Sabtu, 11 Oktober 2014

Mimpi Masjid UI:Belajar dari Jogokariyan

Dari Jogokariyan, kami bercita
membawakan cahaya untuk gelap
semesta dengan da’wah dengan 3 pilar
utama: Al Quran, Masjid, dan Sirah
Nabawiyah.
Al Quran
Di tahun 1980-an, HM Jazir ASP,
ayahanda dari Shofwan Al Banna, yang
mewakafkan diri menyelusur pelosok
negeri telah menemukan fakta : rendahnya
ketahanan ‘aqidah ummat bukan semata
faktor ekonomi, melainkan ‘rasa memiliki
terhadap agama’.
Mereka ringan berpindah agama, sebab
selama ini meski ber-KTP Islam, tapi tak
ada rasa handarbeni terhadap agamanya.
Di mana ‘rasa memiliki agama’ ini
terasas muncul? Observasi HM Jazir ASP
menunjukkan: dalam kemampuan
melafalkan Kitab Suci, Al Quran.
Di zaman itu, pembelajaran melafalkan Al
Quran masih rumit, dengan metode
Turutan, Baghdadiyah, dan lain-lain yang
disertai pengejaan. HM Jazir ASP lalu
menginisiasi satu cara pembelajaran
melafalkan Al Quran yang didasarkan
pada 1 tujuan asas: CEPAT BISA.
Metode baru yang berasas ‘langsung baca
tanpa dieja’ dan ‘cara belajar santri aktif’
itu diujicobakan di PAJ (Pengajian Anak
Jogokariyan).
Suatu hari, KH As’ad Humam RA dari
Kota Gede berkunjung dan melihat cara
HM Jazir ASP mengajar Al Quran dengan
metodenya itu. Beliau pun menunjukkan
ketertarikannya dengan metode
pembelajaran itu dan berkeinginan
mengembangkannya.
Mereka berdua pun akhirnya duduk
bersama, menyempurnakan metode dan
menyusun buku ajar Al Quran yang lalu
dinamai: IQRO’.
Bermula dari Pengajian Anak Jogokariyan,
IQRO’ -Cara Cepat Belajar Membaca Al
Quran- telah lahirkan 160 Ribu TPA di
seluruh Indonesia. Generasi seusia kita
berhutang pada IQRO’ yang walau tak
lepas dari kekurangan telah merevolusi
pembelajaran baca Al Quran.
Kini, IQRO’ yang di awal kehadirannya
disambut tak ramah, dengan kegigihan
HM Jazir ASP berkeliling negeri, diterima
luas. IQRO’ telah menjadi sistem ajar Al
Quran resmi Malaysia, Brunei, dan
Singapura. Kini bahkan dirintis di UEA,
Qatar, dan Oman.
Tak lupa tujuan awal IQRO’: membangun
ketahanan ‘Aqidah dengan menguatkan
rasa memiliki agama melalui kemampuan
baca Quran.
Tahun demi tahun, metode IQRO’ terus
dikembangkan, diperbaiki, dan
disempurnakan; pelatihannya menjangkau
aneka pelosok.
Masjid
Maka sejak pertengahan 1990-an, HM
Jazir ASP mulai menggarap pilar da’wah
kedua, Masjid. Dan beliau memulainya
dari Masjid Jogokariyan.
Datanya: negeri kita memiliki lebih dari 1
Juta Masjid; besar dan kecil. Berapa yang
jadi BEBAN dibanding yang
MEMBERDAYAKAN? Ratusan ribu Masjid
membebani jamaah untuk listrik, air, dan
kebersihan padahal pemanfaatannya
hanya shalat dan tak pernah penuh.Aset
Masjid berupa jutaan meter persegi tanah
dan bangunan dinilai dari aspek apapun;
Spiritual, Sosial, dan Ekonomi sangat tak
produktif.
Padahal, soal Masjid adalah ideologi
sekaligus substansi Peradaban Islam.
Lawannya: ideologi dan substansi
Peradaban Pasar. Sebaik-baik tempat di
muka bumi dan yang paling dicinta Allah
adalah Masjid. Seburuk-buruknya ialah
Pasar. Tapi ada rumusnya: “Jika Pasar
mengalahkan Masjid, maka Masjid MATI.
Jika Masjid mengalahkan Pasar, maka
Pasar HIDUP,” kata Abu Bakar Ash
Shiddiq.
Istilah Masjid dan Pasar sejatinya tak
cuma mewakili tempat; namun juga nilai
Peradaban, contohnya: Ekonomi Pasar vs
Ekonomi Masjid.
Tapi baiklah, tidak kita panjangkan
bahasan itu; kita masuk pada langkah
strategis dan praktis yang ditempuh HM
Jazir ASP di Jogokariyan.
Secara sederhana, -apa yang di kemudian
hari disebut Manajemen Masjid- ada di 3
langkah: Pemetaan, Pelayanan, dan
Pemberdayaan.
Pemetaan artinya; setiap Masjid harus
memiliki peta dakwah yang jelas, wilayah
kerja yang nyata, dan jama’ah yang
terdata. Pendataan yang dilakukan Masjid
terhadap jama’ah mencakup potensi dan
kebutuhan, peluang dan tantangan,
kekuatan dan kelemahan.
HM Jazir ASP di Jogokariyan menginisiasi
Sensus Masjid: pendataan tahunan yang
hasilnya menjadi Data Base dan Peta
Dakwah komprehensif.
Data Base dan Peta Dakwah Jogokariyan
tak cuma mencakup nama KK dan warga,
pendapatan, pendidikan, dan lainnya,
melainkan sampai pada siapa saja yang
shalat dan yang belum, yang berjama’ah
di Masjid dan yang tidak, yang sudah
berqurban dan berzakat di Baitul Maal
Masjid Jogokariyan, yang aktif mengikuti
kegiatan Masjid atau belum, yang
berkemampuan di bidang apa dan bekerja
di mana, dan seterusnya. Detail sekali.
Dari data base Masjid Jogokariyan kita
misalnya bisa tahu; dari 1030 KK (4000-
an penduduk), yang belum shalat tahun
2010 ada 17 orang. Lalu bandingkan
dengan data th 2000, warga Jogokariyan
yang belum shalat ada 127 orang. Dari
sini, perkembangan da’wah 10 tahun
terlihat.
Peta Dakwah Jogokariyan
memperlihatkan gambar kampung yang
rumah-rumahnya berwarna-warni: hijau,
hijau muda, kuning, dan seterusnya
hingga merah. Di tiap rumah ada juga
atribut ikonik: Ka’bah (sudah berhaji),
Unta (sudah berqurban), Koin (sudah
berzakat), Peci, dan lain-lain. Konfigurasi
rumah sekampung itu dipakai untuk
mengarahkan para Da’i yang cari rumah.
Saya misalnya ditempatkan di Barat Daya
Jogokariyan.
Data potensi Jama’ah dimanfaatkan
sebaik-baiknya; segala kebutuhan Masjid
Jogokariyan yang bisa disediakan
jama’ah diorder dari mereka. Masjid
Jogokariyan juga berkomitmen tidak
membuat Unit Usaha agar tak menyakiti
jama’ah yang memiliki bisnis serupa. Ini
harus dijaga.
Misalnya; tiap pekan Masjid Jogokariyan
terima ratusan tamu. Konsumsi untuk
mereka diorderkan secara bergiliran pada
jama’ah yang punya rumah makan.
Data jama’ah digunakan untuk Gerakan
Shubuh Berjama’ah. Pada 2004 dibuat
Undangan Cetak layaknya pernikahan
untuk itu; by name. UNDANGAN:
“Mengharap kehadiran Bapak/Ibu/
Saudara …. dalam acara Shalat Shubuh
Berjama’ah, besok pukul 04.15 WIB di
Masjid Jogokariyan..”
Undangan itu dilengkapi hadits-hadits
keutamaan Shalat Shubuh. Hasilnya?
Silakan mampir Jogokariyan merasakan
Shubuh sepertiga Jumatan.
Sistem keuangan Masjid Jogokariyan juga
berbeda dari yang lain. Jika ada Masjid
mengumumkan dengan bangga bahwa
saldo infaknya jutaan, maka Masjid
Jogokariyan selalu berupaya keras agar di
tiap pengumuman, saldo infak harus
sama dengan NOL! Infak itu ditunggu
pahalanya untuk jadi ’amal shalih; bukan
untuk disimpan di rekening Bank.
Pengumuman infak jutaan akan sangat
menyakitkan jika tetangga Masjid ada
yang tak bisa ke Rumah Sakit sebab tak
punya biaya, atau tak bisa sekolah.
Masjid yang menyakiti jama’ah ialah
tragedi da’wah.
Dengan pengumuman saldo infak sama
dengan NOL; jama’ah lebih semangat
mengamanahkan hartanya. Kalau saldo
jutaan, ya maaf.
Masjid Jogokariyan pada 2005 juga
menginisiasi Gerakan Jama’ah Mandiri.
Jumlah biaya setahun dihitung, dibagi 52;
ketemu biaya pekanan. Dibagi lagi dengan
kapasitas Masjid; ketemu biaya per-
tempat shalat. Lalu disosialisasikan.
Jama’ah diberitahu bahwa jika dalam
sepekan mereka berinfak segitu, maka dia
Jama’ah Mandiri. Jika lebih, maka dia
Jama’ah Pensubsidi. Jika kurang maka
dia Jama’ah Disubsidi. Sosialisasi ditutup
kalimat: “Doakan kami tetap mampu
melayani ibadah Anda sebaik-baiknya.”
Gerakan Jama’ah Mandiri sukses
menaikkan infak pekanan Masjid
Jogokariyan hingga 400%; ternyata orang
malu jika ‘ibadah saja disubsidi.
Demikianlah jika peta, data, dan
pertanggungjawaban keuangannya
transparan (Infak Rp. 1000 pun kita tahu
ke mana alirannya), tanpa dimintapun
Jama’ah akan berpartisipasi. Tiap kali
renovasi, Masjid Jogokariyan berupaya
tak membebani jama’ah dengan
proposal..
Takmir hanya pasang spanduk, “Mohon
Maaf Ibadah Anda Terganggu, Masjid
Jogokariyan sedang Kami Renovasi.” No
rekening tertera di bawah.
Satu kisah lagi untuk menunjukkan
pentingnya data dan dokumentasi. Masjid
Jogokariyan punya foto pembangunannya
di tahun 1967. Gambarnya: seorang
bapak sepuh berpeci hitam, berbaju batik,
dan bersarung sedang mengawasi para
tukang mengaduk semen untuk Masjid
Jogokariyan.
Di tahun 2002/2003 Masjid Jogokariyan
direnovasi besar-besaran; foto itu dibawa
kepada putra si kakek dalam gambar,
seorang Juragan Kayu. Dikatakan
padanya, “Ini gambar Ayahanda Bapak
ketika membangun Masjid Jogokariyan,
kini Masjid sudah tak mampu lagi
menampung jama’ah kami bermaksud
merenovasi Masjid; jika berkenan untuk
melanjutkan ‘amal jariyah beliau, kami
tunggu partisipasinya di Jogokariyan”
Alhamdulillah, foto tahun 1967 itu
membuat yang bersangkutan
menyumbang Rp.1 Milyar dan mau jadi
Ketua Tim Pembangunan Masjid
Jogokariyan, sampai sekarang….
Artikel ini disusun ulang redaksi Fimadani
dari kultwitt Ustadz Salim A. Fillah
tentang Masjid #Jogokariyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar