Work Camp
IRMA GUSMAYANTI
Aku bukanlah Nabi
Muhammad dan bukan pula Bunda Teresa. Aku bahkan tidak akan pernah menjadi
seperti mereka. Namun, izinkan aku belajar menjadi pemimpi (n) seperti mereka,
seorang pemimpi dengan huruf “N”, yaitu Nyali.
''Sebaik-baiknya
manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya''. Kata-kata itu
telah menginspirasi jutaan manusia setelah
beliau meninggal
untuk berjuang menjadi manfaat bagi sekitarnya.
Itulah kata-kata Nabi Muhammad saw. yang secara tidak langsung
dipraktikkan Bunda Teresa ketika berjuang demi para penderita kusta saat dunia
mengucilkan dan menganggap mereka tiada.
Tentulah saya bukan Nabi Muhammad dan
juga bukan Bunda Teresa. Saya juga tidak akan pernah menjadi mereka karena life is too short to be anybody else sebagaimana
kata-kata dalam film Step Up 2: The Street. Namun, mereka sangat menginspirasi saya. Menjadi seorang pemimpin tidak
hanya berkutat atau berbicara mengenai masalah pemimpin dalam suatu negara atau
ketua dalam suatu organisasi, tetapi bagaimana kita menjadi sesuatu yang
bermanfaat bagi orang lain.
Hal inilah yang mengantarkan saya
untuk mendaftar The International Winter
Work Camp di desa koloni
kusta di Republik Rakyat China pada tahun 2009. Saya tahu tentang work camp ini melalui teman
saya. Jujur, kala itu yang melintas pertama kali dalam pikiran saya adalah kesempatan untuk mencari pengalaman, bertemu dan bekerja sama dengan
mahasiswa dari China, dan memiliki kesempatan untuk pergi ke luar negeri secara gratis di tahun pertama saya kuliah. Saya pun menjadi delegasi
Indonesia pertama dan terakhir untuk mengikuti work camp yang disponsori oleh
Sasakawa Memorial Health Foundation, suatu yayasan di Jepang yang bergerak
dalam bidang kusta serta memiliki afiliasi dengan Joy in Action, NGO di China
yang menyelenggarakan The International
Winter Work Camp yang akan saya ikuti.
Setelah mendapatkan penjelasan mengenai
work camp tersebut—work camp yang akan saya jalani di Cina dilaksanakan di desa koloni kusta—saya harus
menyiapkan mental sebagai komunitas relawan kusta. Saya
juga khawatir karena kusta merupakan penyakit menakutkan dan menular. Saya akan menginap selama hampir dua minggu di desa koloni kusta,
yaitu di Shigangzhang yang
sengaja dibuat sebagai wilayah
isolasi oleh pemerintah China bagi para penderita kusta. Sebuah desa yang
terletak di Provinsi Guangdong, provinsi yang terkenal dengan ibu kotanya yaitu
Guangzhou, tempat tujuan wisata. Desa Shigangzhang sama sekali tidak terdeteksi oleh
situs pencari di internet sehingga timbullah pikiran di benak saya
tentang bagaimana nasib saya nantinya di sana dan akankah saya
kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Namun,
entah mengapa hati saya terasa ingin sekali untuk
pergi meskipun saya pribadi masih awam mengenai kusta kala itu. Akhirnya, dengan
maksud untuk mendapatkan pengalaman, mencari pengetahuan, sekaligus
belajar
dari masyarakat di negara lain, saya bertekad untuk terus mengikuti work camp tersebut.
Atas izin Allah Swt., saya akhirnya berkesempatan berangkat ke China.
Foto 1. Pesawat yang menerbangkan saya ke China. Pesawat inilah yang membawa saya ke suatu desa
yang belum bernah saya kunjungi dan bahkan belum bernah sekalipun terlintas
dalam pikiran saya bahwa saya akan mengunjunginya.
(Dok. Irma Gusmayanti)
Walaupun saya telah memantapkan hati
untuk mengikuti work camp, di
perjalanan, saya masih mempunyai imajinasi negatif terhadap
desa yang akan saya datangi. Imajinasi negatif saya yang lain
yaitu apakah penduduk desa telah benar-benar pulih dari penyakit kustanya
sehingga saya masih di bawah bayang-bayang ketakutan tertular kusta. Di
perjalanan, Sue dan Tina, mahasiswa China yang kemudian menjadi sahabat saya—mereka
sudah sering mengikuti work camp di Desa
Shigangzhang—memberikan penjelasan kepada saya mengenai desa dan penduduk desa
di sana. Mereka meyakinkan kepada saya bahwa tidak ada yang perlu ditakuti.
Foto 2. Bersama tiga kawan yang mengikuti work camp. Di kereta inilah, Sue dan Tina
meyakinkan saya bahwa tidak perlu ada
yang dikhawatirkan selama di Desa Shigangzhang, termasuk
penduduk desanya.
(Dok. Irma
Gusmayanti)
Ternyata
benar apa yang disampaikan oleh Tina dan Sue bahwa tidak
ada yang perlu ditakuti dan dikhawatrikan di Desa Shigangzhang.
Ketika saya tiba dan melihat desa, secara bertahap, kekhawatiran yang ada dalam imajinasi saya mulai hilang setelah melihat
kamar mandi dan tempat tidur untuk para camper yang nyaman dan bersih.
Kembali ke pembicaraan mengenai work camp, kegiatan ini bukanlah camping biasa. Dalam
kegiatan ini, saya dan para camper yang
lain melakukan kerja sosial, yaitu dengan melakukan renovasi rumah
bagi para penduduk desa. Tujuan melakukan renovasi rumah tersebut adalah agar
para penduduk desa dapat
tinggal di tempat yang lebih layak. Selain itu, ada pula
rumah penduduk desa yang atapnya bolong karena terkena batu akibat penambangan
pasir yang tak jauh dari desa. Para penambang tersebut menambang dengan
menggunakan semacam bom sehingga ada batu yang terlempar dan mengenai atap
rumah penduduk desa. Kegiatan merenovasi rumah penduduk desa bukanlah kegiatan
yang baru bagi penduduk desa tersebut. Sebelumnya, sudah pernah dilakukan
bahkan ada beberapa rumah yang sudah selesai direnovasi. Kegiatan kali ini
dilakukan untuk melanjutkan rumah-rumah yang belum direnovasi. Saya dan para
mahasiswa China saling bekerja sama untuk merenovasi rumah penduduk desa.
Pekerjaan yang tak ringan. Namun, letih menjadi hilang karena dilakukan secara
bersama-sama dan juga riang gembira.
Foto 3. Rumah penduduk desa yang akan direnovasi.
Foto 4. Rumah penduduk desa yang telah direnovasi.
Foto 6 dan 7. Beberapa potret kecerian para camper ketika
melakukan renovasi rumah untuk para penduduk desa.
(Dok. Irma Gusmayanti)
Selain itu, ada kegiatan bernama home visit, yaitu kegiatan saat para camper melakukan kunjungan ke
rumah-rumah penduduk desa untuk melakukan silaturahmi dan berbincang-bincang dengan mereka. Penduduk
desa di sana sangat ramah dan rendah hati
saat para camper melakukan home visit. Penduduk desa mau berbagi
cerita kepada camper
sambil
terus memberikan senyum hangat seolah tidak terjadi apa-apa dengan mereka. Ada
penduduk desa yang memberikan saya ubi rebus ketika saya mengunjungi rumahnya,
ada pula yang memeluk saya dan mengatakan bahwa ia sering melihat saya di televisi. Tentu ada perasaan senang dan kaget karena seumur-umur belum pernah saya menjadi artis bahkan bisa mendunia
hingga ke China. Tapi tak apalah, saya sangat senang ketika mereka
tertawa dan bahagia.
Gambar 8. Salah satu potret keceriaan bersama
penduduk desa.
(Dok. Irma Gusmayanti)
Momen lain yang tak terlupakan saat work camp, yaitu ketika saya dan para peserta lainnya
membuat kaligrafi China untuk ditempel di rumah-rumah penduduk desa dalam
rangka menyambut Chinese Spring Festival.
Kami juga membuat pangsit dan makan bersama penduduk desa.
Saya sangat senang dan bangga karena
saya diberi kesempatan untuk mengikuti work camp tersebut. Saya mendapat pengalaman yang luar biasa dengan bertemu penduduk desa yang dikucilkan dan didiskriminasi, tetapi tetap
memiliki semangat hidup yang tinggi dan pantang menyerah. Inilah suatu pelajaran hidup yang saya dapatkan dari mereka. Selain itu, saya
bertemu dengan teman-teman yang sangat luar biasa dari China, seperti Sue, Tina, Pie Bone, Vivin, Monkey, Doris,
Jay, Una, Juni, Alvin, CJ, Monkey, Soldier, Giga, Sugar, Baby, Tree, dan Koko.
Mereka
sangat ramah, rendah hati, dan benar-benar peduli
satu sama lain. Menurut pendapat saya, mereka adalah orang-orang terpilih
karena mau menghabiskan waktu untuk kegiatan sosial seperti ini. Waktu liburan yang dapat
mereka gunakan untuk memanjakan diri di rumah atau di tempat rekreasi,
menonton televisi, memainkan video game, atau pergi ke suatu tempat menyenangkan,
justru mereka gunakan untuk memindahkan genting dan batu serta melakukan kunjungan ke rumah penduduk desa. Meskipun demikian,
mereka tetap tertawa dan
bercanda sehingga
suasana menjadi menyenangkan dan tidak membosankan. Tentu
saja, tidak ada lagi di benak saya pikiran bahwa saya pergi
ke China hanya
karena ongkos gratis semata sebab pengalaman yang saya dapatkan merupakan pengalaman berharga seumur hidup saya. Pengalaman yang tak ternilai dan tak dapat dibeli dengan uang.
Foto 9 dan 10. Keceriaan bersama para peserta work camp.
(Dok. Irma Gusmayanti)
Work camp di China,
selain menambah pengalaman, juga merupakan
lecutan
bagi saya untuk membuat hal serupa di Indonesia, khususnya, untuk penderita kusta dan orang-orang yang pernah menderita kusta. Oleh karena itu, saya dan sahabat-sahabat
saya yang luar biasa dari Indonesia, yang telah mengikuti work camp di China—baik
yang mengikuti di Desa Shigangzhang atau di Desa Heku—Mbak Ari, Mba Eva,
Bang Mirza, Kak Heggy, Bang Cepi, Mbak Ayu, Mbak Nanda, Kak Tery, Bang Iko, dan
Bang Yon
mencoba untuk membuat work camp yang
serupa di Indonesia. Tak lupa pula, ada orang yang sangat luar biasa, yaitu Mbak Retno
Widyastuti. Walaupun beliau tidak berangkat karena ada kepentingan lain, beliau sangat berdedikasi untuk menyiapkan keberangkatkan saya dan
teman-teman saya dalam mengikuti work camp ke China. Ia juga membuat komunitas peduli kusta yang bernama Leprosy
Care Community (LCC).
Leprosy
Care Community (LCC) adalah komunitas atau organisasi
pemuda yang memiliki komitmen untuk mengurangi dan menghilangkan sikap
diskriminasi masyarakat terhadap kusta, penderita kusta, dan orang yang pernah
menderita kusta.
Selain itu, LCC juga berkomitmen
untuk memberikan pengalaman bagi para anggota LCC untuk mengabdikan diri di
bidang kegiatan sosial dan sensitivitas kerja sosial serta memberikan informasi
kesehatan sesuai dengan kompetensi ilmiah, misalnya melalui work camp di desa koloni kusta yang
diadakan di Sitanala, Tangerang dan di Nganget, Jawa Timur.
Foto 10. Bersama dengan adik-adik TK dalam kegiatan
work camp di Sitanala.
(Dok. Irma Gusmayanti)
Work camp mengajarkan saya menjadi seorang pemimpin. Pemimpin adalah pemimpi yang ada
huruf “n”, yaitu “nyali”. Saya
belajar menjadi seorang pemimpi yang menginkan tidak adanya lagi pengucilan dan pendriskriminasian terhadap kusta, orang yang
menderita kusta, maupun orang yang pernah mengalami kusta.
Saya
seorang anak fakultas hukum yang memiliki mimpi bahwa mata kuliah tentang hukum kesehatan dan hak asasi manusia tidak akan hanya berhenti pada
teori, tetapi
akan berlanjut dengan
praktik langsung di lapangan. Mimpi yang diukir dipadukan dengan nyali. Pertama-tama, dengan mengalahkan rasa takut dan spekulasi negatif demi mengikuti work camp di desa koloni kusta
di China. Akhirnya, saya menyadari bahwa
interaksi yang dilakukan selama work camp merupakan upaya advokasi untuk menghilangkan
diskriminasi masyarakat terhadap kusta, menghilangkan pikiran dan imajinasi
negatif bahwa kusta disebabkan oleh guna-guna, keturunan, makanan maupun
minuman. Selain itu, saya
juga menulis makalah untuk pemilihan mahasiswa berprestasi di
tingkat FH
UI tentang perlunya perawat dalam komunitas penderita kusta. Setiap orang, termasuk para
penderita kusta, memiliki
hak yang sama untuk mendapatkan hak atas kesehatan dan juga kehidupan yang
sejahtera. Hal ini tentu sejalan dengan amanah yang tertuang dalam Pasal 28 H
ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4–Pasal 8 UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, dan Pasal 25 ayat 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Sayangnya, pengetahuan
yang kurang di masyarakat menyebabkan para penderita kusta disingkirkan dan
diisolasi dari masyarakat. Akibatnya, penderita kusta menjadi
malu, takut, dan
terlambat untuk memeriksakan diri dan mengobati penyakitnya ke pusat pelayanan
kesehatan. Selain itu, kurangnya pengetahuan para penderita kusta mengenai
tanda-tanda dini, akibat, dan cara perawatan
penyakit kusta menyebabkan penyakitnya terlambat diobati. Keterlambatan para
penderita kusta untuk mendapatkan pengobatan dapat membuat para
penderita kusta menjadi cacat.
Seorang pemimpin tentu tidak hanya
berbicara seputar bagaimana memimpin orang lain, menjadi ketua dalam suatu
organisasi, tetapi juga harus bermanfaat dan mampu menginspirasi orang lain,
sesuai dengan kata-kata Nabi Muhammad saw. yang mengatakan,
''Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya''.
Saya juga selalu ingat akan kata-kata ibu saya, yang mengatakan, “Selalu berbuat baiklah kamu kepada orang
lain seolah kamu akan meninggal besok dan bersemangatlah kamu dalam menjalani
hidup seolah kamu akan hidup seribu tahun lagi.”
Sebagai penutup, ada sebuah paragraf yang sangat menginspirasi
yang tertulis dalam
buku The Journey karya Gola Gong (di
bagian “Membaca Gola Gong”) yang berbunyi
sebagai berikut:
“Setiap manusia dilahirkan ke
bumi dengan segala keunikan dan kekhasannya masing-masing. Seiring bertambahnya
usia, keunikan dan kekhasan itu semakin diperkaya dengan aneka pengalaman dan
pengetahuan baru yang ia dapatkan. Terlebih jika yang bersangkutan mendapatkan
dorongan dari lingkungan tempatnya berada untuk berani mengaktualisasikan
dirinya secara optimal. Ketika semua ini terwujud, jadilah ia seorang yang
benar-benar unik dan berbeda dari yang lain. Keunikan ini adalah kelebihan,
selama keunikan ini tidak bertentangan
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, setiap orang, siapa pun dia,
hakikatnya adalah sebuah buku yang dapat dibaca oleh manusia lainnya. Setiap ia
melakukan aktivitas, amal perbuatan, entah itu baik atau buruk, pada saat itu
pula ia tengah mencorat-coretkan pena dalam lembar kehidupannya itu. Semakin
banyak laku, pengalaman dan keunikan yang ia tulis, semakin banyak tulisan yang
ia buat,
maka semakin menarik pula untuk dibaca.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar