Senin, 06 Agustus 2012

BBM Naik, Salahkah??!!


BBM Naik, Salahkah??!!!
Rahma Suci Sentia

Salah satu kunci utama menguasai dunia adalah dengan  minyak bumi. Minyak bumi bisa menjadi senjata politik yang menakutkan karena sektor industri dunia sangat bergantung kepada pasokan minyak bumi. Kestabilan dan ketersedian munyak bumi suatu negara sangat bergantung pada kebijakan dari minyak buminya termasuk didalamnya kebijakan harga dari produknya seperti BBM (Bahan Bakar Minyak). Kebijakan harga ini pula yang mendukung pasar apakah dapat dijalankan secara efisien atau tidak.
            Isu kenaikan BBM yang digelontorkan pemerintah Indonesia akhir-akhir ini pun menimbulkan pro dan kontra. Semua pihak hadir dengan bukti empirisnya masing-masing untuk saling beradu argumentasi tentang kebijakan apa yang seharusnya dilakukan pemerinah. Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen (LPEM) Fakultas Ekonomi UI, kenaikan BBM akan meimbulkan dampak  negatif di masyarakat kecuali jika diikuti oleh, i) kebijakan kompensasi efektif dan ii) penggunaan dana subdidi yang dihemat ke sector-sektor yang lebih produktif, dampak total menjadi positif (Agustus 2003). Tapi fakta berkata lain, pengaruh dari kenaikan BBM yang diisukan pemerintah justru ditangani dengan dikeluarkannya BLTS (Bantuan Langsung Tunai Sementara) yang satu persaudaraan dengan BLT, yakni bantuan langsung bersifat konsumtif.

Bagai makan buah simalama kebijakan subsidi yang selama ini dijalankan pun toh  nyatanya tidak lebih baik. Permasalahan subsidi yang terjadi di Indonesia di masa lalu hingga kini adalah terjadinya inefisiensi penggunaan BBM, terjadinya salah sasaran pemberian subsidi yang seharusnya untuk kelompok berpenghasilan rendah ke kelompok penghasilan menengah ke atas, membebani anggaran pemerintah dalam jumlah yang ‘dirasa’ pemerintah cukup signifikan. Perbedaan yang cukup besar antara harga BBM domestik dan harga BBM internasional pun mendorong terjadinya penyelundupan BBM. Belum lagi perbedaan harga yang menyolok antar produk BBM juga memberikan peluang untuk mengoplos minyak tanah dengan solar atau bensin. Apabila laju pertumbuhan pemakaian minyak bumi pada masa mendatang masih sebesar saat ini, diperkirakan Indonesia akan menjadi net importir beberapa tahun kedepannya. Walaupun agak aneh memang,  bila negara yang memiliki pasokan minyak bumi yang besar ini diprediksi akan menjadi net impor. Akan tetapi, ini bisa saja terjadi jika kenyataannya pengelola minyak Indonesia secara sepihak mendeklaraasikan kedefisitan itu walaupun belum sesuai dengan nyatanya.

Tidak heran, Indonesia mulai dari rakyatnya, pemerintahnya, hingga mahasiswanya bingung mau dibawa kemana Indonesia beserta kebijakannya. Bingung bagaiamana mengurus rumah tangganya sendiri. Bingung apakah kita harus menyalahkan asing ataukah kita yang terlalu phobia asing dan berbagai isu konspirasi di dalamnya.

Bagi penulis,  hal yang dipaparkanlah diatas bukan akar dari permasalahan ini. Karena akar permasalahan tersebut hanya bisa diketahui oleh bangsa ini sendiri jika mau memaparkannya secara objektif. Bukan naik atau turunnya harga yang menentukan kestabilan negara ini, karena begitu banyak alternatif ekonomi yang bisa ditawarkan oleh para ekonom Indonesita untuk menghadapai kedua kondisi tersebut. Akan tetapi permsalahannya adalah sudahkah bangsa ini membuat kebijakan yang sesuai untuk bangsanya sendiri seperti menata rumah sendiri.

 Sudah menjadi suatu keharusan bagi negara yang ingin maju ekonominya memperhatikan kondisi negaranya  secara serius. Apalagi, Indonesia sebagai negara kepulauan yang luas, sumber daya alam melimpah, dan sumber daya manusia yang berpotensi untuk diekplorasi oleh para generasinya. Sebab itu, diperlukan perbaikan dan peningkatan yang signifikan untuk membangun kebijakan dalam negeri. Pemerintah harus berupaya sekuat tenaga membenahi dan meningkatkan kebijakan yang pro ‘diri sendiri ‘ (baca: ibu pertiwi, tanah air) dalam negeri sebagai modal utama memperkuat kedududukan Indonesia  di tengah arus globalisasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar