Catatan Singkat Sebuah Perjalanan: Merenungkan Kembali Makna Pemimpin
INUNG IMTIHANI
Menjadi pemimpin ialah
mengenali dan menjadi diri sendiri, melakukan hal-hal terbaik yang ia yakini,
yang paling sederhana sekalipun. Ia ada untuk memberi, bukan mengambil apalagi
mencuri.
Setiap
hal dalam kehidupan manusia saling berkaitan satu sama lain dengan cara-cara
yang seringkali sulit dimengerti. Keputusan kecil yang diambil seseorang hari
ini akan sangat berpengaruh pada banyak hal dalam kehidupan yang akan datang. Butterfly effect. Perubahan kecil dalam
suatu sistem menciptakan perbedaan besar di waktu yang kemudian. Inilah yang
membuat saya percaya bahwa setiap orang harus belajar menjadi pemimpin yang
baik. Sebab di manapun seseorang hidup, apapun perannya, ia memimpin perubahan besar
bagi kehidupan selanjutnya.
Yang
tertera di awal tulisan ini adalah arti pemimpin yang saya yakini hingga saat
ini. Saya simpul-rangkumkan ia dari hal-hal yang mampu saya lihat, saya dengar,
dan saya pahami selama hidup saya yang belum terlalu lama di dunia ini. Saya
tidak akan berteori tentang kepemimpinan karena barangkali saya tidak lebih
cakap dari orang-orang yang membaca tulisan ini. Seringkali, saya merasa rawan
ketika merenungkan arti pemimpin dan segala tanggung jawab dunia akhirat yang
menyertainya. Oleh sebab itu, saya hanya mampu mengartikannya secara sederhana.
Menjadi pemimpin, pada yang paling mula, adalah mengenali dan menjadi diri
sendiri.
Saya
anak rantau yang berangkat menimba ilmu ke kota dengan niatan memperbaiki masa
depan dan menjadi penulis. Hanya itu, tidak lebih. Maka ketika Tuhan berbaik
hati membukakan jalan bagi saya di Program Studi Indonesia FIB UI, saya tak
berpikir macam-macam lagi. Tak ada niatan untuk mencoba mendaftar jurusan lain
di tahun yang akan datang. Bahwa orang-orang menganggap jurusan yang saya pilih
tak punya prospek terlalu bagus, saya tidak ambil pusing. Prospek tidak
ditentukan oleh jurusan, melainkan oleh kualitas pribadi. Dan tentang masa
depan, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahuinya daripada Tuhan. Untuk
berpuluh-puluh tahun ke depan, keputusan ini bisa jadi adalah salah satu
keputusan paling penting yang pernah saya ambil dalam hidup saya. Penting bagi
saya, bagi orang-orang di sekitar lingkaran hidup saya, dan bagi orang-orang
yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya.
Betapa
saya akan mengkhianati mimpi-mimpi saya jika memaksakan diri untuk mendaftar di
jurusan atau fakultas lain yang tidak sesuai dengan minat saya. Yang dibutuhkan
bangsa ini adalah orang-orang yang jujur. Dimulai dari jujur pada dirinya
sendiri untuk selanjutnya mempersembahkan yang terbaik dari yang mampu ia
lakukan. Di dunia yang penuh lalu-lalang suara manusia ini—yang kadang
mempersalahkan dan membenarkan tanpa alasan, yang membelokkan ke kiri dan ke
kanan—jujur pada diri sendiri menjadi perkara yang tidak mudah. Ia butuh
perjuangan dan keteguhan. Di sinilah, seberapa kuat seseorang memegang prinsip
hidupnya diuji dan ditimbang.
Perjalanan
terus berlanjut. Untuk mengenali diri sendiri, setiap orang butuh waktu.
Mungkin sebentar, mungkin juga seumur hidupnya. Tiga tahun yang lalu dari saat
tulisan ini dibuat, saya memasuki dunia kampus yang benar-benar baru. Siapa
sangka bahwa kehidupan kampus akan begitu riuh. Berbagai pilihan kegiatan,
organisasi, ideologi, dan pemikiran, tersaji di depan mata. Saya mendapati diri
saya dihadapkan pada berupa-rupa komando yang menginginkan saya untuk menjadi
seperti ini dan seperti itu. Senior-senior yang saya pandang sebagai
sosok-sosok mengagumkan membuat saya mulai berpikir untuk menjadi seperti
mereka. Kemudian, dengan berbagai hal yang saya alami, dengan merenungkan
kembali tujuan dan arti hidup, saya menyadari bahwa saya sama sekali tidak
perlu memaksakan diri untuk menjadi orang lain. Setiap orang harus paham benar
mengapa ia melakukan dan memilih sesuatu. Dari kesadaran inilah, saya
melangkah.
Saya
berorganisasi, belajar, dan menulis puisi. Sebisa mungkin, saya coba melakukan
hal-hal yang saya yakini. Sejumlah perlombaan menulis puisi pun saya ikuti.
Dengan cara ini, saya memotivasi diri saya untuk terus berkarya lewat puisi.
Barangkali yang bisa saya berikan bagi bangsa ini, selama saya menjadi
mahasiswa, bukanlah hal-hal besar. Namun, saya mensyukuri setiap hal yang telah
saya lalui. Saya masih percaya, hal-hal kecil yang dilakukan seseorang bisa
jadi sangat berarti ketika ia mampu memberinya makna. Hal-hal kecil ini yang
akan menjadi awal bagi perubahan besar di masa yang akan datang. Suatu kali,
dalam waktu bersamaan, saya dihadapkan pada pilihan antara mengabdikan diri
(K2N) selama satu bulan di perbatasan Indonesia dan mewakili DKI Jakarta dalam
Pekan Seni Mahasiswa Nasional dalam tangkai lomba menulis puisi di Lombok.
Dengan segala hal yang telah saya pertimbangkan matang-matang, saya memilih
untuk berangkat K2N di Desa Kifu, Kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Saya
masih bisa menulis di mana pun saya mau. Namun, kesempatan untuk memberikan
sesuatu dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat perbatasan mungkin tidak
datang dua kali. Desa Kifu adalah desa yang amat kering dengan akses jalan yang
amat sulit. Untuk mencapai Desa Kifu, hanya ada dua pilihan jalur. Jalur
pertama harus melalui 188 anak sungai dan ditempuh dalam waktu kurang lebih 12
jam menggunakan angkutan darat. Jalur kedua dapat ditempuh dalam waktu sekitar
6 jam perjalanan melalui dua sungai besar (tanpa jembatan) dan jurang di kanan
kiri yang, tentu saja, tidak lebih mudah daripada jalur yang pertama. Saat
musim hujan, akses jalan menuju Desa Kifu akan benar-benar tertutup.
Foto 1. Perjalanan
melewati sungai menuju Desa Kifu.
Kondisi
masyarakat di Desa Kifu agaknya lebih memprihatinkan dibandingkan kondisi
masyarakat di desa-desa terpencil di Jawa Tengah sekitar 20 tahun yang lalu.
Segalanya serba terbatas. Tidak ada listrik dan fasilitas kesehatan yang
memadahi. Akses pendidikan dan informasi sangat minim. Akses jalan yang amat
sulit bahkan membuat sopir angkutan mengatakan bahwa Oepoli—yang di dalamnya
meliputi Desa Kifu—itu neraka. Masih lekat dalam ingatan, pada hari-hari awal
kedatangan saya dan kawan-kawan K2N, anak-anak Desa Kifu begitu pemalu. Mereka
bersembunyi di balik pagar kayu sambil sesekali mengintip. Ketika kami
mendekat, mereka langsung berlari menjauh. Kami paham, mereka belum pernah
sekalipun didekati orang-orang dari jauh, sangat jauh, seperti kami.
Perlahan-lahan, kami mengajak mereka untuk lebih membuka diri.
Foto 2 dan 3. Kegiatan bersama anak-anak
di Desa Kifu.
Perjalanan
selalu mengajarkan seseorang untuk mengenali dirinya lebih jauh. Perjalanan K2N
telah membawa perubahan besar bagi saya secara pribadi. Perubahan yang pertama,
yaitu dalam memahami kembali arti pemimpin dalam konteks kehidupan
bermasyarakat. Kedua, dalam memahami dan mencintai Indonesia. Saya pun
berharap, semoga perjalanan ini juga membawa perubahan yang lebih baik bagi
masyarakat Desa Kifu dalam melihat masa depannya dan dalam melihat dirinya
sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sebelum kembali pulang, saya meminta
anak-anak di sana untuk selalu menjaga mimpinya, menyimpannya di dalam hati,
dan melaksanakannya suatu hari nanti.
Selangkah
demi selangkah, saya mencoba menemukan diri saya di dunia yang besar ini.
Keputusan dalam memilih jurusan, memilih fokus kegiatan, memilih K2N adalah
sebagian kecil dari banyak hal yang membentuk saya hingga seperti saat ini.
Satu hal lagi yang tak kurang berpengaruh pada cara saya memaknai pemimpin
yaitu Indonesian Leadership Development Program (ILDP). Arief Munandar, melalui
program rutin ILDP, berhasil melekatkan kuat-kuat ke dalam kepala saya
pemahaman bahwa pemimpin bukanlah tentang jabatan struktural. Pemimpin adalah
tentang kapasitas diri. Seorang pemimpin tidak pernah bergantung pada
kedudukannya. Yang perlu disadari adalah bahwa pemimpin bukanlah tentang
menjadi apa, tetapi tentang melakukan apa. Dengan itu semua, saya berkeyakinan
bahwa setiap orang wajib berupaya menjadi pemimpin yang baik, bagi dirinya
sendiri, bagi keluarganya, dan bukan tidak mungkin, bagi lingkup yang lebih
besar dari keduanya.
Hidup ini sebenarnya
akan lebih punya makna kalau saja setiap detik kita tidak pernah berhenti
memperjuangkan apa yang kita yakini—apa pun risikonya…Kita harus
mempersembahkan setiap detik dari hidup kita untuk hal-hal yang paling baik
yang bisa kita lakukan. (Seno Gumira Ajidarma dalam Trilogi Insiden, hlm. 180)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar