Entropi Hidup
RAHMA SUCI SENTIA
Aku percaya dengan falsafah entropi dalam hidup
Bahwa hidup semakin dipenuhi ketidakteraturan dan keruwetan
Tanpa kita kehendaki dan semata kehendak-Nya
Hidup ‘kan terkikis hari demi hari
Tapi sebuah semangat takkan pernah mati,
Jika lahir dari seorang pemimpi(n) yang berani bermimpi
Dan bersintropi
Dan menuju keseimbangan dunia dan ukhrawi
Inilah setitik kisahku menghadapi
sebuah entropi hidup
___
Manggarai, Kini
Aku selalu senang berada di sana
Lelahku selalu pudar
Karena ada canda tawa mereka
Bahkan teriak mereka, laksana penjaja di pasar
Tapi tak pernah membuatku semakin lelah,
Ataupun bahkan semakin lelah
Justru aku senang
Dan tangis dan tawa itu yang selalu kurindu
Dan bila malam Minggu tiba,
Yang ada di benakku hari ini, “Cerita kepahlawanan apa lagi
yang akan kubagi pada mereka?”
Mimpi apa lagi yang akan kutanamkan pada para pemimpi(n) ini
Si kecil, si mungil, para bintang dari bantaran Kali
Manggarai
Sanggarai (Sanggar Anak
Manggarai)
Tempat aku tancapkan dan kokohkan mimpi
Untuk menjadi orang besar untuk mereka
Bukan besar omong, tapi besar amal
Aku mungkin tak terlalu hafal satu per satu nama mereka
Kesukaan mereka
Tapi hatiku selalu terikat dengan sebuah ikatan kuat
Aku seperti hidup di hari Senin hingga Sabtu saat aku
berjuang di kampus
Karena aku tahu ada hari Minggu di saat mimpi-mimpiku
semakin tertancap kuat ketika melihat mata
Sederet mata harapan
Karena aku tahu ada disparitas ekonomi yang nyata terlihat
Utopis ekonomi FE hanya belaka
Manggarai, Akhir
2010
Aku pikir kamu tak peduli dengan kata ini
Kontribusi
Atau jika kau peduli, mungkin kau dan aku lupa untuk
memaknai
Bagiku mati kini atau nanti (entah kapan)
Aku hanya tak berani menghadap nanti tanpa laporan apa-apa
Aku takut kalau aku hanya sanggup melaporkan kurva ekonomi
Atau lembaran keuangan miliaran yang tiap hari kupelajari
Tanpa aku yakin apakah ini akan berarti suatu saat nanti
Atau aku segera mati
Senin hingga Sabtu selalu kuhabiskan menjadi mahasiswa
dengan ikatan tridarma
Pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat,
Tapi itu hanya sekedar kata
Sekedar ajak tanpa buat
Semua berakhir di onggokan kertas, di sebuah acara event organizer, dan mimpi di malam hari
Manggarai, Awal 2012
Februari itu aku putuskan untuk melangkah ke sebuah
lorong-lorong gelap di kali Manggarai,
Sebuah tempat di mana aku pernah hidup dan menghirup udara
tak jauh dari sana.
Saat aku lihat, mereka bertelanjang bulat di bawah paparan
sinar fajar
Disirami air kali yang entah apa warnanya
Rapatan gigi-gigi putih sedang disikat sang pemiliknya,
Dengan mengambil segayung air dari kali untuk berkumur ria
Tak jauh, aku paksa tutup hidung ini
Ada bau
Bau buangan air besar dari sang bapak
Mandi, bersikat gigi, dan buang air
Atas hingga bawah
Dan semua mereka lakukan di satu tempat
Di bantaran ini
Ini bukan sinetron, atau telenovela, bukan pula muslihat
media yang menjaja berita
Ini aku, mataku,
Pukul 06.00, berjalan di tengah mereka setahun yang lalu
Rutin pergi ke kampus dari kampus kuning, yang katanya
kampus perjuangan
Dan kembali lagi melihat tak jauh beda
Malam. Seonggok badan terlelap di bawah tumpukan sampah
Kadang bercengkerama tentang hari yang melelahkan
Inilah mereka yang kutatap
dan inilah entropi dari keluargaku
Kusuka berprestasi
Dahulu kuidamkan sekali dilirik menjadi mahasiswa
berprestasi
Seolah dunia akan lebih indah saat kau dipuji
Fakta entropi selalu menghantui setiap diri,
Kadang sedih, kadang tak peduli, dan lebih banyak bersedih
dan cukup berdiam diri
Atau seperti aku dan beberapa dari kita, yang melanjutkannya
menjadi sebuah ide, inovasi, dan kreasi. Tapi, lagi-lagi hanya berakhir di
sebuah kumpulan kertas
Dan lagi-lagi kau berprestasi karena mampu jual cerita sedih
mereka.
Juara. Ya. Juara.
Tapi ini kontribusi ilusi
Aku bergerak tapi mati. Aku peduli hal lain
Aku berprestasi, hidup tapi mati.
Karena entropi-entropi kehidupan ini hanya bisa kupelajari,
dan teliti
Setahun aku bermenung. Waktu yang cukup lama. Untuk bergerak
menciptakan sintropi kecil
Aku terlalu banyak belajar teoretis. Teori kepemimpinan
Belajar menjadi raja, top
down,
Mencari jabatan struktural,
Tapi pemimpi(n) bukanlah soal pangkat
Atau prestasi terlihat dan ternilai banyak orang
Pemimpi(n) laksana nakhoda yang tahu hendak ke mana kapal
mengarah
Laksana masinis kereta, yang tahu kapan hendak beristirahat
di stasiun berikutnya, dan tak lupa kapan hendak melaju lagi
Dan yang terpenting, pemimpin adalah mereka yang keluar dari
batas limitnya
Yang melihat dengan kekuatan serigala dan singa
Dan saat itu, Tuhan uji aku. Teman-temanku yang lain justru
diberikan amanah lain
Dan ia mengujiku sejauh mana aku akan mengeluarkan batas
limitku.
Kepada orang-orang tak kukenal, entah dengan tujuan apa,
bukan untuk sebuah kompetisi
Apalagi sebuah puji
Tapi bagiku aku belajar kepemimpinan sejati di sini
Yang tak pernah kudapati bertahun-tahun menjadi pemimpi(n)
Sebuah kebijaksanaan, kesabaran, keikhlasan, yang masih saja
tak bisa kupahami, tapi aku yakin seandainya semua pemimpi(n) ada di sini, di
tempat seperti ini, sekadar sedikit berbagi mimpi, maka tak ada namanya
Indonesia mati.
Hanya berbagi cerita,
Sekadar harap kau pun punya cerita, hei
pemimpi(n)
untuk Indonesia yang lebih baik dan
bermartabat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar