Rahma Suci Sentia
Indonesia, Best
Practices Pengumpulan dan Pengelolaan Dana Filantropi di Dunia?
Filantropi yang
sukses acapkali dikaitkan dengan kisah lembaga-lembaga filantropi
internasional, yang mampu mendanai kegiatan sosial lintas negara, seperti Bill
Gates Foundation, Ford, Rokefeller, dan MacArthur Foundation. Sejumlah nama
yang tentu tidak diasing, baik dari segi ketokohan pemiliknya maupun kesuksesan
perusahaan bisnis yang mendanai dibaliknya. Filantropis ini dikatakan sukses
dikarenakan program sosialnya yang fokus dan berdampak nyata untuk masyarakat, seperti
Bill dan Melinda Gates Foundation yang diklaim sukses mengurangi angka kematian
anak-anak akibat diare maupun folio – mereka sejak awal fokus untuk
menyelesaikan keterbatasan akses fasilitas kesehatan di negara berkembang-.
Lembaga filantropi ini tidak hanya memiliki dana yang besar, yang memiliki
tujuan tertentu, tapi juga akuntabel dalam pelaksanaannya, sehingga tak ayal
dicap sukses di mata dunia. Walaupun kecenderungan diantara lembaga ini yang
lebih suka mendanai program yang terukur dan nyata dalam waktu singkat
(Republika, 2010).
Akan tetapi,
jika ditelaah lebih dalam lagi, gerakan masif dari lembaga filantropi, yang
disebut Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) –lembaga formal yang mengelola dana
sedekah, zakat, dan infaq- di Indonesia, pada dasarnya lebih sukses dan lebih
patut diapresiasi. OPZ ini mendanai kegiatannya dari kumpulan dana-dana kecil
dari masyarakat yang secara ekonomi sangat jauh dibandingkan filantropis dunia,
tetapi melalui lembaga yang terprogram, dana kecil tersebut mampu digunakan
untuk beragam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Lebih uniknya lagi, program ini
mampu menyentuh daerah-daerah terdekat kota dan
tidakw terkecuali daerah pedalaman di Indonesia, dengan program yang
menyesuaikan kekhasan lokal, seperti Dompet Dhuafa (DD) dengan jejaring Lembaga
Pertanian Sehat di Jawa Barat, atau DD dengan jejaring Minangkabau Trust Fund
untuk pemberdayaan usaha bagi kaum dhuafa di Sumatera Barat. Inilah ‘gerakan
kecil-kecil cabe rawit’.
Tidak hanya itu,
beberapa OPZ terutama OPZ yang dikelola oleh lembaga dengan karakteristik
lembaga independen atau melalui lembaga bisnis di Indonesia, cenderung dikelola
lebih transparan dan memiliki pengendalian internal pendistribusian dana yang
efektif (Sentia, 2013). Organisasi pun dikelola oleh kalangan intelektual
dimulai dengan sistem perekrutan tenaga Sumber Daya Manusia yang selektif dan
berkualitas semisal Management Trainee. Selain itu, ia memiliki pembagian
program pemberdayaan jangka pendek (semisal Program Sosial-Releif), menengah
(Program Kesehatan), dan jangka panjang (Program Ekonomi) dengan langkah taktis
program yang jelas. Terlebih, program
jangka panjang merupakan ruh dari OPZ yang memang memiliki tujuan untuk
mengentaskan kefakiran dan kemiskinan.
Jika
dibandingkan dengan filantropi sejenisnya -lembaga pengelola zakat di negara
lainnya-, kekhasan Indonesia yang tidak dimiliki lembaga lainnya adalah dananya
dikumpulkan dan dikelola oleh pemerintah dan juga masyarakat. Hal ini tentu
berbeda dengan Arab Saudi, Sudan, Pakistan, Yaman, Libya yang dikumpulkan dan
dikelola oleh Pemerintah atau Afrika Selatan, Aljazair oleh masyarakat atau
Malaisya yang dikumpulkandan dikelola
oleh Pemerintah dan perusahaan (Indonesia Zakat and Development Report 2010,
hal. 78.). Keadaan yang ada ini membuat filantropi seperti zakat menjadi bagian
dari pemerintah dan juga bagian dari masyarakat, sehingga gerakan zakat
Indonesia lebih hidup dan kreatif karena
bergerak top down dan juga grass root.
Bahkan keadaan
OPZ sudah bertransformasi dari dahulunya hadir sebatas dalam lingkup amal,
sosial, dan invidual menjadi lingkup ekonomi, pembangunan, dan umat. Perubahan
ini memberikan double effect bahwa
filantropi di Indonesia bukan tentang charity
tapi development dan empowerment yang menentukan gerak
ekonomi suatu negara. Oleh karena
itulah penulis meyakini bahwa OPZ yang ada di Indonesia merupakan salah satu
contoh model OPZ yang unik dan bentuk filantropi ideal di mata dunia.
Meningkatkan Peran Melalui Peningkatan Tata
Kelola
Kesuksesan model
filantopi Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang arah gerak
filantropinya menjadi acuan-walaupun untuk saat ini dalam lingkup filantopi
secara umum, filantopi Indonesia belum diakui sukses. Akan tetapi pentingnya
peran Indonesia bisa dilihat dengan ditunjuk perwakilan Indonesia untuk beberapa
periode belakangan ini menjadi Sekjen World Zakat Forum. Kesempatan ini
menjadikan Indonesia memiliki lebih banyak wewenang dan kesempatan untuk lebih membakukan praktik pengelolaan
zakat secara umum agar lembaga
filantropi OPZ berjalan profesional. Jika keprofesioanalan OPZ Indonesia bisa
dipupuk dan dikembangkan, menjadi hal yang mungkin untuk mengembangkan kerja
OPZ Indonesia dalam skop yang lebih menggobal. Hal ini tentu telah dilakukan
sebelumnya oleh beberapa OPZ semisal Dompet Dhuafa dengan cabang programnya di
Hongkong untuk bantuan advokasi para Tenaga Kerja Indonesia(TKI) atau bantuan
aksi cepat tanggap untuk Palestina atau pengumpulan dan pengelolaan dana zakat
dari warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri.
Akan tetapi,
peran yang bisa digarap Indonesia bisa melebihi itu, yakni menjadi lembaga
pilihan masyarakat muslim ataupun non muslim dunia dalam mengumpulkan dan mengelola dana filantropi. Hal ini bukanlah
mustahil ketika OPZ mampu membuktikan dirinya berbeda dengan lembaga filantropis
lain, yang sering dicap sebagai ‘filantropi laba’ atau ‘selebrasi media’ (Nickel
& Eikenberry, “MarketizedPhilanthropy”, 2007). Filantropi-filantorpi sejenis
inilah yang membuat masyarakat lebih suka memberikan dananya langsung kepada
yang menerima daripada mempercayakan kepada lembaga dan membuat program filantopi
yang ada hanya sebagai objek kebutuhan pihak tertentu. Pada hakikatnyam, OPZ
memang bukan termasuk dari kedua jenis filantopi diatas. Dengan menjadi lembaga
filantropi yang bekerja profesional dan dengan sistem yang dapat
dipertanggungjawabkan, OPZ dapat menarik lebih banyak jejaring untuk bersatu
padu dalam melakukan kegiatan filantopi yang skalanya lebih besar. Tidak hanya itu, ia juga mampu melipatgandakan
pengumpulan dananya karena lebih dipercayai dan juga lebih optimal dalam melakukan pengelolaan
zakat.
Sebagai illustrasi,
ketika pemilik kekayaan mulai sadar akan pentingnya kesyariahan –bebas riba- ,
mereka pun mengincar lembaga perbankan syariah untuk menyimpan dan memutar uang simpanan
mereka. Tak ayal uang dari miliarder minyak Arab, bisa terendap di lembaga
lembaga keuangan Eropa seperti Inggris karena syariah, lebih profesional dan aman. Maka, bisakah
dibayangkan jika ada sebuah lembaga filantropi dimana miliarder bisa
mempercayakan ‘sumbangan’ nya? Berapa banyak dana yang dapat dimanfaatkan dan
berapa banyak bantuan yang dapat disalurkan kepada muslim lainnya. Bukankah
aneh jika program filantropi di negara mayoritas muslim Afrika, justru hingga
kini didapatkan dari lembaga filantropi non islam, semisal Bill Gates
Foundation. Padahal sebenarnya kaum muslim sendiri berpotensi besar untuk
mengambil peran disana. Lalu, apakah ‘cabe rawit’ OPZ ini bisa menjadi raksasa
besar dunia dimasa depan?.
Penulis kembali meyakini
dengan segala kelebihan yang dimiliki
OPZ, pada dasamya OPZ dapat menjadi filantropi kelas internasional jika mampu
mengembangkan kapasitas dan kualitasnya tidak hanya didalam mengelola dana
filantropi tapi mengelolanya dengan optimal. Selain tentunya adanya program
kreatif, jangka panjang, publlik akan lebih peduli dengan adanya keterbukaan dan
sistem pengendalian internal dalam pendistribusian zakat yang dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar