Senin, 21 Desember 2015

Fi Zhilalil-Qur’an ‘Di Bawah Naungan Al-Qur’an’

 Fi Zhilalil-Qur’an ‘Di Bawah Naungan Al-Qur’an’

“Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat. Nikmat yang tidak dimengerti kecuali oleh yang merasakannya. NIkmat yang mengangkat harkat usia manusia, menjadikannya diberkahi, dan mensucikannya.

Segala puji milik Allah yang telah memberiku karunia dengan hidup di bawah naungan Al-Qur’an dalam suatu rentang waktu, yang kurasakan nikmatnya yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dalam hidupku. Kurasakan nikmat ini dalam hidupku, yang menjadikan usiaku bermakna, doberkahi, dan suci bersih.

Kutempuh hidup dengan kudengar Allah Yang Mahasuci berbicara kepadaku dengan Al-Qur’an ini, padahal aku sejumput hamba yang kecil. Adakah penghormatan yang tinggi dan mulia seperti ini? Adakah pemanknaan dan peningkatan harkat usia seperti yang diberikan oleh Al-Qur’an ini? Kedudukan manakah yang lebih mulia yang diberikan oleh Pencipta Yang Mahamulia kepada manusia?

Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an. Dari tempat yang tinggi, kulihat kejahiliyahan yang bergelombang di muka bumi. Kulihat pula kepentingan-kepentingan penghuninya yang kecil dan tak berarti. Kulihat kekaguman orang-orang jahiliyah terhadap apa yang mereka miliki bagaikan kanak-kanak; pikiran-pikiran, kepentingan, dan perhatian bagaikan anak-anak kecil. Ketika kulihat mereka, aku bagaikan seorang dewasa yang melihat permainan anak-anak kecil dan tutur katanya yang pelat seperti anak kecil.

Mengapakah manusia-manusia ini? Mengapa mereka terbenam di dalam lumpur lingkungan, tanpa bisa dan mau mendengar seruan yang luhur dan mulia, seruan yang mengangkat harkat kehidupan, menjadikannya diberkahi dan menyucikannya?

Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an sambil bersenang-senang dengan menikmati gambaran yang sempurna, lengkap, tinggi, dan bersih bagi alam wujud ini, tentang tujuan alam wujud ini seluruh nya dan tujuan wujud manusia. Kubandingkan dengan konspesi jahiliyah tempat manusia hidup, di timur dan di barat, di utara dan di selatan, dan aku bertanya, “Bagaimanakan manusia hidup di kubangan yang busuk, di dataran paling rendah, dan di dalam kegelapan yang hitam pekat, sementara di sisinya ada tempat penggembalaan yang subur, tempat pendakian yang tinggi, dan cahaya yang cemerlang?”.

Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an; kurasakan simponi yang indah antara gerak kehidupan manusia yang dikehendaki Allah dan gerak alam semesta yang diciptakan-Nya. Kemudian, kuperhatikan lagi kehidupan jahiliyah maka terlihat olehku kejatuhan yang dialami manusia karena menyimpang dari Sunnah kauniyah dan benturan antara ajaran-ajaran yang rusak srta jahat yang telah lama kemanusiaan bercokol di atasnya dan fitrah yang diciptakan Allah untuknya. Aku berkata dalam hati, “Setan keparat manakah gerangan yang telah membimbing langkah mereka ke neraka jahim ini?”. Wahai betapa ruginya manusia ini!!!

Aku hidup di bawah naungan Al-Qur’an; kulihat alam wujud ini jauh lebih besar daripada kenyataan lahiriyah yang terlihat ini. Lebih besar hakikatnya, lebih banyak sisinya. Ia adalah alam gaib dan alam nyata, bukan cuma alam nyata saja. Ia adalah dunia dan akhirat, bukan Cuma dunia ini saja.



Akhirnya, sampailah aku dalam masa hidupku di bawah naungan Al-Qur’an kepada keyakinan yang pasti bahwa tidak ada kebaikan dan kedamaian bagi bumi ini, tidak ada kesenangan bagi kemanusian, tidak ada ketenangan bagi manusia, tidak ada ketinggian, keberkatan, dan kesucian, dan tidak ada keharmonisan antara undang-undang alam dengan fitrah kehidupan melainkan dengan kembali kepada Allah.

Kembali kepada Allah-sebagaimana yang tampak di dalam baying-bayang Al-Qur’an-memiliki satu bentuk dan satu jalan. Hanya satu, tidak ada yang lain. Yaitu, mengembalikan semua kehidupan kepada manhaj Allah yang telah ditulisnya di dalam kitab-Nya yang mulia bagi kemanusian. Yaitu, dengan menjadikan kitab ini sebagai pengatur di dalam kehidupannya dan berhukum kepadanya dalam semua urusannya. Kalau tidak begitu, kerusakanlah yang akan terjadi di muka bumi, kesengsaraan bagi manusia, terbenam ke dalam lumpur dan kejahiliyahan yang menyembah nafsu selain Allah.

…Dan demikian pulalah yang terjadi pada masyarakat Islam sendiri. Langkah naiknya dimulai dari titik pertemuan hukum alam dengan nilai-nilai iman di dalam hidupnya, dan langkah kejatuhannya dimulai dari titik pemisahan antara keduanya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar