sekadar prosesi kelembagaan, tapi juga manusia-manusia yang terikat jiwa Sintesalah yang memberikan amanah itu kepada saya.
Di awal kepengurusan, nampaknya saya belum mengenal dengan benar sosok Sintesa yang saya kagumi itu. Seperti lumrahnya kepengurusan yang baru berjalan, saya dan pengurus inti Sintesa melakukan ritual penyusunan proker (program kerja) untuk satu tahun ke depan. Kami berusaha profesional, meski sebenarnya tak ada insentif juga untuk apa yang kami lakukan4. Program yang kami susun hanya berdasar program tradisi tahunan yang ditambah dengan imajinasi monoton dari pikiran-pikiran kami. Program eksternal tahunan untuuk siswa dan masyarakat Tegal seperti Try Out Sintesa, SGTT (Sintesa Goes To Tegal), dan SBB (Sintesa Belajar Bareng) sangat minim inovasi dan miskin kreativitas.
Mendekati masa akhir kepengurusan, saya baru sadar dan merasa lebih mengenal Sintesa. Untuk program internal, harusnya saya dan pengurus menyediakan waktu dan energi sehingga dapat benar-benar mendengar apa yang diinginkan para anggota Sintesa. Begitu pula untuk program eksternal, harusnya saya dan Sintesa benar-benar menyentuh masyarakat Tegal dan menyimak apa hal yang paling mereka butuhkan. Jika hal seperti ini dilakukan, kebijakan yang dikeluarkan pengurus Sintesa dapat benar-benar tepat sasaran.
Saya sendiri selalu menganggap Sintesa sebagai paguyuban, bukan sebagai organisasi. Definisi organisasi dan paguyuban sangat berbeda. Organisasi secara umum adalah kelompok yang secara bersama-sama ingin mencapai suatu tujuan. Definisi ini dipersempit oleh definisi Cyrill Soffer, Kast Rozenzweig yang menekankan pada orientasi pembagian tugas, hasil, dan penekanan tujuan. Sedangkan paguyuban adalah perkumpulan para pekerja ahli yang alamiah dari masyarakat5. Sistem paguyuban mewakili gerak hati alamiah masyarakat untuk memerintah dirinya sendiri menghadapi perubahan-perubahan mengikut perkembangan dan kemajuan. Tentu saja kemudian paguyuban secara konkret akan menjadi semacam keluarga tanpa menunggu kebijakan dari pemerintah6. Paradigma paguyuban ini membuat saya selalu berusaha menjadikan Sintesa penuh kenyamanan bagi para anggotanya.
Kepemimpinan di Sintesa juga sangat berbeda. Belajar bersama Sintesa, artinya belajar bermasyarakat, bukan sekadar belajar berorganisasi. Kau harus paham keunikan tiap individunya dan keunikan komunitas-komunitas kecil di Sintesa. Kau harus paham pula apa yang sebenarnya diinginkan oleh segenap anggota Sintesa. Kau harus menjadi figur yang menyenangkan bagi semua anggota dan mengerti pendekatan yang berbeda untuk tiap kepala.
Ketika bersentuhan dengan masyarakat Tegal, Sintesa juga harus berpikir panjang untuk selalu menjaga hubungan baik dan silaturahmi. Sintesa tak akan pernah kehilangan “pasar”-nya. Tiap tahun siswa Tegal selalu berganti sehingga selalu saja ada beberapa siswa yang punya mimpi berkuliah di UI atau kampus menara gading lainnya. Jadi, sebenarnya apapun yang dibawa Sintesa bagi mereka—terkait pendidikan tentunyaselalu memiliki daya tarik abadi. Di satu sisi, Sintesa tidak bisa menampik bahwa Pemerintah Kota Tegal, Kepala Sekolah di SMA-SMA, maupun para guru BK-nya tiap tahun dijabat oleh manusia-manusia yang itu-itu saja, tak pernah berganti. Di sisi lain, warga Sintesa, yang notabene adalah mahasiswa, sangat dinamis sehingga selalu berganti tiap tahunnya. Satu kesalahan interaksi dengan beliau-beliau di Tegal itu, bisa berdampak pada reputasi Sintesa untuk jangka panjang.
Saya percaya apa yang dikatakan Mas Adi Jaya (senior Sintesa), bahwa para anggota Sintesa adalah bibit-bibit terbaik yang kelak akan menghasilkan buah yang baik pula. Tidak berlebihan kalau buah-buah yang baik itu dirasakan oleh akar pohonnya, yaitu masyarakat Tegal dan sekitarnya7. Saya sendiri sadar akan kemampuan dan sudah jenuh dengan kemacetan abadi serta pekatnya kehidupan di Jakarta.   

Untukmu yang sedang membaca (you don’t say),
Jangan lupa konsekuensinya untuk tetap tersenyum. Bukan maksud saya menjadikan tulisan ini makin serius dan ilmiah, tapi kalau sudah bercerita tentang Sintesa dan visi besarnya membangun Tegal melalui pendidikan, beginilah jadinya. Masih memakmumi senior saya mas Adi Jaya, daripada K2N jauh-jauh ke pelosok Nusantara, saya lebih memilih K2N selamanya di kampung halaman tercinta.

Catatan
1 Qs. Ar-Rahman
2 Lagu Greatest Love of All, dipopulerkan oleh Whitney Houston.
3 Budi Mulyawan. 2011. “Sintesa: Kenyataan Sejarah Kecil di Dunia yang Terlalu Besar”
4 Definisi profesional berdasarkan KBBI adalah mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya
5 Budi Mulyawan. 2011. “Sintesa: Sebuah Teori Nilai Kebersamaan”
6 Ibid.
7 Adi Jaya Rizkiawan. 2011. “Sintesa, Sebagaimana Aku Memandangnya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar