Rahasia Kecil Si Pemimpin
DEWI HERMAWATI
RESMININGAYU
“Hah, membuat tulisan mengenai
pemimpin?
Are you kidding me?”
Demikianlah respon
saya ketika pertama kali diminta menulis mengenai pemimpin. Sekelebat ketakutan
menyelinap karena barangkali pembaca akan merasa saya tidak kompeten untuk membuat tulisan mengenai
pemimpin dan kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam esai ini saya akan berbagi
“rahasia kecil” saya mengenai kepemimpinan dan bagaimana
saya mempraktikkannya ketika menjadi pemimpin. Dengan demikian, pembaca bisa
lebih bebas dalam menilai potensi kepemimpinan yang saya miliki.
Dalam tulisan ini,
saya akan menyebut organisasi sebagai suatu perkumpulan yang harus dipimpin
oleh seorang pemimpin. Dalam praktiknya, organisasi ini bisa berbentuk apa
saja, misalnya kepanitiaan, Badan Eksekutif Mahasiswa, organisasi siswa intrasekolah, dan sebagainya. Istilah organisasi ini digunakan dengan tujuan mempermudah
pembahasan saja.
The last but not least, happy reading!
Pemimpin Luar Biasa!
Jadi pemimpin? Bagi sebagian orang, jabatan yang satu ini seringkali dihindari. Pasalnya, kabar burung dari
seantero Nusantara telah mengamini bahwa menjadi pemimpin bukanlah pekerjaan
yang mudah. Bayangkan saja, seorang individu harus bertanggung jawab atas belasan,
puluhan, ratusan, hingga bahkan milyaran orang. Tentu saja kebanyakan dari
mereka yang diberi tawaran menjadi pemimpin akan berkata, “No. It’s a
BIG NO!”
Lain halnya dengan
sebagian orang yang sangat antusias menjadi pemimpin. Tak peduli kabar burung
berkata apa, mereka berpacu dan melaju, memburu posisi yang bergengsi itu.
Berbagai alasan mereka kemukakan. Contohnya saja, menjadi pemimpin berarti
bebas membuat aturan sesuai dengan yang mereka kehendaki, alih-alih terperangkap dalam aturan yang dibuat orang lain. Alasan yang
lain, menjadi pemimpin berarti membuka kesempatan emas untuk mendapat pengakuan
atas kapasitas kepemimpinannya. Apa pun latar belakangnya, inti dari tujuan mereka adalah menjadi orang nomor
satu.
Sekarang, mari
tinggalkan mereka yang tak ingin maupun mereka yang bersemangat ingin menjadi pemimpin. Saatnya saya bertanya pada pembaca,
pernahkah kalian mendapat posisi menjadi pemimpin? Jika iya, bagaimana proses
yang kalian lalui untuk menjadi pemimpin? Apakah melalui pemilihan suara
layaknya presiden beserta kampanye melelahkan yang berlangsung selama
berhari-hari? Ah, itu sudah biasa. Atau barangkali musyawarah para anggota dengan intensitas
debat yang cukup panas? Proses ini juga lumrah ditemui. Akan tetapi, adakah
dari kalian yang menjadi pemimpin melaui “penunjukan luar biasa”?
Alih-alih menjawab
iya atau tidak, mungkin pembaca malah bertanya-tanya, “Apa itu ‘penunjukan luar biasa’?” Sebenarnya ini istilah yang saya ciptakan sendiri. Wajar jika terdengar asing di telinga pembaca. “Penunjukan luar biasa” ini terjadi ketika kalian sebenarnya
bukan orang nomor satu dalam sebuah organisasi tetapi diangkat menjadi pemimpin
karena sang orang nomor satu mendadak tidak bisa menjalankan tugas sampai akhir. Jika ada yang memiliki pengalaman ini, ayo angkat
tangan! Bagi yang mengacungkan tangan, selamat menikmati kemiripan-kemiripan
cerita kalian dalam tulisan ini. Bagi yang tidak, selamat menelusuri sebuah
pengalaman yang bisa jadi akan kalian alami dalam fase-fase kehidupan yang akan
datang.
Pemimpin yang
diangkat melalui “penunjukan luar
biasa” ini saya sebut sebagai “pemimpin alternatif”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata alternatif berarti pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan.
Dengan kata lain, alternatif berarti
bukan satu-satunya. Dalam Tesaurus
Bahasa Indonesia pun, padanan kata alternatif
adalah pengganti, substitusi, surogat.
Mengapa saya repot-repot menghabiskan satu paragraf hanya untuk membahas definisi
kata alternatif? Tak lain dan tak bukan adalah karena
kebanyakan pemimpin alternatif seringkali berkecil hati. Karena mereka tidak
berada dalam posisi yang pertama,
seringkali pemimpin alternatif merasa bahwa dirinya adalah pemimpin yang tidak
diharapkan. Mereka hanya sebatas pengganti yang mau tidak mau harus melanjutkan tampuk kepemimpinan.
Sang pengganti ini bisa siapa saja. Dalam
sebuah organisasi formal, wakil ketua yang berada satu tingkat di bawah
pemimpin biasanya akan menjadi pengganti dan langsung menduduki jabatan orang nomor satu. Dalam kesempatan
lain, mungkin organisasi informal, anggota pun dapat diangkat langsung menjadi
ketua. Saya lebih suka membahas hal-hal
yang tidak biasa. Oleh
sebab itu, pemimpin
alternatif yang akan saya bicarakan dalam tulisan
ini bukanlah seseorang yang
ditunjuk menjadi pengganti karena ia merupakan bawahan langsung
seperti halnya wakil ketua, melainkan ia yang
ditunjuk karena sudah tidak ada lagi yang bersedia mengambil alih posisi pemimpin.
Selain alasan
tersebut, saya memiliki pengalaman pribadi menjadi pemimpin alternatif. Sejauh ini, sudah tiga kali saya menjadi pemimpin alternatif dalam sebuah
organisasi yang bobrok dan oleng. Mungkin tinggal menunggu tiupan angin
lembut untuk membuat organisasi itu benar-benar roboh. Ya, hampir tidak ada seorang pun yang mau menjadi orang nomor satu dalam organisasi yang sudah hancur.
Ketika posisi itu
ditawarkan dan diberikan paksa pada
saya, mau tidak mau, saya menerima posisi yang katanya “hebat” itu. Alasannya sederhana:
saya teringat
mimpi-mimpi besar kami di awal terbentuknya organisasi. Jika organisasi ini
roboh, mimpi-mimpi besar itu hanya akan menjadi visi usang yang terlupakan.
Alasan saya
mungkin terdengar sangat idealis, tapi jika ada
yang menanyakan bagaimana rasanya, saya akan menjawab singkat saja: rasanya seperti permen
Nano-Nano. Berjuta rasa campur aduk menjadi satu. Pasrah, kesal, takut,
khawatir, cemas, gugup, getir, geram, dan berbagai perasaan yang tak bisa
dilukiskan dengan kata-kata.
Akibat hal-hal
yang saya sebutkan di atas, dapat dipahami jika pemimpin alternatif biasanya cenderung
berkecil hati. Ia seolah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi yang kedua,
diserahi organisasi bobrok pula. Bagaimana tidak berkecil hati?
Jika kalian berada
dalam posisi ini dan berkecil hati, think the other way round!
Pertama, menjadi “yang kedua” bukan berarti menjadi yang lebih tidak baik. Selalu ada alasan mengapa kita ditunjuk untuk menggantikan yang
pertama. Alasan-alasan itu pastinya berkiblat pada kinerja kita selama berada dalam suatu organisasi. Melalui kinerja tersebut, kelebihan dan
kekurangan kita sudah terdeteksi sehingga orang-orang
bisa menilai
kapasitas kita di dalam organisasi tersebut.
Selain itu, satu
poin tambahan ketika kita menjadi “yang kedua” adalah kita sudah banyak berinteraksi dengan anggota-anggota lain selama masa kepengurusan berjalan. Bandingkan dengan pemimpin pertama yang dipilih
berdasarkan kehebatannya di tempat lain. Bisa jadi ia memang hebat di tempat lain, tetapi sebenarnya tidak berkompeten di bidang organisasi yang dia pimpin saat ini.
Mungkin kalian
berpikir, jangan-jangan tulisan ini hanya pemanis buatan untuk memacu semangat. Kawan, percayalah, sebobrok apa pun suatu
organisasi, tak akan ada anggota yang mau menunjuk pemimpin secara asal-asalan. Pasti muncul pertanyaan ini di dalam kepala setiap orang yang mencari sosok
pemimpin, “Pantaskah ia menjadi pemimpin?”
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa
dalam suatu organisasi, anggota memilih seorang pemimpin karena mereka percaya pada kapasitas orang
yang bersangkutan. Kepercayaan itu
harganya sangat mahal, kawan. Jangan pernah mengecewakan orang-orang
yang telah memberi kepercayaan dengan sikap pesismis akibat menjadi
“yang kedua”.
Kedua, jangan panik! Melihat sisa-sisa yang
ditinggalkan pemimpin sebelumnya, praduga bahwa tugas kalian akan berat
untuk ke depannya pasti muncul. Namun, ingat, menjadi pemimpin bukan berarti
bekerja sendirian! Pemimpin memang hanya satu, tapi
hakikat pemimpin adalah mereka yang bisa merangkul anggotanya untuk bekerja sama dengan baik. Apakah ada kerjasama yang
dilakukan sendirian? Tentu saja tidak.
Bangun kembali
mimpi-mimpi awal untuk memupuk semangat bersama. Pelajari kekurangan-kekurangan
yang menjadikan organisasi itu sulit mencapai visi dan misinya. Perbaiki
sedikit demi sedikit. Jika ada satu-dua pihak yang mengeluh dan berkomentar bahwa kita tidak becus, jangan ciut!
Kita bukan ibu peri dengan bubuk ajaib yang sekali ditaburkan, “wuuuush!”, semua yang buruk akan jadi baik. Tentu saja tidak semudah itu.
Hal yang sering
dilupakan oleh banyak orang adalah proses. Ibu saya sering berkata, “Mana ada
hal instan yang baik?” Mari kita data: mi instan, bubur instan, bumbu
instan, kopi instan, dan barang-barang instan lainnya. Apakah semua yang berakhiran dengan
kata instan lebih baik daripada produk alami yang untuk menikmatinya saja membutuhkan proses? Tentu saja
tidak. Semua makanan instan itu memang terlihat enak dan praktis,
tapi seringkali semua itu dibarengi dengan efek jangka panjang yang negatif.
Begitu pula dalam
memperbaiki organisasi yang buruk manajemennya. Butuh proses. Bukan sim sala bim kemudian selesai. Kalau prosesnya cepat, bak dibantu Jin
Aladin, semua orang pastinya tak keberatan jadi pemimpin.
Seandainya hasil kerja di akhir tidak sesuai
harapan, hal itu tidak menjadi masalah, toh kita bukan Tuhan. Mungkin akan ada cacat di sana-sini. Namun, usaha terbaik yang
diberikan untuk memperbaiki
yang rusak itu pada dasarnya sudah merupakan pencapaian tersendiri. Akan tetapi, jangan sekali-kali menjadikan posisi
kalian sebagai yang kedua itu sebagai dalih atas kecacatan yang ada. Ini sama halnya dengan mencari kambing hitam. Oke?
Ketiga, sesuaikan diri dengan jabatan baru.
Berganti jabatan berarti beradaptasi dengan lingkungan baru yang mungkin masih
terasa asing bagi kita. Oleh karena itu, kenali posisi dan tugas-tugas kita
dengan sebaik-baiknya. Kebanyakan pemimpin yang gagal adalah mereka yang tidak
mengerti tugas dan posisinya. Akan tetapi, jangan sampai lupa, pemimpin bukan berarti seseorang yang paling berkuasa. Di atas pemimpin
masih ada pemimpin yang lain. Misalnya, pemimpin di Badan Eksekutif Mahasiswa. Walaupun
memegang posisi teratas, ia masih berada di bawah Direktorat Kemahasiswaan
kampus (mungkin setiap perguruan tinggi memiliki istilah yang berbeda).
Mengutip perkataan Arief Munandar, “Pemimpin kadang lupa akan pentingnya membangun relasi dengan pihak yang
lebih tinggi.” Arief Munandar
mengilustrasikan bahwa mahasiswa yang menjadi pemimpin organisasi memiliki kecenderungan
untuk mendekat pada Direktorat Kemahasiswaan kalau ada maunya saja. Oleh sebab itu, wajar jika pihak Direktorat Kemahasiswaan enggan
membantu. Jika relasi antara mahasiswa dan Direktorat Kemahasiswaan
dibina dengan baik sejak awal, tentunya Direktorat Kemahasiswaan tidak akan
segan mengulurkan bantuan. Urusan birokrasi pun akan menjadi lebih mudah.
Seperti kata pepatah,
di atas langit masih ada langit. Pasti akan ada seseorang yang lebih berkuasa
di atas seorang pemimpin yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, pemimpin harus
memahami posisinya dan mengetahui apa yang harus dilakukan.
Sebagai penutup,
saya menyimpulkan bahwa
pemimpin
alternatif adalah pemimpin yang luar biasa karena mereka “ditunjuk secara
luar biasa”. Mereka bersedia mengemban amanah yang tak
terselesaikan. Oleh sebab itu, mereka patut diacungi jempol.
What I Have Done…
Terkait dengan pemikiran di atas, ada satu pengalaman yang sangat
berkesan bagi saya. Pada saat itu saya sedang mengikuti kepanitiaan dalam
rangka menyelenggarakan sebuah pementasan drama. Kepanitiaan ini wajib diikuti
oleh mahasiswa/i program studi Inggris FIB UI dan berlangsung selama kurang
lebih tiga bulan. Di tengah perjalanan, pimpinan produksi (Pimpro) mendadak
tidak bisa menjalankan tugasnya. Dengan semena-mena, teman-teman
menunjuk saya untuk memegang jabatan paling mengerikan itu.
Jujur saja, saya orang yang paling buta
seni. Selain itu, banyak sekali hal yang harus dikejar dalam waktu satu
setengah bulan. Masalah paling rumit adalah mengenai penggantian tanggal
pementasan. Ketika jabatan sebagai pimpinan produksi dialihkan ke pundak saya,
saya merasa tim kami tidak siap sehingga akan lebih baik jika pementasan
tersebut dimundurkan satu minggu.
Hal ini sungguh tidak semudah
membalikkan telor dadar dalam wajan. Mengganti tanggal pementasan berarti
mencari tempat baru untuk melaksanakan pementasan. Itu bukan hal yang mudah
dilakukan karena mahasiswa/i FIB UI benar-benar hobi membuat acara. Semua
auditorium sudah dipesan. Pun ada anggota yang tidak bisa turut tampil jika
tanggal pementasan diganti. Banyak sekali pertimbangan yang membuat dunia
rasanya tidak nyaman lagi untuk ditinggali. Pening, kalut, dan stres bercampur
jadi satu.
Mengutip kata Arief Munandar, “Jangan
menunda dalam membuat keputusan. Jika keputusan yang diambil salah, toh kita
masih bisa memutar otak untuk mencari solusinya. Dan jika keputusan itu benar,
maka kita bisa melanjutkannya. Apabila kita terlalu banyak menunda sehubungan
dengan adanya berbagai macam pertimbangan, bagaimana kita bisa tahu bahwa
keputusan kita itu benar atau salah?”
Singkat cerita, keputusan pun diambil.
Tak lupa keputusan ini didiskusikan terlebih dahulu dengan dosen pembimbing
sebagai seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi. Satu masalah pun selesai.
Tanggal sudah ditetapkan. Akan tetapi,
masih ada masalah-masalah lain yang menunggu dan menuntut untuk diperhatikan,
seperti masalah tata rias, kostum, properti, musik, dan lain-lain. Dihadapkan
dengan posisi yang seperti ini, seperti yang sudah saya utarakan di awal,
rasanya seperti permen Nano Nano: berjuta rasanya! Efeknya? Tidur tak tenang, bangun
pun enggan. Akan tetapi, saya tidak sendiri. Menjadi pemimpin berarti
bertanggung jawab atas semuanya, tapi bukan berarti mengerjakan semuanya! Ada tim yang bisa diajak bekerja sama.
Ada para senior yang bisa dimintai pendapat dan diajak berdiskusi.
Singkat cerita lagi, pementasan saya
pun terlaksana. Ketika pementasan sedang berlangsung pun saya tetap tak tenang,
takut apabila di tengah-tengah pementasan akan muncul masalah yang mengacaukan
semuanya. Akan tetapi, perjuangan berdarah-darah nan berkesan itu terbayar
lunas di akhir pementasan. Ketika sutradara, para aktor, pimpinan produksi, dan
segenap kru muncul dari balik layar, para penonton berhamburan menghampiri kami
dan berkata, “Good job!” Wajah-wajah yang tersenyum, binar di mata
penonton, serta berbagai pelukan selamat yang saya terima seketika menghapus
segala letih, peluh, dan jenuh yang sempat bersemayam dalam diri saya. Satu
ucapan yang paling membekas adalah, “Selamat ya, Bu Pimpro! Pementasannya
sukses!”
“Beban terberat dalam sebuah pementasan
adalah membuat penonton puas”, ucap dosen saya. Ucapan-ucapan yang saya
sebutkan tadi bukan berarti saya berbangga diri. Ucapan itu mencerminkan bahwa
secara umum penonton puas dengan pementasan kami. Kepuasan yang tampak dari
wajah dan ekspresi mereka merupakan hal paling menakjubkan sekaligus kado
terindah yang membuat saya merasa menjadi manusia paling bahagia.
Pun demikian, bukan berarti pementasan
ini tanpa cacat. Ada banyak hal yang tidak terkejar. Dosen saya bahkan hanya
memberi nilai B untuk pementasan ini. Bagi saya bukan masalah, karena memang
inilah hasil dari usaha terbaik yang telah saya lakukan. Saya tidak menyesal
menjadi pemimpin alternatif. Pengalaman ini begitu berharga dan tidak bisa
ditukar dengan emas 100 karat sekalipun.
Foto
1. Pesan dan kesan para penonton yang ditulis setelah menyaksikan pementasan Ada
Apa dengan Otong?
(Dok.
Dewi Hermawati Resminingayu)
Saya Perempuan, so What?
Sudah tak
terhitung banyaknya keluhan yang saya dengar mengenai kepemimpinan perempuan. Jujur,
saya sudah jengah dengan keluhan-keluhan yang intinya sama: menyalahkan
sifat-sifat feminin yang dimiliki perempuan. Sifat-sifat tersebut dikatakan
tidak sesuai dengan sifat yang diharapkan ada pada seorang pemimpin.
Misalnya saja, perempuan cenderung indecisive sehingga kadang mereka tidak bisa
membuat keputusan dengan cepat dan tepat. Dengan kata lain, perempuan menimbang
terlalu banyak hal dan tidak bisa menentukan
keputusan mana yang terbaik.
Hal ini tentu saja akan mengganggu dinamika suatu organisasi.
Selain itu,
perempuan dipandang sebagai makhluk yang terlalu sensitif. Sifat ini tidak baik
dimiliki oleh seorang pemimpin. Pasalnya, sensitivitas itu akan mudah merusak suasana hati dan membuat kondisi mental perempuan menjadi tidak stabil. Akibatnya, perempuan tidak bisa berpikir jernih dan ujung-ujungnya mengganggu
kestabilan suatu organisasi.
Hal yang paling
mengganggu adalah ketika sifat-sifat perempuan itu mulai dibanding-bandingkan dengan sifat laki-laki. Banyak pendapat yang mengatakan kepemimpinan
laki-laki lebih baik daripada perempuan dengan
mengesampingkan konteks kepemimpinan tersebut. Sekali lagi saya katakan
bahwa ini cukup mengganggu. Hal ini bukan karena saya perempuan, melainkan
karena pendapat tersebut dikemukakan tidak pada tempatnya. Oleh karena itu,
saya merasa perlu meluruskan beberapa hal di sini.
Saya beri satu rahasia kecil yang seringkali tak terlihat secara
kasat mata: sifat-sifat perempuan yang saya sebutkan di atas tersebut hanyalah konstruksi sosial. Artinya,
sifat-sifat seperti terlalu sensitif, indecisive, lemah, dan sifat-sifat
feminin lainnya merupakan dogma yang sudah ditanamkan pada para perempuan sejak
lahir.
Mari sejenak
kembali ke masa kecil masing-masing. Sadar atau tidak sadar, kebanyakan orang
tua akan membedakan mainan yang mereka belikan untuk anak perempuan dan
laki-laki. Perempuan akan mendapat boneka dan peralatan masak-memasak yang terbuat dari plastik. Ketika main
rumah-rumahan, perempuan jelas akan berperan sebagi ibu yang bertugas merawat
boneka barbie (yang dianggap sebagai bayi) dan membeli sayur plastik untuk memasak.
Sementara itu,
anak laki-laki mendapat mobil-mobilan yang umurnya mungkin hanya akan bertahan paling lama sebulan. Mobil-mobilan tersebut seringkali digunakan untuk ngebut ketika bermain bersama teman-teman lainnya. Ketika mobil-mobilan itu
rusak, komentar yang paling
sering terdengar adalah, “Ah, namanya juga anak laki-laki.” Coba saja
ketika anak perempuan memanjat pohon, kebanyakan orang akan berkata, “Perempuan, kok, manjat-manjat?”
Bahkan buku
pelajaran kita sejak SD pun mengilustrasikan hal serupa, “Budi bermain bola.
Ani pergi ke pasar bersama ibu.” Iya atau iya?
Dengan pembedaan
perlakuan terhadap anak perempuan dan laki-laki ini, maka lingkungan sekitar,
baik keluarga, masyarakat, maupun sekolah, berperan dalam menanamkan sifat yang diharapkan dimiliki oleh
perempuan dan laki-laki. Proses penanaman mana yang pantas dan mana yang tidak
pantas inilah yang kita sebut sebagai konstruksi sosial.
Saya menulis
mengenai konstruksi sosial ini bukan berarti tanpa dasar akademis atau hanya subjektivitas belaka. Teori mengenai konstruksi sosial
sifat-sifat perempuan dan laki-laki ini dapat ditemui di banyak buku dan
artikel seperti Women and Gender besutan Mary Crawford dan Rhoda Unger serta Bargaining with Patriarchy karya Denis Kandiyoti.
Jika masih tidak
percaya ataupun merasa terlalu malas untuk membaca buku-buku tebal tersebut,
saya akan mengutip Millett yang mengusulkan istilah canggih dalam bidang ini, yaitu expressive traits dan instrumental traits (dalam
Eisenstein: 1984, 8). Expressive traits merupakan sifat pasif yang
dilekatkan pada kaum feminin (perempuan), misalnya karakter penurut, baik hati,
dan ramah. Sementara itu, instrumental traits adalah karakter aktif kaum
maskulin (laki-laki) seperti agresif, ambisius, dan penuh rasa ingin tahu.
Kembali pada
konteks Indonesia dan contoh-contoh di atas. Konstruksi sosial bahkan diinternalisasikan melalui permainan-permainan
anak-anak. Dengan bermain peran sebagai ibu dan tidak memainkan permainan laki-laki, anak
perempuan diharapkan memiliki expressive traits. Seperti yang dikatakan
Millett, expressive traits ini merupakan karakter pasif. Alhasil, orang yang
pasif tidak akan cocok untuk menjadi pemimpin. Salah satu contoh karakter pasif
ini adalah sifat indecisive yang merupakan turunan dari sifat penurut yang disebutkan Millett. Anak
perempuan dibiasakan untuk menuruti keputusan yang ada sehingga ia tidak pernah
terbiasa mengambil keputusan. Alhasil, ia terbentuk menjadi pribadi yang indecisive.
Hal inilah yang
membuat saya jengah. Namanya saja konstruksi sosial, berarti sifat-sifat feminin itu adalah nurture, bukan nature! Bedakan antara
mana yang kodrat dan mana yang bentukan. Saya kira, perbedaan ini cukup jelas sehingga tidak perlu saya jelaskan lebih detail.
Intinya, sifat-sifat yang kita pelajari sejak kecil sebenarnya
bukanlah hal alami yang pasti dimiliki
semua perempuan, melainkan hanya hal yang terbentuk melalui konstuksi. Adalah pilihan kita untuk mengikutinya atau tidak.
Jika seorang anak
perempuan menolak untuk menerima dogma-dogma feminin yang tidak baik,
misalnya indecisive, ia akan bisa menjadi tegas dalam membuat keputusan.
Bagi para perempuan yang membaca tulisan ini, mohon jangan pernah menggunakan excuse
bahwa kalian perempuan sehingga kinerja kalian tidak sebaik laki-laki.
Dengan mengamini bahwa kalian tak tegas dan tak cakap, sesungguhnya kalian
sudah menguatkan konstruksi sosial yang sudah kuat dan tak perlu dikuatkan
lagi.
Dalam hal ini, saya tidak menyalahkan sifat feminin yang sudah terinternalisasi terlalu dalam. Kalau memang sifat itu sudah terinternalisasi, pastinya tidak bisa
dipaksa untuk berubah dalam waktu singkat. Saya juga tidak memungkiri bahwa
sifat itu dimiliki perempuan pada umumnya. Hal yang ingin saya luruskan adalah bagaimana cara kita memandang sifat itu.
Pertama, yang
harus diluruskan adalah generalisasi yang
menganggap bahwa semua
perempuan pasti memiliki sifat feminin sehingga tidak baik menjadi pemimpin.
Sebagai ilustrasi, dalam satu organisasi yang pernah saya ikuti, pemimpin saya
merupakan seorang laki-laki yang sangat indecisive. Dia tidak
bisa tegas dalam memutuskan sesuatu sehingga memerlukan wakil yang bisa menyokong dia dalam hal pengambilan keputusan.
Akan tetapi, dengan adanya sifat itu, apakah orang-orang
menyalahkan dia sebagai laki-laki? Tidak. Coba bayangkan jika pemimpin saya itu
perempuan dan indecisive, sudah pasti predikat dia sebagai perempuanlah yang akan disalahkan. Komentar yang muncul barangkali semacam, “Namanya aja perempuan, banyak
mikirnya. Nggak tegas.”
Sifat perempuan
yang feminin telah tertanam sangat dalam di otak kita sehingga ketika ada yang
tak beres dalam kepemimpinannya, orang-orang akan menyalahkan statusnya sebagai
perempuan. Sementara itu, jika yang indecisive adalah pihak laki-laki,
maka orang-orang akan memakluminya sebagai salah satu kekurangannya dalam
memimpin.
Di sinilah letak
keritingnya masalah kepemimpinan perempuan. Konstruksi sosial yang sudah
terlanjur kita telan bulat-bulat membuat kita cenderung menyalahkan
ketidakbecusan perempuan karena sifat femininnya.
Setelah membaca
tulisan ini, mohon dengan sangat, jangan lagi membawa-bawa nama “perempuan” ketika menyampaikan keluhan mengenai kepemimpinan
perempuan. Pun ketika pemimpin perempuan itu indecisive. Terimalah kekurangannya layaknya menerima kekurangan pemimpin laki-laki yang
indecisive. Tak perlu menambah embel-embel, “Tuh kan, kalau cewek yang jadi pemimpin pasti gitu.”
Kedua, kebanyakan orang membandingkan
perempuan dan laki-laki tidak pada tempatnya. Karena sudah tertanam dalam
konstruksi sosial bahwa perempuan tidak baik menjadi pemimpin, tanpa berpikir
panjang mereka akan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin dibandingkan
perempuan.
Ketika memilih
seorang pemimpin, bukankah kita diminta untuk melihat karakter pemimpin
tersebut baik-baik? Apakah dia layak menjadi pemimpin? Apakah dia siap menjadi
pemimpin? Ketika dalam suatu komunitas terdapat perempuan yang lebih kompeten menjadi pemimpin dibandingkan semua laki-laki yang ada, manakah yang
akan kalian pilih? Jawaban ini saya kembalikan kepada masing-masing pembaca.
Saya hanya ingin menyatakan, mohon dengan sangat buatlah perbandingan yang
objektif ketika memilih. Jangan berpraduga bahwa perempuan tidak kompeten sebelum
melihat kompetensinya dengan mata kepala sendiri.
Dengan menulis
mengenai kepemimpinan perempuan ini bukan berarti saya sudah
lepas dari beberapa sifat perempuan yang hadir tidak pada tempatnya saat memimpin. Saya juga dalam
proses belajar dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik,
khususnya dalam hal kepemimpinan.
What I Have Done…
Ini adalah pengalaman terbaru yang
sedang saya jalani. Saat ini saya mendapat kesempatan untuk belajar selama satu semester di
Universti Malaya. Saya menjabat sebagai class
respresentative (class rep) dalam satu kelas yang diikuti oleh mahasiswa/i
lokal Malaysia dan mahasiswa/i internasional. Awalnya, class rep yang
ditunjuk adalah mahasiswa laki-laki dengan wakil yang juga laki-laki.
Sewajarnya, ketika pemimpin tidak bisa
memegang tugas, wakil diharapkan untuk menggantikan. Akan tetapi, keduanya
dicap dysfunctional oleh dosen kami. Rupanya dosen kami tidak puas
dengan kinerja mereka dan mengharuskan penggantian class rep.
Dengan semena-mena lagi,
saya ditunjuk. Yang ditunjuk sebagai wakil saya pun
perempuan. Sebenarnya masih ada laki-laki yang menjadi peserta di kelas itu.
Namun, ketika saya tanya kenapa mereka tidak mau menjadi class rep,
jawabannya seragam, “It is too difficult” atau “too complicated”.
Dalam kesempatan ini, saya mempelajari
apa yang salah dalam kepengurusan para laki-laki sebelumnya. Salah satu masalah yang saya temui
adalah kurangnya koordinasi karena peserta kelas sangat variatif dan kurang
mengenal satu sama lain. Hal yang membuat saya pening adalah fakta bahwa dosen
kelas ini sangat perfeksonis. Selain itu, kelas ini adalah kelas multikultural
yang dihuni oleh mahasiswa/i dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia,
Thailand, Vietnam, Jepang, Korea, Maroko hingga Prancis. Kelas yang sangat
beragam ini cukup menantang untuk diatur. Pasalnya, budaya yang berbeda membuat
ritme kerja kami pun sangat berbeda.
Satu inovasi yang
saya lakukan adalah mengumpulkan mereka dalam satu grup melalui jejaring sosial
Facebook. Grup itu digunakan sebagai media untuk berdiskusi, saling memberi
informasi, sekaligus saling mengenal satu sama lain. Dengan adanya grup ini,
bukan berarti masalah selesai karena ada mahasiswa yang tidak memiliki akun
Facebook sehingga saya harus menggunakan email dan handphone untuk menghubungi mereka.
Cara lain yang
saya lakukan untuk mengatasi perbedaan budaya adalah mengenali mereka lebih
dalam melalui kesempatan-kesempatan informal di luar kelas. Istilah kerennya, hang
out bersama mereka. Cara ini terbukti cukup ampuh karena forum informal
membuat kami lebih cepat belajar mengenai toleransi dan perbedaan. Selain itu,
kami pun menjadi lebih dekat dan terbuka. Di bawah ini adalah salah satu contoh
foto yang diambil ketika kami menghadiri acara makan malam dengan Menteri
Pendidikan Malaysia.
Sejauh ini, saya
belum mendengar keluhan apa pun dari dosen maupun peserta kelas. Ketika saya
menulis ini, saya belum menyelesaikan masa jabatan saya sehingga belum bisa
disimpulkan bahwa saya sukses.
Foto 3. Makan
malam bersama Menteri Pendidikan Malaysia
(Dok. Dewi Hermawati Resminingayu)
Saya hanya ingin
menyatakan bahwa dalam kelas ini perempuan lebih dipercaya untuk menjadi
pemimpin. Sejujurnya, saya sedang menanti
predikat apa yang akan diberikan pada saya di akhir semester nanti, entah itu class
rep atau class crap!
Referensi
Eisenstein, Hester. 1984. Contemporary
Feminist Thought. London: Unwin Paperbacks
Tidak ada komentar:
Posting Komentar