Sukuk Salam dalam Pasar Uang Syariah
sebagai Langkah Nyata Mewujudkan Swasemda Pertanian[1]
di Indonesia
Oleh Rahma Suci Sentia
essay menjadi juara 1 Lomba Sayembara Artikel Ekonomi Islam se UI 2011
Pasar uang syariah di Indonesia tidak
menampakkan gairahnya sedikitpun di tengah pesatnya perkembangan perbankan
syariah di Indonesia. Aktivitas dari bank syariah sebagai pelaku utama pasar
uang ini khususnya di instrument SBI Syariah justru relatif kecil, yakni 2,91%-9,
31% dari total DPK. Berdasarkan data olahan statistik perbankan syariah dari Bank Indonesia, terlihat bahwa
sejak Januari 2010 hingga akhir
Juli 2010, proporsi penempatan SBI
syariah semakin berkurang, yakni dari 6,
34% hingga menjadi 4, 26% (PEBS-FEUI, 2011).
Berbeda sekali dengan Malaisya dan
Bahrain yang justru berjaya di pasar ini. Bahkan pasar uang syariah diakui
secara internasional sejak lahirnya
Bahrain Monetary Agency (BMA) dan Bank Negara Malaysia. Hal ini merupakan
bagian dari perwujudan kesungguhan masing-masing negara ketika hendak
memutuskan mendirikan dan mengenalkan bank syariah di negaranya[2].
Salah satu penyebab terhambatnya
perkembangan pasar keuangan syariah Indonesia, yakni adanya kekhawatiran bahwa
pasar uang syariah dengan instrumen derivatifnya akan mengakibatkan bubble economy yang merupakan mayoritas
sumber krisis perekonomian abad ini (Arifin, 2011). Akan tetapi, didalam pasar uang yang
dijalankan dengan murni syariah, kekhawatiran ini tidak akan berlaku karena
instrumen yang diperjualbelikan merupakan instrumen tahap pertama dan tidak
dapat disekuritisasi kembali. Para ulama telah menyepakati bahwa instrumen yang
disekuritisasi kembali bersifat derivatif dan tidak untuk diperjualbelikan.
Seiring dengan peningkatan pemahaman
tersebut serta semakin berkembang pesatnya perbankan syariah, para pakar,
praktisi ekonomi islam, pemerintah beserta stakeholder
terkait dituntut untuk mampu mengembangkan pasar uang syariah dengan lebih
inovatif dan solutif. Instrumen yang dikembangkan harus segera dibahas
bersama-sama. Hal yang terpenting adalah instrumen tersebut bersifat ke-Indonesian. Tidak sekedar meniru
dari negara-negara lain. Terlebih, pembatasan tentang syariah tidaknya suatu
transaksi berbeda antar negara dan antar ulama ataupun mazhab[3].
Selain itu, pasar uang syariah yang
dikembangkan haruslah berperan sebagai lembaga intermediasi sektor riil yang
ukurannya lebih besar dibandingkan perbankan (Harahap, 2008). Produk di sektor
moneternya hanya ada dan mengikuti perkembangan sektor riil sehingga prinsip “uang
adalah cermin dari barang” dalam Ihya
Ulumuddin Imam Alghazali terpenuhi. Berbeda dengan konvensional yang melenceng
dari hakikat kehadiran pasar uang itu sendiri, mereka sekurang-kurangnya telah
melanggar prinsip maghrib- maisyir,
gharar, dan riba[4]-.
Oleh karena itu, butuh instrumen baru dari
pasar uang syariah yang benar-benar berfungsi sebagai penggerak sektor
ekonomi riil
Sejalan dengan itu, Indonesia sebagai
negara agraris memilki agrikultur yang merupakan sektor rill pertama dan utama
yang harus dikembangkan. Selain karena
dominansi penduduk Indonesia masih berada di pertanian, kebutuhan akan
peningkatkan keunggulan kompettif Indonesia sebagai negara agraris yang mampu
mewujudkan swasembada pangan dan pertanian harus segera direalisasikan. Dalam
hal ini, bukan pertanian saja yang akan merasakan keuntungan dari penguatan dan
revitalisasi pertanian itu sendiri. Industri pangan dan agrobisins pun sebagai
sektor hilir dari pertanian menjadi lebih terserap. Adanya efek domino tersebut
perlu dimanfaatkan terlebih ditengah kekuatan sumber daya alam Indonesia yang dimilki serta peluang dari aktivitas ekonomi syariah yang semakin
digandrungi pasar Indonesia.
Oleh karena itu, dalam essai ini, penulis
akan membahas sukuk salam sebagai instrumen pembiayaan pertanian yang dapat
dimanfaatkan pemerintah yang dananya diperoleh dari kelebihan likuiditas bank
di pasar uang syariah. Dengan demikin, instrument ini sekaligus menjaga kelebihan likuiditas bank dengan
prinsip syariah baik itu berasal dari bank syariah maupun bank konvensional.
Mengenal
Pasar Uang Konvensional dan Pasar uang Syariah
Pasar uang adalah suatu mekanisme
untuk memperdagangkan dana jangka pendek dalam kurun waktu kurang dari satu
tahun yang berguna dalam pengaturan likuiditas bank (Muhammad, 2002). Jika bank
memiliki kelebihan likuiditas, ia dapat menggunakan instrumen pasar uang untuk
menginvestasikan dananya. Jika mengalami kekurangan likuiditas, ia dapat
menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai.
Dibolehkannya
pasar uang syariah di Indonesia didasarkan pada Fatwa DSN MUI NO:
37/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasar uang syariah yang dimaksud bukanlah pasar dengan akad jual beli utang (bai al-dayn), melainkan berbasis mudharabah (muqaradhah)/ qiradh,
musyarakah, qard, wadi’ah, al-Sharf, dan akad syariah lainnya. Di dalam
fatwa ini juga tertera landasan Alquran dan Sunnah yang mendasari pembolehan
tersebut. Salah satunya hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah yang mendasarinya, yakni
adanya kaidah lebih baik mendahulukan menolak mudharat daripada mendahulukan
maslahat. Hingga akhirnya, pasar uang syariah dipandang merupakan tindakan
antisipasi lebih lanjut dari bahaya kekurangan maupun kelebihan likuiditas di bank.
Perbedaan mendasar pasar uang syariah
dengan pasar uang konvensional terletak pada mekanisme penerbitan dan sifat
instrumen itu sendiri. Dalam pasar konvensional, instrumen yang diterbitkan
adalah instrumen hutang, yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas
perhitungan bunga. Adapun pasar uang syariah lebih kompleks dan lebih mendekati
mekanisme dalam pasar modal.
Instrument dari pasar uang
konvensional memilki variasi, seperti Surat Utang Negara, seperti Repurchase
agreements (Repo), Commercial paper (CP), Negotiable Certificates of Deposit
(CDs), serta Bankers acceptances. Sedangkan instrument pasar uang syariah di
Indonesia masih terbatas pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Sertifikat
bank Indonesia Syariah (SBIS), dan
Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA). Bahkan diantara jenis instrument yang sedikit
ini, SBI syariah masih disinyalir mengandung unsur riba, sebab dalam
perjalannanya terjadi ziyadah(pertambahan) tanpa adanya iwadh (aktivitas di
sektor riil).
Kebutuhan
Instrumen Baru di Pasar Uang Syariah
Dalam
papernya yang berjudul Strategi Pengembangan Uang Syariah, Zainal Arifin
menyebutkan bahwa perbankan islam kini menghadapi kendala operasional berupa kesulitan mengendalikan likuiditasnya secara
efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala yang antara lain :
Tidak tersedianya kesempatan investasi
segera atas dana-dana simpanan yang diterimanya. Dana-dana
tersebut terakumulasi dan
menganggur untuk beberapa hari
sehingga mengurangi rata-rata pendapatan mereka
Kesulitan mencairkan dana investasi
yang sedang berjalan, pada saat ada penarikan dana dalam situasi kritis. bank
syariah menahan alat likuid-nya dalam jumlah yang lebih besar dari pada
rata-rata perbankan konvensional. kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya
rata-rata pendapatan bank.
Instrumen
likuiditas yang efisien paling tidak merupakan
instrumen yang dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan
efektif dari investasinya. Oleh karena itu setiap instrumen keuangan harus
memenuhi beberapa syarat antara lain: pendapatan yang baik (good return); resiko yang rendah
(low risk); mudah dicairkan (redemable); sederhana (simple); dan fleksibel
(Zainal, n.d.)
Kondisi ini semakin mendesak pihak
terkait untuk segera menyediakan alternatif instrumen baru yang sesuai kebutuhan
dan jati diri bank syariah itu. Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah
apakah ada instrumen yang bisa memenuhi likuiditas secara efisien sekaligus
mendorong kegiatan sektor riil.
Perwujudan
Sukuk Salam Sebagai Instrumen Baru Pasar Uang Syariah Guna Akselarasi Swasembada
Agraris
Sukuk salam merupakan sukuk yang
menggunakan akad salam dimana pemilik dari barang salam menerbitkan sertifikat
kepemilikan atas barangnya yang dijual kepada investor. Akad salam menggambarkan
bahwa barang baru akan diterima diakhir periode nanti, sedangkan uang
pembayaran diterima di muka secara penuh. Di dalam pasar uang syariah,
pemerintah menjadi penerbit sukuk sedangkan bank menjadi investor. Dalam
tataran praktisnya, pemerintah bisa saja sebelumnya telah menggunakan akad
salam paralel antara petani, pemerintah,
maupun bank; pemerintah berperan sebagai
wakil dengan menggunakan akad wakalah ataupun akad syariah lainnya. Sedangkan
keuntungan bank diperoleh dari margin yang didapat dari jual beli salam
tersebut.
Metode ini dapat digunakan pemerintah untuk
menghimpun dana guna keperluan pembangunan dan proyek tertentu yang dibutuhkan.
Pemerintahan Bahrain, misalnya, telah mengeluarkan obligasi syariah semacam ini
untuk pembiayaan hasil pertanian dengan prinsip Salam dan Istishna. Bahrain
Monetary Agency menerbitkan government bill berakad salam bersifat jangka
pendek 91 hari. Underlying asset-nya
dijual kepada bank islam dan barang akan diterima di akhir periode sesuai
kesepakatan. Bank islam kemudian menunjuk pemerintah sebagai agen penerima pengiriman
komoditas dan pasar melalui penyalur.dengan kontrak agen ini, barang pertanian
dijual ke pasar dengan harga kompetitif dan tingkat keuntungan yang didapat
menjadi milik bank . Sukuk ini bersifat
first level securization sehingga bukan merupakan instumen perdagangan dan
hanya bisa dipegang hingga akhir periode (Talha, n.d). Jika setelah tiga bulan
berakhir dan bank ingin memperpanjang investasi likuiditasnya, dapat dibuat
perjanjian baru lagi setelah perjanjian pertama selesai (Wilson, n.d)
Di Bahrain, sukuk salam ini terbilang
sukses dan mampu menampilkan sosok bank syariah yang pro-sektor riil. Ini tidak
terlepas dari kesediaan dan kesiapan pemerintah, bank, serta pihak terkait. Di
Indonesia sendiri, perlu kajian dan analisis lebih lanjut mengenai potensi
pengaplikasian sukuk salam. Akan tetapi, melihat peluang sumber daya pertanian
yang begitu besar disertai akselarasi transaksi ekonomi syariah, dan niatan
pemerintah untuk melakukan swasembada di bidang pertanian, maka sukuk salam
diprediksi sangat berpeluang menjadi primadona
di negeri agraris Indonesia.
Daftar Pustaka
Agustianto.
(2011, 10 4). Transaksi derivatif dalam perspektif syariah . Retrieved
8 5, 2011, from Agustianto: http://www.agustiantocentre.com/?p=156
Arifin, C. M. (2011, April 25). Retrieved Agustus 5, 2011,
from http://www.ekisonline.com/.
Arifin, Z. (n.d.). Strategi Pengembangan Pasar uang
Syariah .
Bank Negara Malaisya. Malaysia Toward an Islamic State.
Bisnis Indonesia . (Kamis, 14 Juli 2011. ). BBJ segera
rilis 4 komoditas syariah.
Harahap, S. S. (2008). Peranan Perbankan Syariah dalam
Mendorong Sektor Riil. Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah , 47-64.
Mediawati, E. Pasar Uang dan Pasar Modal Syariah.
Mihajat, I. S. (2011). Pasar Uang Syariah: Instrument Baru
di Industri Perbankan Syariah
MUI, D. S. (2002). Fatwa DSN MUI NO: 37/DSN-MUI/X/2002
tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta.
PEBS-FEUI. (2011). In I. Wahyudi, & F. Rosmanita, Indonesia
Shariah Economic Outlook 2011 (pp. 55-64). Jakarta: Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Talha, M. (n.d.). Malaysia Toward an Islamic State.
Wilson, P. R. Islamic Bonds: Your Guide to Issuing,
Structuring and Investing in Sukuk –Overview of the sukuk market.
University of Durham, Institute for Middle Eastern and Islamic Studies,,
United Kingdom.
[1] Pertanian yang dimaksud disini
mencakup pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan,
dan pertanian.
[2] Di malaisya, bank memastikan sedari
awal bahwa sistem perbankan islamnya harus berdiri di atas tiga komponen, yakni
instrumen keuangan yang seusia kebutuhan bisnis muslim, institusi keuangan yang
menyediakan fasilitas pembiayaan islam, serta pasar uang antar bank berbasis
syariah.
[3] Misal, Para ulama Malaysia
mengkategorikan hutang (yang menjadi salah satu akad di pasar uang syariahnya sebagai
harta biasa, sehingga dapat diperjualbelikan pada harga yang disepakati.
Karenanya jual-beli hutang dibolehkan dan berkembang pesat di Malaysia. Tidak
demikian halnya dengan negara-negara Timur Tengah dan Indonesian yang
memperlakukan hutang berbeda dengan harta biasa, sehingga instrumen tersebut
tidak berkembang di Timur Tengah dan Indonesia.
3Tiga macam praktik terlarang inilah yang
menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang
berbentuk judi dan spekulasi..
Sedangkan gharar
ialah transaksi maya, derivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi.
Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar