Mencari Keadilan: Diam atau Jadi Penggerak?
AMALUL FADLY HASIBUAN
Kisah tentang keadilan hampir sama
tuanya dengan sejarah manusia. Kisah tentang Adam yang dikeluarkan dari surga
dan kisah tentang anak kembar Adam yang saling berlomba memberi kurban terbaik,
misalnya, merupakan kisah tentang keadilan di awal sejarah manusia. Pada masa
itu, Tuhan secara langsung menjadi hakim dalam menentukan keadilan. Seiring
perjalanan hidup manusia, jumlah manusia yang ada semakin banyak. Permasalahan
di antara manusia pun semakin kompleks. Sengketa tidak hanya terjadi antara
individu dengan individu, tetapi juga antara individu dengan kelompok, individu
dengan negara, antarnegara, bahkan antara kelompok persatuan beberapa negara
dengan kelompok persatuan negara lainnya.
Mencari keadilan saat ini ibarat
mencari jarum di dalam jerami. Hukum, dengan perangkat-perangkatnya yang sangat
modern saat ini, entah kenapa tidak membuat keadilan menjadi lebih mudah
ditemukan. Sangat ironis. Terkadang kita hanya bisa terdiam sambil termenung.
Keadilan begitu sulit ditemukan, padahal dengan logika sederhana saja, walaupun
tidak belajar dan tidak paham hukum, setiap orang dapat mengetahui ketika suatu
ketidakadilan sedang terjadi. Kisah-kisah tentang keadilan di zaman dahulu
terasa seperti dongeng yang sulit untuk dipercayai. Kisah tentang kepala negara
yang kalah dalam sengketa baju besi terasa seperti tak mungkin sehingga membuat
kita bertanya, “Benarkah itu terjadi? Atau hanya kisah yang tak pernah terjadi,
yang sengaja dibuat-buat untuk menghibur kita bahwa kedilan itu pernah ada?”
Masih ingatkah kita kasus seorang nenek
yang divonis 2,5 tahun karena tak mampu membayar denda sebesar Rp1.000.000,00
akibat mencuri singkong di wilayah perusahaan PT X? Sebaliknya, Nazarudin,
koruptor yang sampai melarikan diri ke luar negeri, justru hanya dijatuhi vonis
empat tahun sepuluh bulan penjara dengan denda Rp200 juta dan subsider empat
bulan. Bukankah tindakannya sama kejamnya dengan tindakan teroris yang membunuh
banyak orang? Kemudian kita lihat pula berita baru-baru ini. Vonis mati seorang
bandar narkoba diubah hanya menjadi 15 tahun penjara dengan alasan hukuman mati
tidak sesuai dengan hak azasi manusia. Bukankah bandar narkoba juga melanggar
HAM dengan merusak manusia-manusia Indonesia, terutama generasi mudanya? Yang
lebih memprihatinkan, Presiden juga turut memberikan pengampunan bagi bandar
narkoba dengan mengganti hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Di mana
letak keadilan itu?
Di lingkup yang lebih besar, di dunia
internasional, kita harus menggigit jari. Baru-baru ini, Palestina kembali
diserang oleh roket-roket Israel. Inilah penjajahan modern abad ini. PBB hanya
tampak diam, tidak ada upaya untuk menghentikan, apalagi memberi sanksi bagi
Israel. Presiden Amerika Serikat bahkan dengan mudah mengatakan bahwa tindakan
tersebut wajar dilakukan Israel untuk membela diri. Sudah hilangkah akal sehat
mereka? Bukankah yang menjajah dan mengambil tanah, kebebasan, serta kehidupan
rakyat Palestina adalah Israel?
Jika keadilan sudah sangat sulit untuk
didapatkan, lantas apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita apatis, tidak
peduli dengan kondisi saat ini? Kemudian ikut terbawa arus menjadi orang-orang
yang kehilangan nurani untuk memperjuangkan keadilan? Jika jawabannya iya, kita
bukanlah generasi yang memberi solusi. Kita hanyalah generasi yang akan
memperburuk keadaan. Ketika tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dipercaya
untuk memberikan keadilan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti umat manusia
akan mencapai puncak kekacauan, kerusuhan, bahkan perang besar yang tidak
terhindarkan. Itukah yang kita harapkan? Tentu tidak.
Sebagai pemimpin harapan bangsa—kita
adalah pemimpin, minimal bagi diri kita sendiri—kita harus bergerak
mempengaruhi yang lain untuk ikut bergerak. Itulah kuncinya. Saat ini, yang
dibutuhkan ialah pemimpin yang mampu menggerakkan. Bukankah kepemimpinan
seseorang dibuktikan dengan seberapa mampu ia mempengaruhi yang lain untuk ikut
bergerak? Pengaruh kita semakin teruji ketika kita mampu melakukannya tanpa
bergantung pada jabatan struktural yang kita pegang. Ada banyak contoh gerakan
yang bisa dijadikan model, mulai dari gerakan individu sampai gerakan massa.
Gerakan individu sadar dan taat hukum, misalnya, merupakan gerakan sederhana
yang bisa mempengaruhi orang lain untuk sadar terhadap pentingnya hukum. Ada
pula gerakan menolak suap menyuap sebagai contoh lain. Gerakan-gerakan tersebut
merupakan contoh sederhana yang dapat dilakukan untuk menggerakkan masyarakat
kepada terwujudnya keadilan bagi sesama.
Saat ini, jejaring sosial merupakan
media yang efisien untuk mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat.
Kicauan-kicauan sederhana yang mampu membumikan isu menjadi sarana efektif
untuk menyadarkan masyarakat. Media sosial juga memudahkan kita untuk mengajak
masyarakat ikut bergerak. Layanan-layanan seperti one vote dapat dengan mudah digunakan untuk menggalang dukungan
masyarakat dari berbagai belahan dunia.
Kasus Prita, Cicak VS Buaya, dan
kriminalisasi KPK baru-baru ini menjadi contoh bagi kita mengenai betapa
efektifnya gerakan melalui jejaring sosial. Penggalangan dukungan melalui
jejaring sosial bahkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pihak-pihak yang berwenang. Kita dapat menggerakkan masyarakat dengan berbagai
cara yang kita anggap efektif. Sebagai pemimpin, tugas kita adalah menggerakkan
masyarakat untuk sadar dan mau berperan aktif mewujudkan keadilan di negeri
ini, dan tentu saja, di dunia. Sudah saatnya kita berhenti memaki keadaan. Mari
bergerak, wahai para pemimpin masa depan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar