Sabtu, 16 Maret 2013

Peretas Batas


Peretas Batas


IBNU BUDIMAN


“A nation in making
Begitulah pendapat salah satu intelektual legendaris bangsa, Nurcholish Madjid—yang akrab disapa Cak Nur—tentang keadaan bangsa kita saat ini. Pendapat tersebut tercantum dalam bukunya, Indonesia Kita.
Cak Nur mengakui bahwa fondasi pemikiran bangunan negara-bangsa (nation-state) yang bernama Indonesia ini telah diletakkan dengan kokoh oleh para pendiri bangsa. Sejarah nasionalisme di bumi Nusantara yang sudah dimulai semenjak Zaman Majapahit, kemudian lahirnya nasionalisme modern Indonesia, dan munculnya konsep negara-bangsa serta hubungan antara konsep tersebut dengan nasionalisme Indonesia, semua menjadi sebuah dinamika proses pematangan Indonesia kita.
Namun, dalam proses tersebut, tentu kita tidak lepas dari tantangan krisis multidimensional yang kian kompleks. Oleh karena itu, Cak Nur menyerukan kepada para pemuda Indonesia untuk meneguhkan kembali komitmen kebangsaan dan kenegaraannya demi menjaga keutuhan berbangsa serta mengoptimalkan dinamika proses yang terjadi.
Banyak cara untuk meneguhkan komitmen tersebut. Menjadi seorang negarawan adalah salah satunya.

Negarawan (Muda)
Negarawan merupakan sebuah istilah jumawa yang sering dibicarakan. Namun, hingga kini, di republik ini belum ada satu pun pengertian negarawan yang disepakati bersama. UU yang di dalamnya memuat istilah negarawan bahkan tidak memberikan penjelasan mengenai istilah tersebut. Sebagai contoh yaitu Pasal 15 huruf C Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK yang menyatakan bahwa hakim konstitusi adalah negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Namun, dalam bab penjelasannya hanya tercantum keterangan cukup jelas. Istilah negarawan yang memerlukan penjelasan ternyata tidak dijelaskan.

The American Heritage® Dictionary of the English Language mendefinisikan negarawan sebagai a man who is a respected leader in a given field. Sementara itu, Georges Pompidou menyatakan bahwa negarawan adalah politisi yang menempatkan dirinya dalam pelayanan kepada bangsa. Seirama dengan definisi tersebut, Kukuh Suharwiyono, seorang Perwira TNI AD, mendefinisikan negarawan sebagai seseorang yang berjiwa dan berjuang demi kepentingan yang lebih besar sehingga dia selalu berpikir dan bertindak hanya untuk bangsa dan negaranya. Begitu pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang disusun oleh Depdiknas dan diterbitkan Balai Pustaka (2005), istilah negarawan diartikan sebagai seorang ahli kenegaraan; ahli dalam menjalankan negara (pemerintahan); pemimpin politik yang secara taat asas menyusun kebijakan negara dengan suatu pandangan ke depan atau mengelola negara dengan kebijaksanaan dan kewajiban.
Tafsir yang hampir sama ditemukan pada Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer karangan Peter Salim dan Yenny Salim (1995). Negarawan adalah pakar yang menjalankan pemerintahan atau negara; pakar di bidang kenegaraan. Negarawan bisa pula diartikan sebagai seorang pemimpin politik yang menciptakan kebijakan negara secara taat asas dengan suatu pandangan ke depan (www.hukumonline.com, 2008). Lebih luas lagi, dalam ensiklopedi bahasa Inggris, definisi negarawan merujuk pada seorang politisi atau tokoh yang berprestasi (berjasa) pada satu negara yang telah cukup lama berkiprah dan berkarir di kancah politik nasional dan internasional.
Secara umum, definisi negarawan menurut kebanyakan literatur merupakan para penguasa atau orang-orang yang memerintah suatu negara. Julukan negarawan hanya pantas diberikan kepada kepala negara, perdana menteri, dan posisi pemerintahan lainnya. Para ahli tata negara bahkan membagi dua golongan warga negara, yaitu negarawan dan orang biasa (Zallum, 2004). Setiap orang yang memegang kekuasaan dalam tampuk pemerintahan disebut sebagai negarawan tanpa melihat rekam jejak atau rapor dari pejabat tersebut.
Pemahaman di atas bertentangan dengan definisi yang dinyatakan oleh Indra J. Piliang (IJP) dan Dr. Andi Irawan. Menurut Dr. Andi Irawan dalam koran Tempo, 27 Nopember 2007, kata negarawan merujuk pada sosok manusia yang visioner, berorientasi jangka panjang, mengutamakan kesejahteraan bersama dibandingkan kesejahteraan pribadi dan golongan, mampu berlaku egaliter, adil dan mengayomi semua komponen bangsa serta mampu membuktikan komitmen tersebut dalam perilaku sosial, ekonomi, budaya, dan politiknya. Dr. Andi Irawan mencoba mengambil konsep negarawan sebagai wisdom leader and people. Dengan demikian Dr. Andi Irawan juga menyatakan secara implisit bahwa rakyat pun dapat menjadi negarawan.
Pendapat Dr. Andi Irawan secara tidak langsung juga sesuai dengan pandangan IJP. Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta ini juga menginginkan agar rakyat diberi kesempatan menjadi negarawan (Kompas, 20 Agustus 2002). Dapat disimpulkan bahwa baik Dr. Andi Irawan maupun IJP mengartikan negarawan dalam makna luas sehingga rakyat pun dapat menjadi negarawan.
Penguasa sebuah negara bisa saja seorang negarawan, tetapi bisa juga bukan. Sebaliknya, orang biasa dapat menjadi seorang negarawan meskipun ia tidak melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Bisa jadi seorang petani di sawah, seorang karyawan di pabrik, seorang pedagang di pasar, atau seorang guru di sekolah, adalah seseorang yang bermental negarawan (Zallum, 2004).
Dari begitu banyak definisi di atas, jika diringkas, bisa disimpulkan bahwa negarawan adalah pemimpin politik yang kreatif yang memperjuangkan kepentingan bangsa. Tidak mesti dalam wujud yang besar, pemuda pun bisa menjadi negarawan, negarawan muda.
Menurut Ketua Pembina Forum Rektor Indonesia, Prof. Eko Budihardjo, saat ini diperlukan negarawan muda untuk mengabdi kepada negara sehingga masa baktinya lebih panjang. Pemimpin muda akan lebih memiliki gagasan yang cemerlang dan mudah untuk diajak bicara. Selain itu, mereka yang muda akan lebih terbuka dalam berkomunikasi, misalnya dengan mengikuti perkembangan teknologi.

Beberapa contoh negarawan muda yang dimiliki Indonesia saat ini adalah seperti Joko Widodo dan Anies Baswedan. Joko Widodo, Walikota muda Solo dua periode berturut-turut ini, dengan kepercayaan warga yang lebih dari 90%, berhasil mengubah wajah Solo dengan good governance-nya. Sekarang, ia juga kemudian dipilih warga Jakarta untuk menjadi Gubernurnya. Anies Baswedan dengan gerakan Indonesia Mengajar berhasil memimpin sejumlah pemuda luar biasa bangsa ini untuk membuat perubahan dengan mengajar di daerah-daerah terpencil di Indonesia.
Terciptanya para negarawan muda tersebut tentu tidak lepas dari fase mahasiswa sebagai awal mulanya. Fase ini perlu menjadi perhatian penting untuk dapat mengoptimalkan penciptaan negarawan muda tersebut. Tan Malaka menyatakan bahwa idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda. Maka, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana cara menciptakan negarawan muda dari sosok mahasiswa?

Ketika Mahasiswa Berdemokrasi
Lebih baik diasingkan daripada menyerah terhadap kemunafikan.” (Soe Hok Gie)
Begitulah kutipan dalam buku Catatan Seorang Demonstran dari Soe Hok Gie, seorang aktifis mahasiswa UI di era 1960-an yang dapat kita sebut juga sebagai salah seorang negarawan muda. Dalam kutipan tersebut, Gie menegaskan sikapnya yang ketika itu digoyang oleh banyak godaan agar dia menghentikan upayanya menyuarakan kebenaran. Dalam buku yang sama, Gie juga menggambarkan bagaimana beberapa orang rekan mahasiswanya akhirnya tunduk pada godaan tersebut dan menyerah dalam perjuangannya menyuarakan kebenaran.
Dalam kisah di atas terlihat bagaimana netralitas mahasiswa sebagai kaum intelektual yang seharusnya memperjuangkan kepentingan bangsa mulai luntur dan terbuai godaan rezim penguasa. Jika kita melihat kondisi hari ini, netralitas tersebut sepertinya semakin memudar seiring berjalannya waktu.
Jargon “Hidup Mahasiswa!” yang diteriakkan seakan kurang ampuh. Buktinya, sejumlah mahasiswa saat ini sudah banyak yang akhirnya berada di bawah komando kekuatan yang lebih besar yang berwujud partai politik (parpol).
Mahasiswa adalah bagian dari rakyat yang berhak memiliki aspirasi terhadap kepentingan bangsa dan negaranya. Saat ini, jumlah mahasiswa di Indonesia hanya 1,8 % dari jumlah penduduk Indonesia. Aspirasi dari jumlah yang sedikit ini sangat diharapkan oleh rakyat Indonesia sebagai aspirasi yang cerdas dan tentu jujur memperjuangkan kepentingan bangsa.
Namun, harapan tak semanis kenyataan. Sejumlah persetubuhan mahasiswa dengan parpol telah dimulai semenjak era awal kemerdekaan. Gerakan tersebut berbentuk underbow yang menyatakan dirinya sebagai gerakan independen. Namun, sejumlah studi telah membuktikan bahwa mereka pada kenyataannya memang terkait dengan parpol. Nahdatul Ulama—yang dulu sempat menjadi parpol—memiliki kedekatan dengan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang sekarang menjadi PDI-P. Selanjutnya, HMI dekat dengan Golkar.
Pasca reformasi, demokrasi semakin menggelora. Gerakan bawah tanah Ikhwanul Muslimin di Indonesia melahirkan Partai Keadilan (sekarang Partai Keadilan Sejahtera) yang dekat dengan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Alhasil, terbentuklah sejumlah kelompok ideologis mahasiswa yang secara tidak langsung telah memperlihatkan afiliasi (aspirasi) politiknya. Kedekatan antara mahasiswa dan parpol semakin erat sehingga kelompok-kelompok mahasiswa itu pun berkembang menjadi ladang kaderisasi partai politik terkait.
Akhirnya, yang terjadi justru persaingan antar kelompok-kelompok di atas dalam berebut posisi strategis di kampus untuk melancarkan penyebaran pengaruh mereka. Harapan rakyat akan aspirasi yang cerdas pun perlahan meredup dan sirna. Jika Gie masih hidup, mungkin dia akan kembali berujar, “Saya kira, saya tak bisa lagi menangis karena sedih. Hanya kemarahan yang membuat saya keluar air mata.”
Setiap kelompok mahasiswa di atas memiliki arogansi masing-masing. Seringkali mereka berbenturan kepentingan dan bersifat resisten terhadap kelompok lain. Dalam kondisi yang paling parah, justifikasi kepentingan kelompok masing-masing mengalahkan kepentingan bangsa. Akhirnya, banyak gerakan yang lebih bertujuan meraih simpati publik demi popularitas kelompok masing-masing. Tujuan utama demi kepentingan bangsa pun menjadi kabur.
Begitulah disorientasi gerakan yang telah terjadi pada mahasiswa hingga saat ini. Tidak ada manfaatnya jika sekarang kita mencari siapa yang bersalah atas kondisi ini. Ini juga bukan salah demokrasi.
Kita merindukan kembalinya karakter-karakter mahasiswa seperti Gie. Yang harus kita lakukan sekarang adalah memikirkan bagaimana memperbaiki kondisi ini sehingga kita kembali mampu menciptakan negarawan-negarawan muda pejuang kepentingan bangsa.


Peretas Batas
Akibat adanya perpecahan gerakan mahasiswa, akhirnya mahasiswa lain yang berada di luar kelompok dominan di atas secara umum terbagi dalam tiga jenis sikap. Yang pertama adalah mereka yang mencoba membuat kelompok-kelompok baru tandingan yang bersifat hampir sama dengan kelompok-kelompok dominan yang telah ada. Mereka lahir dari semangat emosional yang cenderung keliru, yakni ingin mengalahkan kelompok dominan yang ada. Mereka lahir bukan untuk memperjuangkan kepentingan bangsa, melainkan lagi-lagi demi kepentingan kelompok sendiri.
Yang kedua adalah mereka yang memilih tidak berafiliasi dengan kelompok mana pun. Kelompok ini tidak menyukai atau membenci keberadaan kelompok-kelompok dominan yang bersifat politis tersebut. Pada akhirnya, kelompok ini bersikap apolitis. Partisipasi politiknya cenderung rendah dan mengarah pada ketidakpedulian terhadap kondisi bangsa.
Selanjutnya, yang terakhir adalah mereka yang sering disebut oportunis. Mereka tidak berafiliasi dalam hal ideologi identitas perjuangan dengan satu pun kelompok yang ada, tetapi bergabung dengan semua kelompok untuk mendapatkan lebih banyak ilmu dan bersilaturahmi dengan setiap kelompok yang ada. Sikap ketiga dimiliki oleh orang-orang yang sulit dideteksi keberadaaannya. Dalam pandangan kelompok dominan, mereka dianggap oportunis. Di kelompok apolitis, mereka dapat membaur sehingga tidak jarang mampu menurunkan sifat apolitis kelompok tersebut. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang mencoba mempelajari dan memahami kelebihan dan kekurangan setiap kelompok yang ada. Mereka cair dan terlibat dalam sejumlah kegiatan dalam setiap kelompok serta mencoba menetralisir kepentingan kelompok dengan menitikberatkan pada kepentingan bangsa.
Peretas batas, inilah sebutan untuk mereka. Orang-orang yang tidak terikat pada kepentingan tiap-tiap kelompok dan tidak juga bersikap resisten terhadap keberadaan kelompok-kelompok tersebut. Mereka justru berupaya membuka jalan komunikasi kerja sama antarkelompok. Dengan ini, diharapkan setiap kelompok dapat lebih terbuka dan kembali pada tujuan utama, yaitu membangun bangsa. Para peretas batas meyakini bahwa setiap mahasiswa dan kelompok yang ada memiliki potensi yang berbeda-beda. Setiap potensi dipercaya memiliki kebermanfaatan. Setiap kebermanfaatan itulah yang harus dicoba dipadukan menjadi sebuah sumber kekuatan untuk membangun peradaban. Sosok mahasiswa seperti inilah yang berpotensi untuk menjadi seorang negarawan muda, para pemimpin politik kreatif yang berintegritas. Ialah pilar-pilar kokoh pembangun masa depan bangsa.
Adapun terkait persetubuhan dengan partai politik yang terlanjur terjadi, hal tersebut hanya dianggap sebagai seni berdemokrasi. Bukan untuk sampai pada fase terlarut dan terlena dengan kepentingan politiknya. Tugas menyuarakan aspirasi rakyat perlu tetap dipegang teguh. Hal tersebut adalah tanggung jawab moral seorang intelektual. Partai politik cukup sebagai alat mencapai tugas tersebut. Tidak untuk menjadi buta arah dan gelap mata terhadap simbol-simbol kekuasaan. Prinsip yang dikedepankan adalah berjuang untuk kebenaran, bukan untuk pembenaran. Seorang peretas batas menyerap aspirasi rakyat dengan kejujuran mengabdi. Aspirasi tersebut kemudian diolah dengan kekayaan ilmu pengetahuan sehingga mampu menciptakan karya nyata yang optimal. Itulah seorang mahasiswa negarawan (muda).
Peretas batas tidak hanya terbatas pada konteks studi kasus di atas. Dalam konteks perbedaan-perbedaan lainnya pun, hal ini bisa diterapkan. Seperti halnya keberadaan organisasi-organisasi mahasiswa daerah yang menjamur di tiap-tiap kampus dan masih bersifat parsial, bekerja sendiri-sendiri. Potensi-potensi ini bisa dikolaborasikan menjadi sebuah kekuatan yang lebih besar untuk mendorong upaya memajukan Indonesia melalui fondasinya di daerah-daerah.
Merekalah yang akan membantah Bennedict Anderson yang menyatakan bahwa Indonesia is imagined community dan bersatu dalam semangat Tan Malaka yang dengan tegas menyatakan, “Dalam tiap-tiap macam perjuangan, inisiatif mempunyai nilai besar".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar