Sabtu, 16 Maret 2013

To Make Research Becomes Fun!


To Make Research Becomes Fun!


MUHAMMAD FADEL NOORSAL


Isu mengenai perkembangan budaya ilmiah selama ini menjadi salah satu isu yang “seksi” diangkat di ranah pendidikan. Seringkali banyak pihak meneriakkan rendahnya kualitas riset di Indonesia atau buruknya sistem apresiasi bagi para peneliti di Indonesia. Rendahnya apresiasi itulah yang membuat tidak banyak ide orisinal nan cemerlang lahir dari bangsa Indonesia. Belum lagi ditambah dengan anggapan orang mengenai dunia ilmiah yang sangat rumit. Banyak juga orang yang bisanya “omong doang” akan pentingnya mengembangkan budaya ilmiah, tetapi tidak ada aksi nyata sama sekali. Rasa-rasanya, budaya ilmiah di Indonesia saat ini sedang berada di titik nadir.
Sejak masuk kuliah, saya telah menaruh perhatian luar biasa dalam perkembangan dunia ilmiah di kampus. Sejak semester kedua, saya masuk ke Departemen Pendidikan BEM FE UI dan secara tekun meneruskan perjuangan di BEM UI selama dua tahun, yakni sebagai staff dan kepala departemen. Perhatian saya pada dunia ilmiah bukan apa-apa awalnya, hanya sekedar ingin tahu saja. Maklum, waktu di Padang, saya belum banyak merasakan kesempatan pengembangan dan aktualisasi diri seperti di UI. Pilihan saya jatuh ke bidang keilmuan karena bagi saya dunia ilmiah sangatlah dinamis dan sedang menunjukan gaungnya di UI.
Nyatanya, perjalanan dalam departemen yang saya pilih tidaklah mudah. Sebagai salah satu yang baru saja dibangun, Departemen Pendidikan belum mendapat banyak perhatian. Jika dibandingkan dengan Departemen Kajian Strategis (Kastrat) ataupun Departemen Kesma dan Sosial Masyarakat (Sosmas), Departemen Pendidikan dapat dikatan anak bawang. Di masa-masa awal ketika saya menempati posisi sebagai staf Departemen Pendidikan BEM FE, saya menyadari bahwa membangun iklim keilmuan bukanlah sesuatu yang mudah. Rendahnya minat mahasiswa akan kegiatan ilmiah serta kurangnya kompetisi yang memadai membuat mahasiswa—tidak hanya di UI, tetapi juga di lingkup nasional—tidak banyak melirik dunia keilmuan. Ditambah dengan stigma yang memandang dunia keilmuan sebagai sesuatu yang rumit dan membosankan, saya sadar betul bahwa tidak mudah menumbuhkembangkan isu ini. Namun, saya tidak langsung patah semangat. Saya sangat mengamini ucapan Walter Bagehot yang menyampaikan, “the greatest pleasure in life is to do what others say you can’t do”. Oleh karena itu, sejak awal, saya menanamkan niat dalam diri saya untuk memberikan ide-ide terbaik dalam pengembangan budaya riset.
Salah satu fokus saya selama berkecimpung di dunia keilmuan adalah bagaimana menciptakan kesan atau persepsi bahwa menulis itu mudah dan riset itu menyenangkan. Alhamdulillah, pada saat tahun pertama, saya tergabung dalam kepanitiaan Student Research Days 2009 di FE UI dan dipercaya untuk menjadi ketua pelaksana. Mengusung taglineWhen Research Becomes Fun”, saya bersama tim bertekad untuk memacu semangat riset di kalangan mahasiswa FE UI terlebih dahulu. Pelaksanaan di lapangan memang tidak semudah dalam konsep dan untuk setiap perubahan pasti ada resistensi di dalamnya. Hal ini terlihat dari penyelenggaran pertama SRD di FE UI yang masih sepi peminat. Namun, saya yakin bahwa ini hanyalah sebuah titik balik dari penciptaan budaya keilmuan di FE.
Lambat laun, apa yang saya impikan sejak dulu mulai terlihat hasilnya. Saat ini, SRD sudah memasuki tahun keempat dan antusiasme mahasiswa terhadap SRD semakin besar. Semakin banyak mahasiswa baru yang mulai melakukan riset kecil-kecilan, mengikuti lomba karya tulis, dan mengikuti kompetisi karya nyata lainnya. Selain itu, saya juga turut membantu membesarkan Komunitas Studi Mahasiswa FE UI, komunitas yang saya impikan bisa menjadi motor penggerak bangkitnya budaya ilmiah di FE UI. Perlahan-lahan, saya melihat banyak mahasiswa FE yang sudah tidak lagi menganggap keilmuan sebagai sesuatu yang berat, melainkan sebagai sesuatu yang dapat diubah menjadi menyenangkan. Saya sendiri juga masih rutin melakukan pembinaan dan turut membantu memberikan masukan. Saya berharap, dengan pembinaan, akan selalu tercipta kader-kader baru untuk mewariskan budaya ini ke generasi berikutnya. Karena saya yakin, pemimpin bukanlah mereka yang hanya mampu menciptakan pengikut, tetapi juga mampu menciptakan pemimpin-pemimpin lainnya.
Tidak puas hanya di FE, tahun berikutnya saya mengambil kesempatan berkiprah di lingkup UI. Saya bergabung bersama Departemen Keilmuan BEM UI. Di sana, saya bisa melihat dengan jelas peta kekuatan budaya kelimuan di UI. Dari sana, saya bisa melihat potensi-potensi yang bisa dibangun menjadi sebuah kekuatan besar. Sayangnya, belum ada cukup modal, baik dalam hal dukungan dari tiap-tiap fakultas maupun dukungan dana. Namun, bagi saya, tidak semua harus bermula dari modal besar. Saya sebenarnya cukup kagum dengan rekan-rekan UGM dan IPB pada saat itu. Riset mereka sering menjadi juara PIMNAS. Riset mereka pun adalah riset-riset aplikatif yang justru tidak membutuhkan dana terlalu besar dalam pelaksanaannya. Terlebih lagi, dengan semakin banyaknya keran-keran pendanaan saat ini, sangatlah mudah untuk membiayai proyek yang akan kita jalankan.
Bermodalkan strategi yang saya pelajari dari teman-teman UGM dan IPB, saya mulai berbagi kepada teman-teman saya bahwa riset tidak harus canggih. Riset canggih akan menjadi sia-sia ketika ia tidak membawa manfaat yang signifikan. Riset justru harus diarahkan untuk menjadi lebih aplikatif. Saya belajar dari teman-teman UGM yang pernah membuat nugget lele di daerah yang memiliki potensi tambak lele. Ada pula teman-teman UGM yang membuat kampung herbal karena di daerah yang diberdayakan terdapat banyak bahan herbal. Ada teman-teman dari IPB yang pernah membuat boneka horta. Ada pula yang membuat berbagai macam produk pakan ternak dari olahan limbah hewan laut seperti ikan dan kerang. Selain itu, masih banyak lagi karya spektakuler lainnya. Riset aplikatif, menurut saya, selain memberikan pengalaman lapangan yang lebih besar bagi mahasiswa juga bisa menghilangkan citra UI sebagai “menara gading” di mata masyarakat sekitar.
Lambat laun, perubahan yang lebih baik mulai terlihat. Jumlah partisipan dalam pembuatan proposal Program Kreativitas Mahasiswa terus bertambah. Yang sekarang dipegang suksesor saya juga semakin membaik. Meskipun ada sentimen yang menyatakan bahwa anak UI sulit menang di PIMNAS karena kurangnya perhatian pada rumpun sosial, bagi saya hal ini bukanlah masalah besar untuk diributkan. Banyak sekali lahan yang bisa digarap oleh peneliti atau mahasiswa ilmu sosial di luar sana. Mahasiswa akuntansi bisa membantu pembukuan UMKM, mahasiswa sastra bisa memberikan pengajaran bahasa kepada masyarakat, mahasiswa psikologi bisa membantu tumbuh kembang anak-anak yang belum berkesempatan merasakan pendidikan formal, dan masih banyak lagi yang bisa digarap. Ke depan, saya berharap akan semakin banyak karya aplikatif yang lahir dari UI.
Saya tidak lupa pula pada tugas seorang pemimpin untuk menciptakan pemimpin baru lainnya. Di level UI, saya beruntung bisa berkenalan dengan Al Hafi yang mampu membentuk komunitas UI to PIMNAS dan saat ini mampu membuat keilmuan di UI menjadi lebih baik lagi. Di FE sendiri, saya bersama Ketua BEM FE UI 2010, Akbar Dahlan, berinisiatif membentuk suatu komunitas studi yang berisi mahasiswa yang memiliki minat besar pada dunia tulis menulis dan riset. Alhamdulillah, komunitas itu berhasil terbentuk pada tahun 2011 dengan nama Komunitas Studi Mahasiswa Ekonomi (KSME). Tidak mudah untuk membesarkan KSME. Di tahun pertama, saya dan rekan-rekan saya menghadapi banyak masalah manajerial, masalah komitmen anggota, dan bentuk organisasi yang belum jelas. Masalah-masalah ini umum ditemukan pada organisasi yang baru dibentuk. Namun, lambat laun, perbaikan demi perbaikan dilakukan. Memasuki tahun kedua, KSME sendiri cukup banyak diminati oleh mahasiswa baru serta memiliki berbagai program baru yang inovatif seperti riset lapangan, diskusi rutin, sharing member, dan sebagainya. Menciptakan perubahan secara kolektif, saya rasa, adalah kunci keberhasilan institusi untuk bisa mencapai misi besarnya. Demi FE UI, KSME siap melebarkan sayapnya di tahun-tahun berikutnya!
Dibesarkan sebagai seorang organisatoris, saya mendapatkan banyak ilmu dalam hal kepemipinan, komunikasi, jaringan, keterampilan, dan masih banyak lagi lainnya. Hanya dengan turut mengambil peran dalam sebuah sistem, kita bisa mengubah sistem tersebut. Tidak terbatas pada jabatan struktural semata, setiap orang seharusnya bisa ikut ambil andil dalam menciptakan perubahan. Mimpi saya adalah mewujudkan terciptanya budaya ilmiah di kalangan mahasiswa melalui diskusi dan kegiatan belajar yang berbasis studi kasus. Selain itu, saya juga memiliki mimpi untuk mewujudkan budaya keilmuan yang akan menciptakan mahasiswa-mahasiswa dengan pemikiran lebih terbuka. Mahasiswa seringkali hanya terkungkung pada nilai dan sangat text-book. Di setiap kelas yang saya ajar, saya akan selalu lebih menekankan pentingnya proses dalam pencapaian hasil dan pentingnya membuka diri pada realitas di lapangan daripada hanya sebatas melihat teori di dalam buku. Hanya ketika mahasiswa bisa membuka dirinya terhadap lingkungan, ia akan bisa dengan sempurna memenuhi tridarma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).
Ke depan, saya akan terus memperjuangkan semakin inklusifnya dunia keilmuan, terutama keilmuan dalam bidang yang saya geluti. Salah satu ide yang sedang saya jajaki kemungkinannya adalah penciptaan media belajar yang open source, yang bisa diakses orang di mana saja sehingga mahasiswa yang jauh di timur sekalipun bisa merasakan pendidikan berkualitas seperti belajar di UI. Hal ini sudah sering kita temukan di dunia pendidikan Barat seperti dengan adanya MIT Open Source, Coursera, dan sebagainya. Saya membayangkan, open source ini akan mengurangi jurang informasi pendidikan antara desa-kota, barat-timur, serta meningkatkan kualitas pendidikan untuk semua kalangan tanpa perlu biaya mahal.
Sesungguhnya, manusia yang paling berharga adalah mereka yang paling bermanfaat. Bermanfaatlah sesuai keahlianmu masing-masing. Hanya ketika kita melakukan sesuatu yang kita senangi, kita akan bisa merasakan nikmatnya berjuang untuk meraih cita-cita tersebut dan merasakan manis hasilnya ketika kita berhasil mencapai impian tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar