Minggu, 05 Juli 2015

Membangun Konsep Diri Pada Anak

[Notulensi Seminar Parenting]

Bismillahirrohmanirrohiim

Assalamualaikum Wr. Wb

✨Membangun Konsep Diri Pada Anak✨

Bersama: Ustadz Budi Dharmawan, Psi

📆Sabtu, 27 Juni 2015
⏰09.00-12.00 WIB
🏡Auditorium Fakultas Hukum UI Depok

Waktu yang diperlukan untuk membangun karakter pada anak sebenarnya ialah 3 generasi sebelum anak dilahirkan. Contohnya, ketika kita akan membentuk suatu keluarga, dari mana kita akan memulai? Mulailah dengan mencari seorang ibu dengan anak-anak kita. Ketika kita mencari seorang istri, maka yang bekerja ialah dominasi subyektivitas kita. Padahal sejatinya, jika kita ingin memotong suatu generasi janganlah mencari istri, tapi mulailah dengan mencari seorang ibu.

Sebab saat kita memiliki anak nanti, ingin seperti apa anak yang kita inginkan? Jika kita ingin anak yang sholih, maka kita harus mencari ibu yang dapat mendidik anak-anak yang sholih. Carilah ibu yang sholihah. Seperti apa yang orang bijak katakan, pembangunan karakter anak ialah 3 generasi sebelum anak dilahirkan namun kita bisa memangkas itu menjadi 1 generasi apabila kita mengerti dan mampu. Mulai dengan metode yang benar yakni metode Rabbani, yang diciptakan oleh pencipta alam semesta itu sendiri. Waktu yang diperlukan untuk menciptakan karakter anak cukup dengan 1 generasi apabila kita mampu menciptakan keluarga yang Rabbani.

Teori Tabur Benih berisi 8 poin yakni Iman, Prinsip, Cara Pandang, Tindakan, Kebiasaan, Karakter dan Kepribadian. Pada teori ini. bukan kita mulai dari prinsip, tapi kita mulai dari iman. Barangsiapa menanam iman, maka ia akan menuai prinsip. Sikap assentif yang dikatakan oleh para psikolog: ‘jangan mengatakan ya, apabila kamu mengatakan tidak.’ Teori barat ini tidak dimulai dengan iman. Tidak dilandasi dengan pondasi. Jika kurang dari 1 mili, maka di paling atas bangunan pondasi akan miring. Konsep-konsep seperti diatas akan bahaya apabila tidak dimulai dengan iman.

Mari kita mulai dengan kalimat ‘Laa ilaa haillallah Muhammadur Rasulullah.” Kalimat ini hampir sama dengan teori barat. Kalimat ini tauhid, jelas. Don’t want to say yes, if Allah say no. Bandingkan dengan teori barat: Don’t say yes, if you want to say no. Penggaris bawahan kalimat berada di kalimat ‘if you.’ Di kalimat tauhid, bukan if you tapi if Allah. Inilah mengapa teori tabur benih akan berbahaya jika dimulai dengan prinsip, bukan dengan iman.

Teori tabur benih berujung pada menabur karakter, menuai kepribadian. Kepribadian, setelah menjadi komoditi sering disalah artikan. Saat ini banyak berdiri sekolah kepribadian.  Sebenarnya semua itu bukan sekolah kepribadian, tapi sekolah mematut diri. Kalau sekolah kepribadian dalam arti yang sesungguhnya ialah kumpulan dari sejumlah karakter yang terintegrasi dengan baik, terorganisasi secara dinamis. Membentuk integrasi ketika dihadapkan dengan cobaan hidup di dunia.  Dan sebenarnya orang-orang yang masuk sekolah kepribadian ini hanya performancenya saja yang berubah, bukan kepribadiannya. Sebab kepribadian yang kuat dilandasi oleh karakter yang kuat. Jika yang ditampilkan tidak sesuai dengan kepribadian asli dari orang tersebut, maka itu bukanlah kepribadian yang sebenarnya.

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, ada 7 Aspek Pendidikan Anak yang harus di-install pada anak-anak kita yakni Imaniyyah (Keimanan), Khuloqiyyah (Akhlaq), Aqliyyah (Ilmu), Jismiyyah (Jasmani), Ijtimaiyyah (social), Jinsiyyah (Seksual), dan Nafsiyyah (Kejiwaan atau Psikologis). Pengertian seksual disini ialah bagaimana kita menjadikan anak tumbuh dengan keidentitasan anak. Bukan laki-laki yang kewanita-wanitaan dan sebaliknya.

Dalam membentuk  karakter anak prosesnya harus dimulai dengan iman, prinsip dan seterusnya kita membutuhkan sarana dalam proses installing 7 aspek diatas. Rasulullah mengajarkan 5 sarana mendidik anak yakni:
1. Al Qudwah (Keteladanan). Jangan mengharap anak-anak kita meneladani Rasulullah apabila kita tidak dapat menjadi teladan dalam meneladani Rasulullah
2. Al Aadah (Pembiasaan). Kekuatan pembiasaan sangat besar dampaknya pada pembangunan karakter.
3. Al Mulahazhoh (Monitoring/Pengawasan)
4. An Nashihah (Nasihat)
5. Al ‘Uqubah (Hukuman)

Kelima sarana ini harus dilakukan secara berurutan. Orang tua yang mengerti sarana ini pasti akan memulai pendidikan karakter dengan al qudwah, bukan dengan al uqubah. Diantara lima sarana ini, Qudwah paling penting tapi yang paling kritis ialah Al Mulahazhoh. Hasil dari pendidikan anak-anak bergantung pada controlling, jika orang tua gagal mengontrol proses pendidikan anak maka akan gagal pula pendidikan karakter anak.

Jadi ringkasnya, pondasi pendidikan karakter anak dibangun oleh 8 poin teori tabur benih yang pada prosesnya beriringan dan  berhubungan dengan 7 aspek, serta diwadahi dengan 5 sarana agar aspek pendidikan karakter dapat terbentuk  pada anak secara terintegrasi.

Pertanyaan :
1. Apa korelasi pendidikan karakter dengan kognitif anak? Sebab pendidikan tradisional kita masih mengedepankan kognitif dibanding karakter. Bagaimana cara agar ‘barang yang reject’ bisa di repair?
2. Bagaimana membatasi controlling/mulahazhoh agar tidak menjadi paranoid dan menjadi terus-terusan mengawasi anak? Dan bagaimana bentuk konkrit dari Al-Uqubah?
3. Bagaimana pembentukan karakter siswa di sekolah, apakah sama dengan pendidikan karakter anak yang tadi dijelaskan?

Jawaban :
1. Aspek kognitif berhubungan dengan akal, menjadi landasan seseorang untuk berpikir. Islam tidak mengabaikan aspek-aspek kognitif. Ilmuwan-ilmuwan Islam yang memiliki lebih dari 1 bakat/ilmu dalam diri satu orang jumlahnya ribuan pada zaman kejayaannya dulu. Peran pendidik disekitar anak punya pengaruh yang besar agar bisa berhasil di suatu hari. Pendidikan Islam, mencakup seluruh aspek termasuk kognitif dan sudah dibuktikan dengan munculnya ilmuwan-ilmuwan Muslim. Idealnya, begitu anak sudah baligh, anak mampu untuk mandiri. Tugas orang tua ialah melatih tanggung jawab sejak anak baligh, sehingga di saat yang tepat anak sudah selesai installing pada target yang kita kejar dan menanggung beban sesuai usianya. Bagaimana merepair anak? Pada anak tidak ada istilah ‘reject’. Harus ada perbaikan/remedial. Orang tua tetap berikan motivasi apabila anak gagal melaksanakan tugasnya. Orang tua perlu menumbuhkan dorongan dari dalam diri anak sehingga anak mampu melakukan self-motivated.
 
2. Takut boleh, tapi cemas dan phobia/paranoid tidak boleh. Intinya adalah bagaimana orang tua bisa masuk ke aktivitas anak, sebab disitulah orang tua bisa menjalin kepercayaan dengan anak. Caranya mulai dengan keterbukaan anak dengan orang tua, sehingga anak juga akan percaya membagi cerita apa saja ke orang tua. Apa yang tidak orang tua ketahui kegiatan anak di luar rumah, serahkan saja pada Allah dan jangan berhenti untuk berdoa. Di dalam rumah, bangun keterbukaan dengan anak sehingga tidak timbul rasa paranoid atau khawatir berlebihan pada anak.

Hukuman tidak selalu mendatangkan hal-hal yang tidak menyenangkan, adapun hukuman adalah mendatangkan hal yang tidak menyenangkan. Yang ideal ialah hukuman dengan prinsip Rabbani. Misal, orang tua tidak memberikan uang jajan jika anak terlambat sholat Shubuh. Bukan hukuman, tapi konsekuensi.

3. Ketika setiap pendidik menyadari tanggung jawab untuk mengantarkan anak menuju karakter terbaik, maka semua akan berjalan dengan baik.

Wallahua'lam bishshawab.

Slide: bit.ly/SeminarParentingPesiar

Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

✨Karena kami tidak sekedar memberi informasi tapi senantiasa untuk selalu menginspirasi

⛵Pesiar Masjid UI 1436H
Mari Berlayar Menuju Pulau Taqwa⛵

🌍mesjidui.ui.ac.id
📹bit.ly/mesjidui
🐤@masjidUI

-mari sebarkan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar