Sabtu, 16 Maret 2013

Work Camp


Work Camp


IRMA GUSMAYANTI


Aku bukanlah Nabi Muhammad dan bukan pula Bunda Teresa. Aku bahkan tidak akan pernah menjadi seperti mereka. Namun, izinkan aku belajar menjadi pemimpi (n) seperti mereka, seorang pemimpi dengan huruf “N”, yaitu Nyali.

''Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya''. Kata-kata itu telah menginspirasi jutaan manusia setelah beliau meninggal untuk berjuang menjadi manfaat bagi sekitarnya. Itulah kata-kata Nabi Muhammad saw. yang secara tidak langsung dipraktikkan Bunda Teresa ketika berjuang demi para penderita kusta saat dunia mengucilkan dan menganggap mereka tiada.
Tentulah saya bukan Nabi Muhammad dan juga bukan Bunda Teresa. Saya juga tidak akan pernah menjadi mereka karena life is too short to be anybody else sebagaimana kata-kata dalam film Step Up 2: The Street. Namun, mereka sangat menginspirasi saya. Menjadi seorang pemimpin tidak hanya berkutat atau berbicara mengenai masalah pemimpin dalam suatu negara atau ketua dalam suatu organisasi, tetapi bagaimana kita menjadi sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.
Hal inilah yang mengantarkan saya untuk mendaftar The International Winter Work Camp di desa koloni kusta di Republik Rakyat China pada tahun 2009. Saya tahu tentang work camp ini melalui teman saya. Jujur, kala itu yang melintas pertama kali dalam pikiran saya adalah kesempatan untuk mencari pengalaman, bertemu dan bekerja sama dengan mahasiswa dari China, dan memiliki kesempatan untuk pergi ke luar negeri secara gratis di tahun pertama saya kuliah. Saya pun menjadi delegasi Indonesia pertama dan terakhir untuk mengikuti work camp yang disponsori oleh Sasakawa Memorial Health Foundation, suatu yayasan di Jepang yang bergerak dalam bidang kusta serta memiliki afiliasi dengan Joy in Action, NGO di China yang menyelenggarakan The International Winter Work Camp yang akan saya ikuti.
Setelah mendapatkan penjelasan mengenai work camp tersebutwork camp yang akan saya jalani di Cina dilaksanakan di desa koloni kustasaya harus menyiapkan mental sebagai komunitas relawan kusta. Saya juga khawatir karena kusta merupakan penyakit menakutkan dan menular. Saya akan menginap selama hampir dua minggu di desa koloni kusta, yaitu di Shigangzhang yang sengaja dibuat sebagai wilayah isolasi oleh pemerintah China bagi para penderita kusta. Sebuah desa yang terletak di Provinsi Guangdong, provinsi yang terkenal dengan ibu kotanya yaitu Guangzhou, tempat tujuan wisata. Desa Shigangzhang sama sekali tidak terdeteksi oleh situs pencari di internet sehingga timbullah pikiran di benak saya tentang bagaimana nasib saya nantinya di sana dan akankah saya kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Namun, entah mengapa hati saya terasa ingin sekali untuk pergi meskipun saya pribadi masih awam mengenai kusta kala itu. Akhirnya, dengan maksud untuk mendapatkan pengalaman, mencari pengetahuan, sekaligus belajar dari masyarakat di negara lain, saya bertekad untuk terus mengikuti work camp tersebut. Atas izin Allah Swt., saya akhirnya berkesempatan berangkat ke China.
18662_1357600858127_312845_n
Foto 1. Pesawat yang menerbangkan saya ke China. Pesawat inilah yang membawa saya ke suatu desa yang belum bernah saya kunjungi dan bahkan belum bernah sekalipun terlintas dalam pikiran saya bahwa saya akan mengunjunginya.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Walaupun saya telah memantapkan hati untuk mengikuti work camp, di perjalanan, saya masih mempunyai imajinasi negatif terhadap desa yang akan saya datangi. Imajinasi negatif saya yang lain yaitu apakah penduduk desa telah benar-benar pulih dari penyakit kustanya sehingga saya masih di bawah bayang-bayang ketakutan tertular kusta. Di perjalanan, Sue dan Tina, mahasiswa China yang kemudian menjadi sahabat saya—mereka sudah sering mengikuti work camp di Desa Shigangzhang—memberikan penjelasan kepada saya mengenai desa dan penduduk desa di sana. Mereka meyakinkan kepada saya bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.

34122_1335187096783_2265430_n
Foto 2. Bersama tiga kawan yang mengikuti work camp. Di kereta inilah, Sue dan Tina meyakinkan saya  bahwa tidak perlu ada yang dikhawatirkan selama di Desa Shigangzhang, termasuk penduduk desanya.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Ternyata benar apa yang disampaikan oleh Tina dan Sue bahwa tidak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatrikan di Desa Shigangzhang. Ketika saya tiba dan melihat desa, secara bertahap, kekhawatiran yang ada dalam imajinasi saya mulai hilang setelah melihat kamar mandi dan tempat tidur untuk para camper yang nyaman dan bersih.
Kembali ke pembicaraan mengenai work camp, kegiatan ini bukanlah camping biasa. Dalam kegiatan ini, saya dan para camper yang lain melakukan kerja sosial, yaitu dengan melakukan renovasi rumah bagi para penduduk desa. Tujuan melakukan renovasi rumah tersebut adalah agar para penduduk desa dapat tinggal di tempat yang lebih layak. Selain itu, ada pula rumah penduduk desa yang atapnya bolong karena terkena batu akibat penambangan pasir yang tak jauh dari desa. Para penambang tersebut menambang dengan menggunakan semacam bom sehingga ada batu yang terlempar dan mengenai atap rumah penduduk desa. Kegiatan merenovasi rumah penduduk desa bukanlah kegiatan yang baru bagi penduduk desa tersebut. Sebelumnya, sudah pernah dilakukan bahkan ada beberapa rumah yang sudah selesai direnovasi. Kegiatan kali ini dilakukan untuk melanjutkan rumah-rumah yang belum direnovasi. Saya dan para mahasiswa China saling bekerja sama untuk merenovasi rumah penduduk desa. Pekerjaan yang tak ringan. Namun, letih menjadi hilang karena dilakukan secara bersama-sama dan juga riang gembira.

before
Foto 3. Rumah penduduk desa yang akan direnovasi.
after
Foto 4. Rumah penduduk desa yang telah direnovasi.






IMG_0234
IMG_0235

 









Foto 6 dan 7. Beberapa potret kecerian para camper ketika melakukan renovasi rumah untuk para penduduk desa.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Selain itu, ada kegiatan bernama home visit, yaitu kegiatan saat para camper melakukan kunjungan ke rumah-rumah penduduk desa untuk melakukan silaturahmi dan berbincang-bincang dengan mereka. Penduduk desa di sana sangat ramah dan rendah hati saat para camper melakukan home visit. Penduduk desa mau berbagi cerita kepada camper sambil terus memberikan senyum hangat seolah tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Ada penduduk desa yang memberikan saya ubi rebus ketika saya mengunjungi rumahnya, ada pula yang memeluk saya dan mengatakan bahwa ia sering melihat saya di televisi. Tentu ada perasaan senang dan kaget karena seumur-umur belum pernah saya menjadi artis bahkan bisa mendunia hingga ke China. Tapi tak apalah, saya sangat senang ketika mereka tertawa dan bahagia.

23534_1262302274708_4039368_n
Gambar 8. Salah satu potret keceriaan bersama penduduk desa.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Momen lain yang tak terlupakan saat work camp, yaitu ketika saya dan para peserta lainnya membuat kaligrafi China untuk ditempel di rumah-rumah penduduk desa dalam rangka menyambut Chinese Spring Festival. Kami juga membuat pangsit dan makan bersama penduduk desa.
Saya sangat senang dan bangga karena saya diberi kesempatan untuk mengikuti work camp tersebut. Saya mendapat pengalaman yang luar biasa dengan bertemu penduduk desa yang dikucilkan dan didiskriminasi, tetapi tetap memiliki semangat hidup yang tinggi dan pantang menyerah. Inilah suatu pelajaran hidup yang saya dapatkan dari mereka. Selain itu, saya bertemu dengan teman-teman yang sangat luar biasa dari China, seperti  Sue, Tina, Pie Bone, Vivin, Monkey, Doris, Jay, Una, Juni, Alvin, CJ, Monkey, Soldier, Giga, Sugar, Baby, Tree, dan Koko. Mereka sangat ramah, rendah hati, dan benar-benar peduli satu sama lain. Menurut pendapat saya, mereka adalah orang-orang terpilih karena mau menghabiskan waktu untuk kegiatan sosial seperti ini. Waktu liburan yang dapat mereka gunakan untuk memanjakan diri di rumah atau di tempat rekreasi, menonton televisi, memainkan video game, atau pergi ke suatu tempat menyenangkan, justru mereka gunakan untuk memindahkan genting dan batu serta melakukan kunjungan ke rumah penduduk desa. Meskipun demikian, mereka tetap tertawa dan bercanda sehingga suasana menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Tentu saja, tidak ada lagi di benak saya pikiran bahwa saya pergi ke China hanya karena ongkos gratis semata sebab pengalaman yang saya dapatkan merupakan pengalaman berharga seumur hidup saya. Pengalaman yang tak ternilai dan tak dapat dibeli dengan uang.


21070_1323145034168_415150_n
 










DSCN1179
Foto 9 dan 10. Keceriaan bersama para peserta work camp.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Work camp di China, selain menambah pengalaman, juga merupakan lecutan bagi saya untuk membuat hal serupa di Indonesia, khususnya, untuk penderita kusta dan orang-orang yang pernah menderita kusta. Oleh karena itu, saya dan sahabat-sahabat saya yang luar biasa dari Indonesia, yang telah mengikuti work camp di Chinabaik yang mengikuti di Desa Shigangzhang atau di Desa HekuMbak Ari, Mba Eva, Bang Mirza, Kak Heggy, Bang Cepi, Mbak Ayu, Mbak Nanda, Kak Tery, Bang Iko, dan Bang Yon mencoba untuk membuat work camp yang serupa di Indonesia. Tak lupa pula, ada orang yang sangat luar biasa, yaitu Mbak Retno Widyastuti. Walaupun beliau tidak berangkat karena ada kepentingan lain, beliau sangat berdedikasi untuk menyiapkan keberangkatkan saya dan teman-teman saya dalam mengikuti work camp ke China. Ia juga membuat komunitas peduli kusta yang bernama Leprosy Care Community (LCC).
Leprosy Care Community (LCC) adalah komunitas atau organisasi pemuda yang memiliki komitmen untuk mengurangi dan menghilangkan sikap diskriminasi masyarakat terhadap kusta, penderita kusta, dan orang yang pernah menderita kusta. Selain itu, LCC juga berkomitmen untuk memberikan pengalaman bagi para anggota LCC untuk mengabdikan diri di bidang kegiatan sosial dan sensitivitas kerja sosial serta memberikan informasi kesehatan sesuai dengan kompetensi ilmiah, misalnya melalui work camp di desa koloni kusta yang diadakan di Sitanala, Tangerang dan di Nganget, Jawa Timur.
camp di sitanala
Foto 10. Bersama dengan adik-adik TK dalam kegiatan work camp di Sitanala.
(Dok. Irma Gusmayanti)

Work camp mengajarkan saya menjadi seorang pemimpin. Pemimpin adalah pemimpi yang ada huruf “n”, yaitu “nyali”. Saya belajar menjadi seorang pemimpi yang menginkan tidak adanya lagi pengucilan dan pendriskriminasian terhadap kusta, orang yang menderita kusta, maupun orang yang pernah mengalami kusta.
Saya seorang anak fakultas hukum yang memiliki mimpi bahwa mata kuliah tentang hukum kesehatan dan hak asasi manusia tidak akan hanya berhenti pada teori, tetapi akan berlanjut dengan praktik langsung di lapangan. Mimpi yang diukir dipadukan dengan nyali. Pertama-tama, dengan mengalahkan rasa takut dan spekulasi negatif demi mengikuti work camp di desa koloni kusta di China. Akhirnya, saya menyadari bahwa interaksi yang dilakukan selama work camp merupakan upaya advokasi untuk menghilangkan diskriminasi masyarakat terhadap kusta, menghilangkan pikiran dan imajinasi negatif bahwa kusta disebabkan oleh guna-guna, keturunan, makanan maupun minuman. Selain itu, saya juga menulis makalah untuk pemilihan mahasiswa berprestasi di tingkat FH UI tentang perlunya perawat dalam komunitas penderita kusta. Setiap orang, termasuk para penderita kusta, memiliki hak yang sama untuk mendapatkan hak atas kesehatan dan juga kehidupan yang sejahtera. Hal ini tentu sejalan dengan amanah yang tertuang dalam Pasal 28 H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4–Pasal 8 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan Pasal 25 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sayangnya, pengetahuan yang kurang di masyarakat menyebabkan para penderita kusta disingkirkan dan diisolasi dari masyarakat. Akibatnya, penderita kusta menjadi malu, takut, dan terlambat untuk memeriksakan diri dan mengobati penyakitnya ke pusat pelayanan kesehatan. Selain itu, kurangnya pengetahuan para penderita kusta mengenai tanda-tanda dini, akibat, dan cara perawatan penyakit kusta menyebabkan penyakitnya terlambat diobati. Keterlambatan para penderita kusta untuk mendapatkan pengobatan dapat membuat para penderita kusta menjadi cacat.
Seorang pemimpin tentu tidak hanya berbicara seputar bagaimana memimpin orang lain, menjadi ketua dalam suatu organisasi, tetapi juga harus bermanfaat dan mampu menginspirasi orang lain, sesuai dengan kata-kata Nabi Muhammad saw. yang mengatakan, ''Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya''. Saya juga selalu ingat akan kata-kata ibu saya, yang mengatakan, “Selalu berbuat baiklah kamu kepada orang lain seolah kamu akan meninggal besok dan bersemangatlah kamu dalam menjalani hidup seolah kamu akan hidup seribu tahun lagi.
Sebagai penutup, ada sebuah paragraf yang sangat menginspirasi yang tertulis dalam buku The Journey karya Gola Gong (di bagian Membaca Gola Gong) yang berbunyi sebagai berikut:
Setiap manusia dilahirkan ke bumi dengan segala keunikan dan kekhasannya masing-masing. Seiring bertambahnya usia, keunikan dan kekhasan itu semakin diperkaya dengan aneka pengalaman dan pengetahuan baru yang ia dapatkan. Terlebih jika yang bersangkutan mendapatkan dorongan dari lingkungan tempatnya berada untuk berani mengaktualisasikan dirinya secara optimal. Ketika semua ini terwujud, jadilah ia seorang yang benar-benar unik dan berbeda dari yang lain. Keunikan ini adalah kelebihan, selama keunikan ini tidak  bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap orang, siapa pun dia, hakikatnya adalah sebuah buku yang dapat dibaca oleh manusia lainnya. Setiap ia melakukan aktivitas, amal perbuatan, entah itu baik atau buruk, pada saat itu pula ia tengah mencorat-coretkan pena dalam lembar kehidupannya itu. Semakin banyak laku, pengalaman dan keunikan yang ia tulis, semakin banyak tulisan yang ia buat, maka semakin menarik pula untuk dibaca.”




Tidak ada komentar:

Posting Komentar