To Make Research Becomes Fun!
MUHAMMAD FADEL NOORSAL
Isu mengenai perkembangan budaya ilmiah
selama ini menjadi salah satu isu yang “seksi” diangkat di ranah pendidikan.
Seringkali banyak pihak meneriakkan rendahnya kualitas riset di Indonesia atau
buruknya sistem apresiasi bagi para peneliti di Indonesia. Rendahnya apresiasi
itulah yang membuat tidak banyak ide orisinal nan cemerlang lahir dari bangsa
Indonesia. Belum lagi ditambah dengan anggapan orang mengenai dunia ilmiah yang
sangat rumit. Banyak juga orang yang bisanya “omong doang” akan pentingnya
mengembangkan budaya ilmiah, tetapi tidak ada aksi nyata sama sekali.
Rasa-rasanya, budaya ilmiah di Indonesia saat ini sedang berada di titik nadir.
Sejak masuk kuliah, saya telah menaruh
perhatian luar biasa dalam perkembangan dunia ilmiah di kampus. Sejak semester
kedua, saya masuk ke Departemen Pendidikan BEM FE UI dan secara tekun
meneruskan perjuangan di BEM UI selama dua tahun, yakni sebagai staff dan
kepala departemen. Perhatian saya pada dunia ilmiah bukan apa-apa awalnya,
hanya sekedar ingin tahu saja. Maklum, waktu di Padang, saya belum banyak
merasakan kesempatan pengembangan dan aktualisasi diri seperti di UI. Pilihan
saya jatuh ke bidang keilmuan karena bagi saya dunia ilmiah sangatlah dinamis
dan sedang menunjukan gaungnya di UI.
Nyatanya, perjalanan dalam departemen
yang saya pilih tidaklah mudah. Sebagai salah satu yang baru saja dibangun,
Departemen Pendidikan belum mendapat banyak perhatian. Jika dibandingkan dengan
Departemen Kajian Strategis (Kastrat) ataupun Departemen Kesma dan Sosial
Masyarakat (Sosmas), Departemen Pendidikan dapat dikatan anak bawang. Di
masa-masa awal ketika saya menempati posisi sebagai staf Departemen Pendidikan
BEM FE, saya menyadari bahwa membangun iklim keilmuan bukanlah sesuatu yang
mudah. Rendahnya minat mahasiswa akan kegiatan ilmiah serta kurangnya kompetisi
yang memadai membuat mahasiswa—tidak hanya di UI, tetapi juga di lingkup
nasional—tidak banyak melirik dunia keilmuan. Ditambah dengan stigma yang
memandang dunia keilmuan sebagai sesuatu yang rumit dan membosankan, saya sadar
betul bahwa tidak mudah menumbuhkembangkan isu ini. Namun, saya tidak langsung
patah semangat. Saya sangat mengamini ucapan Walter Bagehot yang menyampaikan,
“the greatest pleasure in life is to do
what others say you can’t do”. Oleh karena itu, sejak awal, saya menanamkan
niat dalam diri saya untuk memberikan ide-ide terbaik dalam pengembangan budaya
riset.
Salah satu fokus saya selama
berkecimpung di dunia keilmuan adalah bagaimana menciptakan kesan atau persepsi
bahwa menulis itu mudah dan riset itu menyenangkan. Alhamdulillah, pada saat tahun pertama, saya tergabung dalam
kepanitiaan Student Research Days 2009 di FE UI dan dipercaya untuk menjadi
ketua pelaksana. Mengusung tagline “When Research Becomes Fun”, saya bersama
tim bertekad untuk memacu semangat riset di kalangan mahasiswa FE UI terlebih
dahulu. Pelaksanaan di lapangan memang tidak semudah dalam konsep dan untuk
setiap perubahan pasti ada resistensi di dalamnya. Hal ini terlihat dari
penyelenggaran pertama SRD di FE UI yang masih sepi peminat. Namun, saya yakin
bahwa ini hanyalah sebuah titik balik dari penciptaan budaya keilmuan di FE.
Lambat laun, apa yang saya impikan
sejak dulu mulai terlihat hasilnya. Saat ini, SRD sudah memasuki tahun keempat
dan antusiasme mahasiswa terhadap SRD semakin besar. Semakin banyak mahasiswa
baru yang mulai melakukan riset kecil-kecilan, mengikuti lomba karya tulis, dan
mengikuti kompetisi karya nyata lainnya. Selain itu, saya juga turut membantu
membesarkan Komunitas Studi Mahasiswa FE UI, komunitas yang saya impikan bisa
menjadi motor penggerak bangkitnya budaya ilmiah di FE UI. Perlahan-lahan, saya
melihat banyak mahasiswa FE yang sudah tidak lagi menganggap keilmuan sebagai sesuatu
yang berat, melainkan sebagai sesuatu yang dapat diubah menjadi menyenangkan.
Saya sendiri juga masih rutin melakukan pembinaan dan turut membantu memberikan
masukan. Saya berharap, dengan pembinaan, akan selalu tercipta kader-kader baru
untuk mewariskan budaya ini ke generasi berikutnya. Karena saya yakin, pemimpin
bukanlah mereka yang hanya mampu menciptakan pengikut, tetapi juga mampu
menciptakan pemimpin-pemimpin lainnya.
Tidak puas hanya di FE, tahun
berikutnya saya mengambil kesempatan berkiprah di lingkup UI. Saya bergabung
bersama Departemen Keilmuan BEM UI. Di sana, saya bisa melihat dengan jelas
peta kekuatan budaya kelimuan di UI. Dari sana, saya bisa melihat
potensi-potensi yang bisa dibangun menjadi sebuah kekuatan besar. Sayangnya,
belum ada cukup modal, baik dalam hal dukungan dari tiap-tiap fakultas maupun
dukungan dana. Namun, bagi saya, tidak semua harus bermula dari modal besar.
Saya sebenarnya cukup kagum dengan rekan-rekan UGM dan IPB pada saat itu. Riset
mereka sering menjadi juara PIMNAS. Riset mereka pun adalah riset-riset
aplikatif yang justru tidak membutuhkan dana terlalu besar dalam
pelaksanaannya. Terlebih lagi, dengan semakin banyaknya keran-keran pendanaan
saat ini, sangatlah mudah untuk membiayai proyek yang akan kita jalankan.
Bermodalkan strategi yang saya pelajari
dari teman-teman UGM dan IPB, saya mulai berbagi kepada teman-teman saya bahwa
riset tidak harus canggih. Riset canggih akan menjadi sia-sia ketika ia tidak
membawa manfaat yang signifikan. Riset justru harus diarahkan untuk menjadi
lebih aplikatif. Saya belajar dari teman-teman UGM yang pernah membuat nugget
lele di daerah yang memiliki potensi tambak lele. Ada pula teman-teman UGM yang
membuat kampung herbal karena di daerah yang diberdayakan terdapat banyak bahan
herbal. Ada teman-teman dari IPB yang pernah membuat boneka horta. Ada pula
yang membuat berbagai macam produk pakan ternak dari olahan limbah hewan laut
seperti ikan dan kerang. Selain itu, masih banyak lagi karya spektakuler
lainnya. Riset aplikatif, menurut saya, selain memberikan pengalaman lapangan
yang lebih besar bagi mahasiswa juga bisa menghilangkan citra UI sebagai
“menara gading” di mata masyarakat sekitar.
Lambat laun, perubahan yang lebih baik
mulai terlihat. Jumlah partisipan dalam pembuatan proposal Program Kreativitas
Mahasiswa terus bertambah. Yang sekarang dipegang suksesor saya juga semakin
membaik. Meskipun ada sentimen yang menyatakan bahwa anak UI sulit menang di
PIMNAS karena kurangnya perhatian pada rumpun sosial, bagi saya hal ini
bukanlah masalah besar untuk diributkan. Banyak sekali lahan yang bisa digarap
oleh peneliti atau mahasiswa ilmu sosial di luar sana. Mahasiswa akuntansi bisa
membantu pembukuan UMKM, mahasiswa sastra bisa memberikan pengajaran bahasa
kepada masyarakat, mahasiswa psikologi bisa membantu tumbuh kembang anak-anak
yang belum berkesempatan merasakan pendidikan formal, dan masih banyak lagi
yang bisa digarap. Ke depan, saya berharap akan semakin banyak karya aplikatif
yang lahir dari UI.
Saya tidak lupa pula pada tugas seorang
pemimpin untuk menciptakan pemimpin baru lainnya. Di level UI, saya beruntung
bisa berkenalan dengan Al Hafi yang mampu membentuk komunitas UI to PIMNAS dan
saat ini mampu membuat keilmuan di UI menjadi lebih baik lagi. Di FE sendiri, saya
bersama Ketua BEM FE UI 2010, Akbar Dahlan, berinisiatif membentuk suatu
komunitas studi yang berisi mahasiswa yang memiliki minat besar pada dunia
tulis menulis dan riset. Alhamdulillah,
komunitas itu berhasil terbentuk pada tahun 2011 dengan nama Komunitas Studi
Mahasiswa Ekonomi (KSME). Tidak mudah untuk membesarkan KSME. Di tahun pertama,
saya dan rekan-rekan saya menghadapi banyak masalah manajerial, masalah
komitmen anggota, dan bentuk organisasi yang belum jelas. Masalah-masalah ini
umum ditemukan pada organisasi yang baru dibentuk. Namun, lambat laun,
perbaikan demi perbaikan dilakukan. Memasuki tahun kedua, KSME sendiri cukup
banyak diminati oleh mahasiswa baru serta memiliki berbagai program baru yang
inovatif seperti riset lapangan, diskusi rutin, sharing member, dan
sebagainya. Menciptakan perubahan secara kolektif, saya rasa, adalah kunci
keberhasilan institusi untuk bisa mencapai misi besarnya. Demi FE UI, KSME siap
melebarkan sayapnya di tahun-tahun berikutnya!
Dibesarkan sebagai seorang organisatoris,
saya mendapatkan banyak ilmu dalam hal kepemipinan, komunikasi, jaringan,
keterampilan, dan masih banyak lagi lainnya. Hanya dengan turut mengambil peran
dalam sebuah sistem, kita bisa mengubah sistem tersebut. Tidak terbatas pada
jabatan struktural semata, setiap orang seharusnya bisa ikut ambil andil dalam
menciptakan perubahan. Mimpi saya adalah mewujudkan terciptanya budaya ilmiah
di kalangan mahasiswa melalui diskusi dan kegiatan belajar yang berbasis studi
kasus. Selain itu, saya juga memiliki mimpi untuk mewujudkan budaya keilmuan
yang akan menciptakan mahasiswa-mahasiswa dengan pemikiran lebih terbuka.
Mahasiswa seringkali hanya terkungkung pada nilai dan sangat text-book. Di setiap kelas yang saya
ajar, saya akan selalu lebih menekankan pentingnya proses dalam pencapaian
hasil dan pentingnya membuka diri pada realitas di lapangan daripada hanya
sebatas melihat teori di dalam buku. Hanya ketika mahasiswa bisa membuka
dirinya terhadap lingkungan, ia akan bisa dengan sempurna memenuhi tridarma
perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat).
Ke depan, saya akan terus
memperjuangkan semakin inklusifnya dunia keilmuan, terutama keilmuan dalam
bidang yang saya geluti. Salah satu ide yang sedang saya jajaki kemungkinannya
adalah penciptaan media belajar yang open
source, yang bisa diakses orang di mana saja sehingga mahasiswa yang jauh
di timur sekalipun bisa merasakan pendidikan berkualitas seperti belajar di UI.
Hal ini sudah sering kita temukan di dunia pendidikan Barat seperti dengan
adanya MIT Open Source, Coursera, dan sebagainya. Saya membayangkan, open source ini akan mengurangi jurang
informasi pendidikan antara desa-kota, barat-timur, serta meningkatkan kualitas
pendidikan untuk semua kalangan tanpa perlu biaya mahal.
Sesungguhnya, manusia yang paling
berharga adalah mereka yang paling bermanfaat. Bermanfaatlah sesuai keahlianmu
masing-masing. Hanya ketika kita melakukan sesuatu yang kita senangi, kita akan
bisa merasakan nikmatnya berjuang untuk meraih cita-cita tersebut dan merasakan
manis hasilnya ketika kita berhasil mencapai impian tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar