Jejak Langkah di Kampus Perjuangan
ALFAN PRESEKAL
Pagi itu, saya berada di ketinggian 36.000 kaki dalam penerbangan melalui
polar route menuju ke arah kutub utara. Ketika saya mencoba mengintip
melalui jendela pesawat, yang tampak hanya hamparan lautan luas dan sesekali
terlihat bongkahan es yang terapung di tengah lautan. Langit tampak begitu
menakjubkan dengan gradasi warna dari biru ke jingga diselingi awan tipis
seperti guratan kuas di atas kanvas raksasa. Kemudian, seorang wanita menyapa saya sembari berkata, “Could you
close the window please?”. Sebagai orang yang baru
mengawali jam terbangnya, saya segera menuruti permintaannya. Hari itu adalah
pertama kalinya saya merasakan perjalanan
menggunakan pesawat udara. Dengan nomor penerbangan CX 798, saya dalam
perjalanan menuju John F. Kennedy Airport di New York, Amerika Serikat. Apa
yang saya alami laksana sebuah mimpi yang mungkin tidak pernah terpikirkan
sebelumnya. Dalam renungan yang menembus ruang dan waktu, saya akan memulai
kisah cerita ini.
Tidak pernah terbayang sama sekali di
benak saya sejak saya kecil untuk kuliah di Univeristas Indonesia. Saya baru
sedikit mengenal nama kampus ini ketika saya sudah berada di akhir-akhir masa SMA. Itu pun berkat kebaikan beberapa
orang mahasiswa UI yang mau menyambangi sekolah saya sambil melakukan
sosialisasi. Masa itu merupakan saat-saat yang menentukan bagi perjalanan hidup
saya ke depan. Ya, saya harus memutuskan ke manakah saya akan melanjutkan
pendidikan pasca-SMA. Setelah mendengar
informasi mengenai kampus UI, saya mencoba bertanya kepada orang
tua, “Apa boleh kalau seandainya saya kuliah di UI ?”. Saat itu, secara
tegas kedua orang tua saya menyatakan kurang setuju terhadap niat saya.
Keluarga kami adalah keluarga pendidik. Kakek, paman, bibi, hingga kedua
orang tua memiliki latar belakang dan profesi yang berafiliasi dengan dunia
pendidikan. Profesi sebagai seorang guru tidak cukup keren dibandingkan dengan profesi yang lebih
berkelas seperti dokter ataupun insinyur. Namun, bagi keluarga kami, profesi
gurulah yang menjadi tulang punggung untuk menjalani roda kehidupan. Berangkat dari latar belakang itulah, kedua orang tua saya
sangat menyarankan agar saya melanjutkan pendidikan di FKIP (Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan). Saran mereka semakin kuat setelah melihat
fakta saat itu bahwa profesi guru akan diiming-imingi oleh apa yang sering
disebut tunjangan sertifikasi. Pada kenyataanya, apa yang ada di benak
saya berbeda dengan apa yang diharapkan kedua orang tua. Sejak berada di bangku
Sekolah Menengah Pertama, saya memiliki ketertarikan terhadap
dunia teknologi informasi. Waktu saya banyak saya habiskan bergulat dengan
komputer. Di masa SMA, saya membaca sebuah buku berjudul Filosofi
Naïf Dunia Cyber yang ditulis oleh Onno W. Purbo. Apa yang disampaikan di dalam buku tersebut seperti membentuk
sebuah ideologi dalam pemikiran
saya. Hal ini semakin
menumbuhkan gairah saya
terhadap dunia teknologi informasi.
Di akhir-akhir masa SMA, muncul
kesempatan untuk mendaftar ke Universitas Indonesia melalui jalur PPKB. Dapat
dibilang, sangat sedikit rekan-rekan saya yang berminat untuk melanjutkan
kuliah di UI. Bagi kami anak daerah, kuliah di kota besar selalu
disangkutpautkan dengan masalah biaya yang mahal, masalah pergaulan, dan berbagai
hal negatif lainya. Namun, saya mencoba berpikir berbeda. Saya justru melihat
kesempatan tersebut sebagai sebuah peluang untuk “lari” dari apa yang
diharapkan orang tua. Akhirnya, saya diterima di UI. Saya baru mengabarkan kepada orang
tua setelah saya diterima sebagai mahasiswa UI. Orang tua saya memberikan izin meskipun kabar diterimanya saya sebagai mahasiswa UI bukanlah suatu
hal yang “menggembirakan” bagi mereka. Namun, dari sinilah muncul tantangan yang
secara bertahap mengajarkan saya untuk menjadi seseorang yang luar biasa. Hal pertama yang muncul adalah masalah biaya kuliah. Terus
terang biaya kuliah yang dibebankan UI dapat dibilang tidak rasional apabila
melihat kondisi ekonomi keluarga saya. Belum lagi biaya tanggungan lainnya,
mulai dari biaya tempat tinggal, uang makan, dan berbagai kebutuhan mahasiswa
lainya. Kami sekeluarga berpikir untuk
mencari solusi. Meskipun upaya advokasi sebagaimana mekanisme yang ditentukan oleh
pihak universitas telah dilakukan, tetapi hal tersebut belum bisa menjadi obat
penawar atas permasalahan saya. Sempat saya berada
pada suatu titik yang mengajak
saya untuk membatalkan niat kuliah di UI. Namun,
secercah harapan muncul ketika saya mendapat tawaran dari paman untuk tinggal
di rumahnya. Meskipun hal
tersebut tidak akan menyelesaikan masalah terkait biaya kuliah, setidaknya saya
akan dapat bertahan hidup. Namun, di sisi lain, saya tetap memikirkan bagaimana
nanti kedua orang tua harus berupaya untuk mencukupi biaya kuliah.
Perjuangan
saya dimulai saat menjalani kehidupan awal
sebagai mahasiswa. Di awal itulah, saya bertekad bahwa
saya datang ke kampus ini bukan sekadar untuk kuliah. Saya harus
bertindak untuk dapat meringankan beban orang tua yang harus membiayai kuliah. Beberapa
bulan pertama di UI merupakan salah
satu masa tersulit yang saya alami. Dengan keterbatasan finansial, saya harus
mencoba bertahan dan meyakinkan kedua orang tua bahwa
pilihan saya tidak salah.
Di kampus, berbagai hal saya jelajahi
mulai dari organisasi mahasiswa tingkat jurusan hingga tingkat universitas.
Saya juga mencoba mengikuti berbagai macam kompetisi. Terus terang, peluang
untuk mengikuti berbagai perlombaan terbuka luas saat saya berada di UI. Hal
tersebut sangat berbeda ketika saya duduk di bangku sekolah. Saat di sekolah, siswa
yang mengikuti lomba pada umumnya diajukan oleh pihak sekolah. Pihak sekolah
seringkali memilih siswa yang memiliki nilai akademis yang baik untuk mengikuti
kompetisi. Sebagai orang yang memiliki kemampuan akademis menengah, saya jarang
mendapatkan kesempatan untuk mengikuti beragam kompetisi. Faktor disparitas
informasi antara daerah dan kota juga menjadi faktor yang menyebabkan saya
jarang ikut kompetisi. Ketika saya di sekolah, informasi yang saya dapatkan
tidak sebanyak ketika di UI.
Beragam kompetisi dan peluang untuk berprestasi yang ditawarkan ketika saya
menyandang gelar mahasiswa, dapat diibaratkan ladang hijau nan luas yang
memberikan lahan bagi saya untuk melakukan
eksplorasi. Sejak semester awal berada UI, beragam kompetisi saya ikuti
untuk memenuhi keinginan saya. Namun, dari sekian banyak kompetisi dan
perlombaan yang saya ikuti di awal tahun saya di UI, belum ada satupun yang
berbuah prestasi. Satu hal yang pasti, setidaknya melalui ajang coba-coba
tersebut saya mendapatkan pengalaman.
Di balik kegagalan-kegagalan saya dalam
mengikuti beragam kompetisi, saya meyakini sebuah filosofi mengenai
hukum kekekalan energi. Sedikit mengulas pelajaran fisika yang menjadi
pelajaran favorit saya, kita tahu bahwa,
|
Setiap upaya yang kita lakukan akan
terakumulasi ke dalam energi mekanik. Semakin banyak usaha dan kerja keras yang
kita lakukan, semakin besar pula energi mekanik yang kita miliki. Sementara
itu, total energi mekanik yang kita miliki dapat dikonversi menjadi energi
potensial ataupun energi kinetik. Energi kinetik itu seperti halnya kesuksesan
atau prestasi yang sudah terealisasi, sementara energi potensial adalah
kesuksesan atau prestasi yang masih tersimpan energinya dan menunggu waktu
untuk terlepaskan menjadi sebuah kesuksesan yang terealisasi.
Bagi kita yang telah berupaya keras dan
belum membuahkan hasil, jangan khawatir sebab upaya yang kita lakukan tidaklah
sia-sia. Akan tetapi, upaya yang kita lakukan masih
tersimpan energinya dalam bentuk energi potensial yang sewaktu-waktu
dapat terlepas. Semakin besar energi yang tersimpan, semakin
besar pula energi yang dilepaskan. Mari bersabar dan terus berupaya untuk
menggapai keseuksesan.
Beragam pilihan dapat kita jumpai di kampus, mulai dari pilihan untuk
menjadi aktivis pergerakan, aktivis kerohanian, aktivis dalam bidang keilmuan,
atau bahkan pilihan menjadi mahasiswa biasa yang menjalani kuliah “sekadarnya”.
Namun, bagi saya, hidup di kampus itu tidak
boleh “sekadarnya”. Minat saya membawa saya untuk lebih mendalami bidang keilmuan
yang relevan dengan jurusan Teknik Komputer di Departemen Teknik Elektro UI. Namun,
saya juga sempat mencicipi rasanya menjadi aktivis di beberapa organisasi
pergerakan kampus.
Buah dari upaya dan kesabaran yang saya
lakukan akhirnya mendatangkan hasil. Alhamdulillah,
sejak tahun kedua, saya mendapatkan beasiswa sehingga dapat memenuhi biaya
kuliah dan biaya hidup. Saat itu, saya sedikit dapat membuktikan bahwa
dengan usaha dan kesabaran, kita akan dapat menyelesaian masalah dan menggapai
yang kita cita-citakan. Saya pun mulai bermimpi untuk merealisasikan keinginan
saya agar kelak menjadi mahasiswa yang bukan “sekedarnya”. Berkatian dengan
mimpi saya tersebut, saya teringat suatu perkataan: bermimpilah, selagi mimpi itu gratis.
Pada bulan Mei 2011, tim saya berhasil
menjadi yang terbaik di tingkat nasional dalam kompetisi Imagine Cup. Tim saya mendapatkan kesempatan mewakili Indonesia
dalam kompetisi yang diselenggarakan oleh Microsoft di New York, Amerika Serikat.
Meskipun tim kami tidak dapat menjadi yang terbaik dan hanya mampu masuk hingga
15 terbaik dunia, hal tersebut memberikan pengalaman yang begitu berharga bagi
saya untuk terus berusaha, berdoa, dan tidak berhenti bermimpi.
Saya tidak pernah sekalipun mewakili sekolah dalam pemilihan siswa teladan
karena secara akademis, prestasi saya tidak mengagumkan sehingga tidak bisa
menarik perhatian para guru di sekolah untuk menominasikan nama saya. Namun,
ketika di kampus, saya mendapatkan peluang yang berbeda. Terdapat kompetisi di
kampus yang melakukan pemilihan bagi mahasiswa berprestasi yang mungkin di mata
saya dapat diasosiasikan dengan pemilihan siswa teladan di sekolah. Namun, ada
satu yang berbeda. Di kampus, untuk mengikuti kompetisi tidak perlu dinominasikan,
melainkan dipersilahkan secara terbuka bagi mahasiswa yang mau mengajukan diri.
Akhirnya, saya mencoba mengikuti kompetisi tersebut. Sebagai
mahasiswa yang bukan siapa-siapa, saya cukup beruntung sampai
mendapatkan kesempatan menjadi yang terbaik di tingkat fakultas dan juara kedua di tingkat universitas.
Mimpi lain saya yang terealisasi adalah
mendapat kesempatan untuk mengikuti pertukaran pelajar ke luar negeri. Alhamdulillah, saat ini, hal
tersebut telah terlaksana. Adapun impian saya yang belum terealisasi di
antaranya adalah saya ingin menjadi ahli dalam bidang Cyber Security,
membawa kedua orang tua saya naik haji, serta menempuh pendidikan di Negeri Paman Sam.
Meskipun belum terwujud hari ini, esok, dan hari-hari seterusnya, saya akan terus bermimpi, terus berusaha, dan
terus berdoa untuk menapakkan jejak demi jejak demi terwujudnya Indonesia yang
lebih baik dan bermartabat.
~ Salam UILDP ~
Tokyo, 21 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar