Sabtu, 16 Maret 2013

Am I a Leader?


Am I a Leader?


EKANING WEDARANTIA


Apa yang terlintas dalam pikiran Anda jika disebut kata pemimpin? Presiden? Gubernur? Walikota? Bupati? Camat? Lurah? Pak RW? Pak RT? Mungkin setiap orang akan menjawab dengan jawaban yang berbeda-beda atas pertanyaan itu. Tapi, bagi saya, pemimpin itu sederhana. Kita tidak perlu mencari sosok yang jauh dari diri kita karena sebenarnya setiap kita diciptakan sebagai pemimpin. Klasik mungkin, tapi itulah kenyataannya. Islam mengatakan bahwa setiap manusia adalah khalifah (pemimpin) di muka bumi ini. Manusia dikaruniai akal dan pikiran sebagai pembeda dengan makhluk lainnya. Oleh karena keistimewaan itulah, manusia ditakdirkan sebagai pemimpin.
Pemimpin yang paling sederhana adalah pemimpin bagi dirinya sendiri. Selain dikaruniai akal dan pikiran, manusia juga dikaruniai nafsu. Manusia yang berhasil menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri adalah manusia yang bisa mengendalikan nafsunya dengan memaksimalkan peran akal dan pikiran yang dipunyai. Ada ungkapan yang mengatakan, “Seorang pemimpin harus selesai dengan dirinya sendiri. Bagaimana kita bisa memimpin orang lain jika kita masih bermasalah dengan diri kita sendiri? Hal itu berarti, sebelum kita dapat memimpin orang lain, kita harus menjadi pemimpin bagi diri kita sendiri.
Seorang pemimpin tidak selalu membutuhkan jabatan karena seorang pemimpin memberikan dampak pada orang di sekelilingnya tanpa diangkat menjadi pemimpin resmi sekalipun. Contoh kecilnya adalah anak-anak. Ketika SD, kita sering berinteraksi dengan teman-teman kita. Suatu ketika, ada seorang teman yang mengalami musibah sakit. Seorang anak yang mempunyai sifat pemimpin pasti akan berinisiatif menggerakkan teman-temannya untuk menjenguk atau minimal mendoakan temannya yang sedang sakit. Itulah salah satu sifat seorang pemimpin yang sederhana, inisiatif. Seorang pemimpin mempunyai inisiatif yang tinggi untuk memulai sesuatu. Sesuatu yang belum terpikirkan oleh orang lainnamun telah terpikirkan olehnyasehingga timbul keinginan mengajak orang lain untuk melaksanakan sesuatu.
Semenjak SD saya dipanggil “Mbak”, sebutan untuk kakak perempuan yang lebih tua atau dituakan dalam budaya Jawa. Sebenarnya saya juga bingung kenapa saya dipanggil demikian. Entah karena saya memang lebih tua dari teman-teman saya atau saya dianggap lebih dewasa oleh mereka. Mungkin karena anak pertama, sifat dewasa mau tidak mau tertanam dalam diri saya. Tidak terasa sifat itu saya bawa ketika bergaul dengan teman-teman saya. Semenjak SD, saya senang berinteraksi dengan teman-teman sebaya. Saya memiliki kemampuan menginisiasi mereka untuk menjenguk teman ketika sakit, memberi kado ulang tahun, hingga menciptakan budaya arisan di antara teman-teman perempuan. Oleh karena itu, saya sering dipercaya menjadi ketua kelompok bahkan beberapa kali saya menjabat sebagai ketua kelas.
   Kepemimpinan saya dipandang agak keras oleh teman-teman. Namun, ternyata kepemimpinan yang keras dan tegas itulah yang diperlukan untuk mengendalikan teman-teman laki-laki yang sedikit bandel serta tidak mempan dinasihati oleh sesama anak laki-laki. Dari pengalaman itu, saya dapat menyimpulkan bahwa seorang pemimpin harus mampu membaca keadaan dan memahami bagaimana kondisi dan sifat orang-orang yang akan dipimpinnya. Apabila hal ini telah diterapkan, pemimpin akan dengan mudah memutuskan cara memimpin yang dapat diterapkan pada orang-orang di sekitarnya.
   Saat SMP, saya lebih banyak belajar tentang kepemimpinan. Saya mulai senang untuk mengikuti sejumlah organisasi, seperti OSIS, Pramuka, Drum Band, dan seni tari. Di sana, saya belajar banyak tentang kerja sama, tentang bagaimana seorang pemimpin harus mampu bekerja sama dengan bawahannya. Saya menjadi mengerti kemauan bawahan sehingga mudah mengarahkan bawahan pada tujuan organisasi.
   Di OSIS, saya dipercaya memegang jabatan sebagai Kepala Bidang VIII Apresiasi dan Kreasi Seni. Mungkin kepercayaan itu diberikan kepada saya karena saya aktif pada bidang seni tari dan beberapa kali dipercaya menjadi ketua kelompok sejumlah pagelaran tari. Walaupun di OSIS SMP, seorang siswa hanya berperan 50% sampai 75% dalam pelaksanaan tugas organisasi, saya tetap dapat belajar banyak tentang kepemimpinan. Selain itu, saya juga belajar hidup mandiri melalui pramuka. Di sana, saya belajar hidup di alam bebas. Pengalaman saya membuat saya mengerti bahwa seorang pemimpin membutuhkan sikap mandiri. Akan ada suatu masa ketika kita tidak mempunyai orang lain untuk bergantung. Di situlah sifat mandiri seorang pemimpin dibutuhkan.
   Ketika SMA, saya ketagihan untuk mengikuti organisasi. Saya tertantang untuk menambah pengetahuan dan pengalaman saya di bidang kepemimpinan. Saya memutuskan untuk masuk OSIS SMA Negeri 2 Madiun. Selain itu, saya juga sempat mengikuti ekstrakurikuler pencak silat dan kerohanian Islam. OSIS yang saya rasakan ketika SMA sangat berbeda dengan OSIS yang saya emban ketika SMP. Di SMA, peran siswa sangat besar. Hampir 95% kegiatan  organisasi dipegang oleh siswa. Di sini, saya belajar tentang tanggung jawab. Seorang pemimpin harus mempunyai rasa tanggung jawab yang besar terhadap apa yang dia pimpin.
   Di kelas XI SMA, saya dipercaya menjabat sebagai Kepala Bidang IV Kepribadian dan Budi Pekerti Luhur. Program kerja (proker) besar saya adalah menjadi Kepala Pelaksana Masa Orientasi Siswa. Ketika menjabat sebagai ketua bidang, saya belajar bagaimana mengarahkan anggota. Seorang pemimpin harus dapat mengarahkan kinerja anggota. Sebagai seorang pemimpin, tugasnya bukan hanya memerintah ataupun menuntut anggota, melainkan juga menjadi rekan yang paling dekat dengan anggota. Pemimpin merupakan tempat berkeluh kesah anggota. Selain itu, seorang pemimpin harus dapat memotivasi dirinya sendiri dan anggotanya. Seorang pemimpin harus dapat membangkitkan kembali semangat anggotanya yang mulai turun. Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah selalu mempunyai semangat tinggi.
   Ketika melaksanakan tugas sebagai ketua pelaksana Masa Orientasi Siswa, saya belajar tentang bagaimana membangun team work, mempercayai orang lain untuk mencapai visi bersama, dan menggerakkan orang lain agar rela bersusah payah bersama pula. Dalam sebuah tim, diperlukan kekuatan internal sebelum bertempur melaksanakan tugas-tugas yang berat. Kekuatan sebuah tim dimulai dari bagaimana pemimpin menyatukan bawahannya agar menjadi tim yang solid dan memiliki rasa kekeluargaan. Saya beruntung karena mempunyai rekan-rekan yang solid dan bersahabat sehingga beban dan pekerjaan yang berat terasa ringan karena dikerjakan berlandaskan rasa kekeluargaan.

3789_1176561694144_8192936_n.jpg
Foto 1. Masa Orientasi Siswa SMA
(Dok. Ekaning Wedarantia)

   Selain di OSIS, saya sempat mengikuti pencak silat. Dari pencak silat, saya belajar bahwa seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan sifat yang telah saya sebutkan di atas saja. Namun, seorang pemimpin juga membutuhkan fisik yang kuat. Sebuah hadis yang menyatakan bahwa mukmin yang kuat lebih baik daripada mukmin yang lemah. Seorang pemimpin membutuhkan fisik yang kuat dan tidak mudah sakit. Bagaimana seorang pemimpin bisa menghadapi berbagai masalah dan pekerjaan yang padat jika fisiknya lemah? Oleh karena itu, seorang pemimpin haruslah tahu bagaimana menjaga kondisi badannya agar selalu sehat. Di pencak silat, saya belajar bagaimana menjaga diri dan orang lain serta bagaimana mempertahankan diri agar tetap sehat. Sementara itu, di kerohanian Islam, saya banyak belajar tentang sosok pemimpin yang banyak dicontohkan melalui Rasullullah, mengenai bagaimana menjadi pemimpin yang dicintai oleh bawahannya.
   Saat memasuki dunia kampus yang baru, saya semakin tertantang untuk merambah dunia organisasi, walaupun saya tahu tantangannya jauh lebih besar. Namun, saya pikir, dengan bekal yang telah saya kumpulkan sampai SMA, tidak ada salahnya jika saya terus mencoba belajar tentang kepemimpinan di dunia baru ini. Saya memulai belajar di BEM dan NURANI FKM UI. Saya sebernarnya lebih tertarik untuk belajar di BEM UI, tetapi saya tidak akan mempunyai teman dekat di FKM jika saya langsung ke BEM UI.
   Seperti yang telah saya prediksi sebelumnya, dunia baru yang saya masuki sangat berbeda dengan dunia SMA. Lingkungan baru saya begitu heterogen. Namun, di lingkungan yang heterogen inilah, saya belajar mengenai nilai yang mengharuskan seorang pemimpin untuk bisa menghargai perbedaan. Perbedaan harus dipahami sebagai kesempatan untuk bisa saling mengisi dan melengkapi, bukan untuk saling mengeliminasi dan mengungguli. Seorang pemimpin harus dapat merangkul semua kalangan, baik orang-orang yang sepemahaman ataupun berbeda dengan dia.
   Di dunia baru ini, saya menemukan sosok-sosok inspiratif, sosok-sosok pemimpin tangguh yang dapat menjadi teladan. Saya belajar bahwa seorang pemimpin seharusnya mempunyai sifat 3R, yaitu respecting time, respecting people, dan respecting system. Respecting time akan membuat seorang pemimpin mempunyai sikap militansi. Ia juga harus ada ketika dibutuhkan, tepat waktu, dan disiplin. Respecting people mengajarkan bagaimana seorang pemimpin harus peka terhadap orang lain, bisa menghargai, dan cepat tanggap atas apa yang dirasakan bawahannya. Respecting system mengajarkan bagaimana seoarang pemimpin harus dapat menghargai sistem yang tengah berlaku. Jika kita belum mampu mengubah suatu sistem yang kita rasa tidak sesuai, jangan sekali-kali melanggar sistem yang berlaku tersebut. Jika kita melanggar sistem yang ada, sistem yang ada tidak menjadi lebih baik, akan tetapi malah lebih kacau.
422001_1914771805733_957264793_n.jpg
Foto 2. BEM Universitas Indonesia
(Dok. Ekaning Wedarantia)

   Di dunia baru itu pula saya menemukan arti pemimpin yang sebenarnya. Kebanyakan orang menganggap bahwa pemimpin adalah jabatan. Namun, pemimpin sesungguhnya tidak membutuhkan jabatan. Kontribusi seorang pemimpin tidak melulu ditentukan dan dibatasi oleh sebuah jabatan. Pemimpin yang sesungguhnya adalah orang yang dapat memengaruhi, mendatangkan perubahan positif, dan memberikan kebermanfaatan bagi orang-orang di sekitarnya. Saya berpikir bahwa sebenarnya jabatanlah yang membutuhkan pemimpin, bukan pemimpin yang membutuhkan jabatan.
   Lalu apakah kita masih bertanya, Am I a Leader? Jawabannya adalah Ya. Setiap kita adalah pemimpin. Hal yang membedakan satu pemimpin dengan pemimpin lainya adalah kemauan belajar dan terus belajar untuk menjadi pemimpin yang lebih baik bagi kita sendiri maupun orang lain. Ada teori yang mengatakan bahwa pemimpin itu dilahirkan, sementara teori lain menyebutkan pemimpin itu diciptakan. Saya pribadi lebih senang mengatakan pemimpin itu dilahirkan kemudian diciptakan. Seseorang mungkin mempunyai potensi ketika dilahirkan, tetapi tanpa diciptakan dengan berbagai pembelajaran, dia belum tentu dapat menjadi pemimpin yang baik.
   Seorang pemimpin adalah orang yang mau terus belajar memperbaiki kesalahannya dan menambah apa yang belum dimilikinya. Setiap kita adalah pemimpin. Jadi, marilah kita terus belajar untuk menjadi seorang pemimpin yang baik. Jika kita memang tidak ingin memimpin orang lain, setidaknya kita harus dapat memimpin diri kita sendiri dengan baik. Untuk menjadi seorang pemimpin, kita tidak perlu menunggu hingga mempunyai jabatan. Cukup dengan menunjukkan sikap kepemimpinan kita pada orang di sekeliling kita, kita sebenarnya telah menjadi pemimpin. Dengan menjadi pemimpin yang baik untuk diri sendiri, keberadaan kita akan memberikan dampak yang positif pada orang-orang di sekitar kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar