Kepakan Sayap Pemimpi(n)
RINA NOVIYANTI
Alkisah, pada
suatu pagi di hari pahlawan tahun 1991, tangisan bayi perempuan pecah di kota
kecil Salatiga. Persalinan itu tak didampingi sesosok ayah karena ayah sang
bayi masih harus bergelantungan di bus kota untuk mengais rupiah demi membiayai
persalinan tersebut. Saat bayi dari keluarga muslim lain dikumandangkan azan
dan ikamah oleh ayahnya di kedua telinganya, bayi ini mendengar tangis ibunya
yang berjuang melahirkannya ke dunia tanpa suami di sisinya. Ketika baru
berusia dua bulan, bayi itu bahkan terpaksa harus disuapi pisang mentah karena
tak ada sepeser pun uang di genggaman ibunya. Sementara itu, ayahnya belum
pulang ke rumah. Pada saat yang sama, bayi-bayi lain seusianya pasti sedang
makan bubur bayi penuh gizi atau susu-susu mahal.
Belum genap
berusia dua tahun, bayi itu telah menemani ibunya berjualan. Selepas subuh,
setiap hari ia berada di gendongan ibunya yang berjalan kaki sejauh empat kilo
meter untuk menjajakan dagangan. Ia sudah menyapa dinginnya udara, menemani
ibunya menghadapi kerasnya dunia. Bayi lain, pada pagi yang belum benar-benar
bermentari itu tentu tengah berada dalam selimut hangat. Singkat cerita,
ayahnya berganti pekerjaan berjualan minuman tradisional di malam hari. Ia pun
dibawa oleh kedua orang tuanya berjualan. Ia belum berusia lima tahun ketika
setiap malam harus menemani orang tuanya berjualan di pinggir jalanan Salatiga.
Sementara teman-teman sebayanya tengah berada di ranjang nyaman ditemani
boneka-boneka lucu, anak itu tidur di bawah atap ciptaan Tuhan, yaitu angkasa
dan bintang-bintang, ditemani deru kendaraan malam.
Ya, sepenggal kisah di atas adalah kisahku, kawan. Sengaja kuceritakan
pada kalian agar kalian tahu bahwa sejak dilahirkan, aku telah akrab dengan
sesuatu bernama perjuangan. Bahwa sejak balita, aku tahu bahwa hidup ini adalah
pacuan, bukan sekedar duduk nyaman dan berpangku tangan. Agar kalian juga tahu,
bahwa apapun yang ada padaku bukan kondisi umum yang kondusif untuk mencapai
sesuatu bernama keberhasilan akademis. Jangankan untuk memperoleh keberhasilan
akademis, untuk mempertahankan diri berada di dunia akademis saja sudah
merupakan perjuangan keras.
Aku pun akrab pada sesuatu bernama penghinaan sejak masih sangat belia.
Tetanggaku terlampau sering memberikan cibiran padaku dan pada keluargaku
karena demikian buruknya kondisi keuangan keluarga kami. Tak berhenti sampai di
situ, badai musibah kembali menguji keluargaku hingga aku terpaksa dititipkan
ke tempat saudaraku di sebuah pedalaman Kabupaten Semarang. Saudaraku itu
berbeda keyakinan denganku. Aku baru kelas 6 SD saat itu. Perbedaan keyakinan
membuatku harus berjuang keras menjalankan ibadah. Apalagi, ketika Ramadan
tiba. Aku harus berjalan sangat jauh bahkan menyeberangi sungai ketika pulang
sekolah. Ingin sekali rasanya minum air sungai untuk membatalkan puasa. Namun,
kata-kata ayah bahwa Tuhan selalu mengawasiku juga selalu membatalkan niat
kurang terpujiku itu. Belum lagi, untuk menjalankan ibadah tarawih. Mayoritas
penduduk desa itu beragama Buddha sehingga aku pun harus berjalan sangat jauh
untuk menemukan masjid. Entah kekuatan apa yang menggerakkanku berjalan sangat
jauh di tempat tanpa lampu, melewati makam-makam yang terkenal angker dengan
hanya ditemani mukena, Alquran, dan obor. Sering aku sahur sendirian dengan
cucuran air mata. Saat itu, aku tak banyak memikirkan ini. Namun, sekarang aku
sangat yakin tak banyak kawan seusiaku yang berjuang sekeras itu hanya untuk
berpuasa ketika mereka masih duduk di tahun akhir sekolah dasarnya.
Bukan kisah yang menyenangkan tentu. Aku tahu, aku telah dibesarkan dengan
banyak hal tak menyenangkan. Namun, bukan berarti aku berpikir bahwa hidupku
tidak menyenangkan. Hidupku, dengan segala lika-likunya, adalah anugerah
terindah dari Tuhan. Bukan berarti kesulitan yang kualami menjadi alasan
untukku mengasihani diri sendiri. Segala hal tak menyenangkan di sekitarku sama
sekali tak boleh menjadi alasan untukku menjadi pribadi yang tidak menyenangkan
juga. Keras jalan yang kualami harus menguatkanku, bukan menjadikanku seseorang
yang keras kepala. Hinaan yang kuterima dan perlakuan tak bersahabat dari
lingkunganku kumaknai sebagai pelajaran agar aku tak berbuat serupa pada
sesama. Bukan sebaliknya, menjadi alasan untuk aku berbuat sekenanya.
Perlahan pemaknaan itu semakin mendalam seiring mendewasanya usiaku.
Masalah tak berhenti, datang silih berganti. Keadaan ekonomi keluarga pun belum
beranjak jauh dari kategori miskin. Sampai duduk di bangku kuliah ini pun,
biaya hidupku sehari-hari ditunjang dari beasiswa dan penghasilan dari
pekerjaan paruh waktu yang kadang kuambil. Tak jarang, aku mengalami keadaan
sangat sulit di bangku perguruan tinggi ini. Pada semester-semester awalku,
sering aku harus benar-benar mengorbankan uang makan untuk membeli buku.
Prinsipku, setidaknya kepalaku terisi walaupun perutku tak terisi.
Tak bisa diingkari, semangat juang itu terbentuk perlahan. Tak jarang,
rasa putus asa menyerang. Kadang, tangis dalam doa pada Tuhan pun masih menyisakan
kegalauan. Namun keyakinan akan keadilan Tuhan juga selalu mampu mendamaikan.
Semua itu membentuk diriku yang sekarang, Rina yang kalian kenal ramah dan
ceria. Aku mungkin sangat berbeda dengan kalian yang selalu berkecukupan. Tapi
bukan berarti aku boleh tertinggal jauh dari kalian. Setiap potongan kisah itu
mengajarkanku pentingnya kerja keras, tanggung jawab, dan kepedulian pada
sekitar.
Ketika kerja kerasku mulai menunjukkan hasil dan mendekatkanku pada
kesempatan meraih keberhasilan, aku tak ingin menikmati kesempatan itu sendiri.
Aku bersama keempat temanku membentuk kewirausahaan sosial yang kami niatkan
untuk menjadi aktualisasi jiwa mahasiswa kami. Kami ingin melengkapi tridarma
perguruan tinggi kami dengan mengabdi pada masyarakat bermodalkan pengetahuan
yang kami miliki. Syukurlah, bisnis itu kini mulai menunjukkan perkembangan
yang menyenangkan. Aku berjanji untuk melakukan usaha sekeras segala upayaku
yang dahulu-dahulu untuk memperjuangkan usahaku.
Mengapa aku memilih berwirausaha sosial untuk berjuang saat ini? Aku hanya
ingin berada di tengah orang-orang yang berlatar belakang ekonomi dan sosial
sama denganku. Aku ingin berbagi semangat pada mereka. Semangat bahwa
keterbatasan yang mereka miliki kini bukanlah batasan dalam memperjuangkan
hidup. Aku ingin menyebarkan nasihat ayahku dulu, yaitu bahwa kerja keras dan
penyertaan Tuhan akan membawa akhir manis dalam hidup.
Segala yang kucapai kini, jika ditakar dalam kaca mata umum mungkin tampak
sebagai sesuatu yang mustahil. Secara matematis, penghasilan orang tuaku tak
memungkinkanku tetap belajar sampai di perguruan tinggi. Jika aku menerima saja
hitungan matematis itu, pasti aku tak akan menyandang gelar mahasiswi sekarang.
Lingkungan sekitarku juga selalu menjatuhkanku dengan berbagai cara. Jika aku
menerima saja hal-hal itu, mungkin aku hanya bertumbuh menjadi pribadi yang
negatif. Namun, aku memilih mengambil pelajaran dari setiap hal menyakitkan
yang kualami. Pilihan-pilihan itu, kuyakini akan menentukan takdirku yang akan
berujung baik.
Keyakinanku terbukti tentu saja. Sebelum aku berusia 17 tahun, aku sudah
diperkenankan Tuhan untuk menjuarai kompetisi nasional dan mengunjungi Negeri
Ginseng, Korea Selatan. Tanpa sedikit pun merepotkan orang tua dan bahkan
membuat mereka bangga. Masih kuingat jelas, ayahku tak henti memandangi surat
undangan penyerahan penghargaanku yang ditandatangani oleh Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan saat itu dan Duta Besar Korea untuk Indonesia. Setitik rasa haru
menyusup ke dalam hatiku. Aku mematrikan janji untuk senantiasa berjuang keras
demi membuat ayah menyunggingkan senyum-senyum bangga berikutnya. Semangat itu
juga yang membawaku ke negara-negara lain berikutnya.
Siapa yang pernah memprediksi, anak yang sempat disuapi pisang mentah ini
bisa berada di perguruan tinggi terbaik di negeri ini? Siapa yang pernah
menyangka, gadis yang selalu tersenyum menerima semua penghinaan ini kini telah
pergi ke lebih dari tiga negara? Siapa yang tahu bahwa anak yang pada masa
balitanya menghabiskan malam di pinggir jalan ini mampu menjalani kehidupan
kampus yang baik, bernilai baik, berorganisasi dengan baik, dan masih sesekali
menjuarai kompetisi? Mungkin itu belum ada apa-apanya. Tapi, yang berbeda,
gadis ini ingin orang-orang yang sama dengannya memiliki mimpi dan keinginan
meraih mimpi sebesar dirinya. Benar, aku tak ingin keputusasaan menimpa kaum
menengah ke bawah. Aku ingin meyakinkan setiap orang bahwa kerja keras akan
membawa kita mencapai hal yang kita impikan. Untuk itulah, aku berharap suatu
hari nanti bisa memiliki yayasan pendidikan sendiri. Bagiku, pendidikan bisa
menjadi pembebas seseorang dari jurang kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Aku menganalogikan perjalananku sebagai kepakan sayap. Seluruh hal yang
kualami sejak kecil kuanggap sebagai tempaan yang menerpa sayapku agar lebih
kuat. Sayap itulah yang akan membawaku meraih impianku, mereguk ilmu hingga
jenjang tertinggi, memiliki yayasan pendidikan sendiri. Sayap kuat itu juga
yang akan membawa dan melindungi sayap-sayap kecil lain untuk bisa berproses menjadi
kuat. Agar kelak, sayap-sayap kecil itu juga mampu mengepak sendiri menuju
tempat yang tinggi, mencapai impian yang juga tinggi.
Ya, segala perih yang menempa telah membuat sayapku kuat hingga sedemikian
rupa. Bukan tidak mungkin aku keberatan dengan sayap kuat itu lalu jatuh dan
terkapar. Hal ini akan terjadi jika aku menjadikan pahit yang kuterima sebagai
alasan untuk menyerah. Namun, aku memilih untuk memacu diri lebih kuat lagi
agar mampu mengendalikan sayap kuat itu menuju indahnya pelangi.
Kawan, sebelum kututup ceritaku yang mungkin membosankan ini, izinkan
kuberi tahu alasanku memilih cerita ini. Sebenarnya, yang diminta adalah
menulis tentang pemimpin, bukan? Aku bisa saja menceritakan pengalamanku
menjadi koordinator kepanitiaan nasional atau menjelaskan tanggung jawab
strukturalku di organisasi. Namun, aku memilih cerita masa laluku untuk
menjelaskan kepemimpinan. Bagiku, pemimpin itu bisa diteladani. Satu hal dari
diriku yang mungkin bisa diteladani adalah kerja kerasku yang tinggi dan upayaku
mengambil sisi baik dari hal-hal buruk yang menimpaku. Maka, mungkin dengan
sedikit berbagi tentang itu, ada hal yang bisa kalian jadikan pelajaran dariku.
Terlebih lagi, aku ingin kalian bersyukur lebih akan hidup yang kalian
miliki. Syukuri nyamannya kondisi keluarga kalian, teman-teman dan
tetangga-tetangga kalian yang hangat. Syukuri bahwa kalian tak perlu cemas
memikirkan bagaimana makan dan membayar buku esok hari. Bersyukur, kawan. Jika
aku yang penuh keterbatasan bisa melangkah tegak penuh senyuman, tentu kalian
juga harus tersenyum cerah dengan kehidupan kalian yang lebih nyaman.
Jika aku mampu sejauh ini, kawan, kalian tentu mampu melakukan yang lebih
baik dari aku. Bukankah tak ada satu pun alasan yang layak menghentikan kita
untuk melakukan upaya terbaik? Jika aku yang biasa diperlakukan diskriminatif
masih peduli pada sesama, lalu bukankah kalian yang diperlakukan lebih baik
juga seharusnya memiliki kepedulian yang lebih? Demi semua anugerah Tuhan,
kawan, tetaplah berpikir baik dan berupaya baik dalam menjalani hidup. Isi
dengan perjuangan di bidang apapun yang kalian pilih untuk diperjuangkan.
Mungkin aku tak bisa menjelaskan tentang pemimpin dengan baik. Namun, aku tahu
bahwa aku pemimpin yang baik karena aku telah memperjuangkan hidup dengan cara
terbaik hingga saat ini. Akhirnya, tetap kepakkan sayap, kawan! Percaya pada
mimpi kalian dan jadilah pemimpin hidup kalian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar