BBM Naik,
Salahkah??!!!
Salah satu kunci utama menguasai
dunia adalah dengan minyak bumi. Minyak
bumi bisa menjadi senjata politik yang menakutkan karena sektor industri dunia
sangat bergantung kepada pasokan minyak bumi. Kestabilan dan ketersedian munyak
bumi suatu negara sangat bergantung pada kebijakan dari minyak buminya termasuk
didalamnya kebijakan harga dari produknya seperti BBM (Bahan Bakar Minyak).
Kebijakan harga ini pula yang mendukung pasar apakah dapat dijalankan secara
efisien atau tidak.
Isu
kenaikan BBM yang digelontorkan pemerintah Indonesia akhir-akhir ini pun menimbulkan
pro dan kontra. Semua pihak hadir dengan bukti empirisnya masing-masing untuk
saling beradu argumentasi tentang kebijakan apa yang seharusnya dilakukan
pemerinah. Berdasarkan penelitian Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen
(LPEM) Fakultas Ekonomi UI, kenaikan BBM akan meimbulkan dampak negatif di masyarakat kecuali jika diikuti
oleh, i) kebijakan kompensasi efektif dan ii) penggunaan dana subdidi yang
dihemat ke sector-sektor yang lebih produktif, dampak total menjadi positif
(Agustus 2003). Tapi fakta berkata lain, pengaruh dari kenaikan BBM yang
diisukan pemerintah justru ditangani dengan dikeluarkannya BLTS (Bantuan
Langsung Tunai Sementara) yang satu persaudaraan dengan BLT, yakni bantuan
langsung bersifat konsumtif.
Bagai makan buah simalama
kebijakan subsidi yang selama ini dijalankan pun toh nyatanya tidak lebih
baik. Permasalahan subsidi yang terjadi di Indonesia di masa lalu hingga kini
adalah terjadinya inefisiensi penggunaan BBM, terjadinya salah sasaran
pemberian subsidi yang seharusnya untuk kelompok berpenghasilan rendah ke
kelompok penghasilan menengah ke atas, membebani anggaran pemerintah dalam
jumlah yang ‘dirasa’ pemerintah cukup signifikan. Perbedaan yang cukup besar
antara harga BBM domestik dan harga BBM internasional pun mendorong terjadinya
penyelundupan BBM. Belum lagi perbedaan harga yang menyolok antar produk BBM juga
memberikan peluang untuk mengoplos minyak tanah dengan solar atau bensin. Apabila laju pertumbuhan
pemakaian minyak bumi pada masa mendatang masih sebesar saat ini, diperkirakan
Indonesia akan menjadi net importir beberapa tahun kedepannya. Walaupun agak aneh memang, bila
negara yang memiliki pasokan minyak bumi yang besar ini diprediksi akan menjadi
net impor. Akan tetapi, ini bisa saja terjadi jika kenyataannya pengelola
minyak Indonesia secara sepihak mendeklaraasikan kedefisitan itu walaupun belum
sesuai dengan nyatanya.
Tidak heran, Indonesia mulai dari rakyatnya,
pemerintahnya, hingga mahasiswanya bingung mau dibawa kemana Indonesia beserta
kebijakannya. Bingung bagaiamana mengurus rumah tangganya sendiri. Bingung
apakah kita harus menyalahkan asing ataukah kita yang terlalu phobia asing dan
berbagai isu konspirasi di dalamnya.
Bagi penulis, hal yang dipaparkanlah diatas bukan akar dari
permasalahan ini. Karena akar permasalahan tersebut hanya bisa diketahui oleh
bangsa ini sendiri jika mau memaparkannya secara objektif. Bukan naik atau
turunnya harga yang menentukan kestabilan negara ini, karena begitu banyak
alternatif ekonomi yang bisa ditawarkan oleh para ekonom Indonesita untuk
menghadapai kedua kondisi tersebut. Akan tetapi permsalahannya adalah sudahkah
bangsa ini membuat kebijakan yang sesuai untuk bangsanya sendiri seperti menata
rumah sendiri.
Sudah menjadi suatu keharusan bagi negara yang
ingin maju ekonominya memperhatikan kondisi negaranya secara serius. Apalagi, Indonesia sebagai
negara kepulauan yang luas, sumber daya alam melimpah, dan sumber daya manusia
yang berpotensi untuk diekplorasi oleh para generasinya. Sebab itu, diperlukan
perbaikan dan peningkatan yang signifikan untuk membangun kebijakan dalam
negeri. Pemerintah harus berupaya sekuat tenaga membenahi dan meningkatkan
kebijakan yang pro ‘diri sendiri ‘ (baca: ibu pertiwi, tanah air) dalam negeri
sebagai modal utama memperkuat kedududukan Indonesia di tengah arus globalisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar