Siapakah Kita?
BANI BACAN HACANTYA YUDANAGARA
Kita Ini
Manusia
Pencarian identitas adalah hal yang
selalu menjadi topik hangat ketika seseorang beranjak dewasa, mungkin karena
identitas adalah penggerak dalam hidup dan karena identitas adalah esensi
seorang manusia. Begitu juga saya, ketika raga ini terus tumbuh, ada hal-hal
yang begitu menggelitik dan harus segera digaruk. Banyak pertanyaan yang muncul
dalam benak saya mengenai apapun. Siapakah
saya? Akan menjadi apakah nanti? Sebenarnya apa yang saya sukai? Seiring
berjalannya waktu, euforia kehidupan peralihan (baca: remaja) yang menyediakan
berjuta pengalaman baru menelan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah saya
tanyakan pada siapapun kecuali diri saya sendiri.
Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut
kembali muncul ketika mendekati kelulusan SMA. Mengapa muncul lagi? Mungkin
karena kekhawatiran saya akan masa depan. Saya akan tinggal jauh dari orang tua
dan setelah kuliah saya akan memasuki jenjang kehidupan yang sangat berbeda
dengan kehidupan saya sebelumnya. Di titik inilah saya berpikir, betapa
bodohnya saya jika menjawab pertanyaan mendasar tentang hidup saja tidak bisa.
Padahal kehidupan akan terus berlanjut dan tak bisa dipungkiri, cepat atau
lambat, hidup akan berakhir juga. Rasanya rugi jika hidup yang sebentar ini
berlalu tanpa makna.
Alhasil, setelah proses pencarian
coba-coba yang saya lakukan, saya menemukan jawaban yang begitu sederhana: saya, kamu, kita adalah manusia.
Kata manusia menyimpan begitu banyak esensi sekaligus tanggung jawab.
Manusia bukan sekadar kata benda biasa karena ia adalah makhluk Tuhan yang
paling sempurna. Dalam penciptaannya, manusia diberi banyak sekali
keistimewaan. Ia dianugerahi akal dan pikiran yang dapat mengantarkannya untuk
memiliki kebudayaan dan menciptakan simbol-simbol luar biasa menakjubkan,
termasuk bahasa. Penciptaan manusia dengan keistimewaan ini tentunya bukan
tanpa alasan. Segala keistimewaan ini diberikan karena manusia memiliki
tanggung jawab yang juga luar biasa istimewa, tanggung jawab kepada
penciptanya, kepada sesamanya, dan kepada alam semesta di sekelilingnya.
Kita Ini
Unik
“Each of
us is a flower which is only one of in the whole world. Each of us has our own
seeds. So let’s just do our best to make them grow into flowers.”
Alam telah mengajarkan pada kita bahwa
keunikan adalah keniscayaan. Tiap bintang yang ada di langit memiliki cahayanya
masing-masing yang berbeda satu sama lain. Namun, bukan berarti satu bintang
lebih baik dari bintang lainnya.
Layaknya bunga, masing-masing dari kita
adalah bunga yang hanya ada satu di dunia. Bunga, apapun jenisnya akan indah
dengan caranya sendiri. Begitu juga kita sebagai manusia. Kita memiliki cara
masing-masing untuk menampilkan diri. Yang terpenting bukan saya harus menjadi
sosok seperti apa, tapi usaha terbaik apa yang sudah saya lakukan.
Selama belajar di fakultas psikologi,
saya belajar banyak tentang menghargai perbedaan. Setiap manusia itu berbeda
dan tidak bisa disamakan. Mereka punya
kepribadian berbeda, potensi berbeda, gaya berkomunikasi berbeda, dan kesukaan
yang berbeda pula. Tetapi satu hal yang pasti, tiap-tiap manusia punya kekuatan
yang tidak terbatas.
Jangan pernah merendahkan diri sendiri
karena kau tidak sama dengan orang-orang di sekitarmu. Saya selalu berusaha
menemukan passion saya dan
“menghajarnya” dengan terjun dan berbuat yang terbaik di sana.
Untuk menyalurkan passion saya di kegiatan pengabdian masyarakat, saya mengikuti
sebuah komunitas yang menaruh perhatian pada isu diskriminasi terhadap orang
yang pernah mengalami kusta. Saya belajar banyak hal dari kegiatan workcamp yang dilakukan di sebuah desa
koloni kusta. Saya belajar bahwa manusia adalah makhluk yang kuat luar biasa
dan sekaligus lemah. Namun, satu hal yang perlu ditekankan, jangan pernah
menilai orang lain hanya dari penampilannya, jangan pernah sekalipun meremehkan
orang lain atau bahkan memandang sebelah mata. Kita mungkin tidak pernah tahu
kekuatan apa yang tersimpan di dalam sosok seorang manusia.
Ketika mengikuti workcamp, saya tinggal selama 14 hari di sebuah desa yang bernama
Desa Nganget di daerah Tuban, Jawa Timur. Desa Nganget adalah desa terpencil
yang berada di antara hutan jati. Jaraknya cukup jauh dari perkotaan, sekitar
30 km dari kota terdekat, Bojonegoro, Jawa Timur. Penduduk desa ini telah
mengalami asam garam kehidupan. Mereka telah melalui pahitnya kehidupan. Mereka
kesepian tanpa sanak saudara; mereka kehilangan sebagian anggota tubuhnya;
mereka tidak berani melihat dunia luar yang sesungguhnya begitu luas; mereka
menerima nasibnya: menjalani hidupnya sampai akhir hayat di tempat itu karena
keterbatasan pilihan.
Foto
1. Menuju Desa Nganget
(Dok.
Bani Bacan Hacantya Yudanagara)
Berbagai kegiatan yang saya lakukan
selama dua minggu di desa tersebut berhasil menyentuh hati saya dan membuat
saya tersentak. Penduduk desa ini begitu kuat menanggung beban fisik dan psikologis
yang amat berat. Di wajah mereka yang keriput selalu tersisip senyuman meski
kadang bercampur dengan kegetiran. Namun, ketulusan mereka benar-benar dapat
saya rasakan. Mereka bisa memberikan dengan senang hati apa yang tersimpan di
lemari makanannya, seperti kacang, buah, sayuran, kue kering, bahkan mie instan
pun mereka keluarkan untuk kami yang bukan siapa-siapa.
Saya menyadari bahwa bukan materi yang
dapat menciptakan kebahagiaan, melainkan ikatan-ikatan keluarga yang tulus
terbentuk karena kita adalah makhluk yang sangat lemah. Kita saling
membutuhkan. Kita bahkan butuh orang lain untuk sekadar tahu nama kita.
Keluarga-keluarga di sana tidak membutuhkan rumah karena selalu ada tempat
kembali di dalam setiap hati kami.
Foto 2. Bersama warga Desa Nganget
(Dok. Bani Bacan Hacantya Yudanagara)
Kita Ini
Pemimpin, Pemimpin Itu Wajib Berkarya
“Seringkali kita
menganggap apa yang kita lakukan hanyalah suatu yang kecil dan tak berarti.
Tetapi ingat, setetes air akan sangat berharga ketika kau kehausan di tengah
panasnya padang pasir. Teruslah melangkah. Maka, nanti akan banyak yang
mengikutimu. Jangan selalu hanya menjadi penonton karena semua orang juga bisa.
Tujulah lapangan dan jadilah pemain kehidupan. Jangan menunggu bukti, tapi
jadilah bukti itu sendiri.”
Masing-masing dari kita pasti memiliki
potensi untuk memimpin. Seseorang minimal dapat memimpin dirinya sendiri.
Namun, apakah kita mau menjadi orang yang biasa-biasa saja? Kalau saya harus
memilih, saya ingin menjadi orang yang luar biasa di hidup yang hanya sekali
ini. Saya yakin, saya terlahir sebagai pemimpin (khalifah) sebagaimana manusia lain di dunia ini. Saya juga
yakin, pemimpin itu bukan berarti memiliki kekuasaan yang besar atau pengikut
yang mengiyakan setiap perkataannya. Pemimpin, bagi saya, adalah sosok yang
senantiasa berkarya dan bermanfaat bagi sekitarnya sampai akhirnya orang-orang
tergerak untuk melakukan kebaikan bersama.
Salah satu perjalanan saya untuk
berkarya lebih adalah ketika saya ikut serta dalam ajang pemilihan mahasiswa
berprestasi (mapres) di Fakultas Psikologi. Ajang pemilihan mahasiswa
berprestasi adalah ajang tahunan yang diselenggarakan di tingkat fakultas,
universitas, dan nasional. Tidak banyak orang yang berani mengambil keputusan
untuk mengikutinya (sekadar mendaftar dan mengikuti prosesnya). Ada beribu
alasan untuk menyerah sebelum bertanding: merasa tidak pantas, malu, nanti
dikira sok, dan alasan-alasan klise lainnya. Belum lagi menimbang proses
yang akan dilewati ke depannya, seperti mempersiapkan CV, karya tulis, dan
kemampuan berbahasa Inggris. Persiapan CV cukup membuat kepala pusing karena saking banyaknya kolom yang harus
diisi. Penyusunan karya tulis membutuhkan referensi bacaan yang tidak sedikit.
Selain itu, dibutuhkan pula kemampuan berbahasa Inggris yang memadahi, baik
secara oral maupun tulis. Meskipun demikian, keberanian untuk memanfaatkan
kesempatan yang ada dengan mengikuti ajang pemilihan mapres adalah salah satu
fase terindah dalam hidup saya.
Saya sama sekali tidak merasa menjadi
orang yang paling hebat di Fakultas Psikologi. Masih banyak teman lain yang
lebih mahir berbahasa Inggris, lebih mantap rekam jejaknya di organisasi, dan lebih berpengalaman
dalam membuat karya tulis ilmiah. Sungguh, pencapaian mahasiswa berprestasi
yang saya dapatkan ini adalah anugerah dari Tuhan. Segala pengalaman dan
prestasi yang mengantarkan saya mendapatkan gelar Mapres adalah dari Tuhan,
oleh Tuhan, dan untuk Tuhan.
Ketika akan mengikuti ajang pemilihan
mapres, saya berdialog terlebih dulu dengan diri saya sendiri. Kenapa, sih,
saya harus ikut mapres? Apa yang bisa saya dapatkan dari perjuangan yang
melelahkan dan menyita hampir sebagian besar waktu saya itu? Mungkin memang ada
reward eksternal berupa hadiah yang cukup menggiurkan. Selain itu, bisa,
lho, jadi semakin dikenal orang.
Namun, apakah hanya sebatas itu? Sepertinya terlalu dangkal jika motivasi saya
hanya sebatas mencari materi dan popularitas. Saya tersadar ketika kemudian
saya membaca sebuah kumpulan tulisan dari mapres se-UI tahun 2010. Saya
tersadar, saya ada di dunia ini untuk
melakukan sesuatu! Saya menemukan jawaban bahwa saya ada untuk menebar
kebaikan sebanyak-banyaknya dan mencegah kemungkaran. Saya selalu ingin bisa bermanfaat bagi
orang-orang di sekitar saya. Dengan menjadi mapres, kesempatan untuk
menginspirasi teman-teman akan semakin terbuka lebar. Selain itu, akses untuk
melakukan aksi-aksi sosial langsung ke masyarakat juga semakin luas karena ada
program-program pembinaan dari UI untuk mapres dan aktivis organisasi.
Program-program pembinaan tersebut mendorong pesertanya untuk berkontribusi
langsung ke masyarakat melalui proyek-proyek sosial.
Foto 3. Malam Apresiasi Mahasiswa
Berprestasi Universitas Indonesia 2012
(Dok. Bani Bacan Hacantya Yudanagara)
Nyatanya,
pintu itu memang terbuka lebih lebar ketika saya telah meraih gelar Mapres.
Saya berhasil melampaui batas yang telah saya tetapkan pada diri sendiri. Saya
bisa menginspirasi orang di sekitar saya untuk ikut berprestasi. Saya bisa
lebih mudah mengajak teman-teman saya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan
pengabdian masyarakat.
Mapres
bukanlah tentang gelar, tetapi ini tentang tangung jawab yang besar. Tanggung
jawab untuk menjadi teladan, tanggung jawab untuk bisa berkontribusi lebih, dan
tanggung jawab untuk lebih berprestasi. Dengan semua tanggung jawab ini, saya
merasa lebih termotivasi untuk berbuat lebih.
Kawan,
percayalah, setiap mahasiswa sejatinya adalah mahasiswa berprestasi ketika dia
berkarya dan memberikan kontribusi bagi orang-orang, lingkungan, dan masyarakat
di sekitarnya.
Selamat
berkarya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar