Sabtu, 16 Maret 2013

Mencari Keadilan: Diam atau Jadi Penggerak?


Mencari Keadilan: Diam atau Jadi Penggerak?


AMALUL FADLY HASIBUAN


Kisah tentang keadilan hampir sama tuanya dengan sejarah manusia. Kisah tentang Adam yang dikeluarkan dari surga dan kisah tentang anak kembar Adam yang saling berlomba memberi kurban terbaik, misalnya, merupakan kisah tentang keadilan di awal sejarah manusia. Pada masa itu, Tuhan secara langsung menjadi hakim dalam menentukan keadilan. Seiring perjalanan hidup manusia, jumlah manusia yang ada semakin banyak. Permasalahan di antara manusia pun semakin kompleks. Sengketa tidak hanya terjadi antara individu dengan individu, tetapi juga antara individu dengan kelompok, individu dengan negara, antarnegara, bahkan antara kelompok persatuan beberapa negara dengan kelompok persatuan negara lainnya.
Mencari keadilan saat ini ibarat mencari jarum di dalam jerami. Hukum, dengan perangkat-perangkatnya yang sangat modern saat ini, entah kenapa tidak membuat keadilan menjadi lebih mudah ditemukan. Sangat ironis. Terkadang kita hanya bisa terdiam sambil termenung. Keadilan begitu sulit ditemukan, padahal dengan logika sederhana saja, walaupun tidak belajar dan tidak paham hukum, setiap orang dapat mengetahui ketika suatu ketidakadilan sedang terjadi. Kisah-kisah tentang keadilan di zaman dahulu terasa seperti dongeng yang sulit untuk dipercayai. Kisah tentang kepala negara yang kalah dalam sengketa baju besi terasa seperti tak mungkin sehingga membuat kita bertanya, “Benarkah itu terjadi? Atau hanya kisah yang tak pernah terjadi, yang sengaja dibuat-buat untuk menghibur kita bahwa kedilan itu pernah ada?”
Masih ingatkah kita kasus seorang nenek yang divonis 2,5 tahun karena tak mampu membayar denda sebesar Rp1.000.000,00 akibat mencuri singkong di wilayah perusahaan PT X? Sebaliknya, Nazarudin, koruptor yang sampai melarikan diri ke luar negeri, justru hanya dijatuhi vonis empat tahun sepuluh bulan penjara dengan denda Rp200 juta dan subsider empat bulan. Bukankah tindakannya sama kejamnya dengan tindakan teroris yang membunuh banyak orang? Kemudian kita lihat pula berita baru-baru ini. Vonis mati seorang bandar narkoba diubah hanya menjadi 15 tahun penjara dengan alasan hukuman mati tidak sesuai dengan hak azasi manusia. Bukankah bandar narkoba juga melanggar HAM dengan merusak manusia-manusia Indonesia, terutama generasi mudanya? Yang lebih memprihatinkan, Presiden juga turut memberikan pengampunan bagi bandar narkoba dengan mengganti hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Di mana letak keadilan itu?
Di lingkup yang lebih besar, di dunia internasional, kita harus menggigit jari. Baru-baru ini, Palestina kembali diserang oleh roket-roket Israel. Inilah penjajahan modern abad ini. PBB hanya tampak diam, tidak ada upaya untuk menghentikan, apalagi memberi sanksi bagi Israel. Presiden Amerika Serikat bahkan dengan mudah mengatakan bahwa tindakan tersebut wajar dilakukan Israel untuk membela diri. Sudah hilangkah akal sehat mereka? Bukankah yang menjajah dan mengambil tanah, kebebasan, serta kehidupan rakyat Palestina adalah Israel?
Jika keadilan sudah sangat sulit untuk didapatkan, lantas apa yang harus kita lakukan? Haruskah kita apatis, tidak peduli dengan kondisi saat ini? Kemudian ikut terbawa arus menjadi orang-orang yang kehilangan nurani untuk memperjuangkan keadilan? Jika jawabannya iya, kita bukanlah generasi yang memberi solusi. Kita hanyalah generasi yang akan memperburuk keadaan. Ketika tidak ada lagi pihak-pihak yang dapat dipercaya untuk memberikan keadilan, bukan tidak mungkin suatu saat nanti umat manusia akan mencapai puncak kekacauan, kerusuhan, bahkan perang besar yang tidak terhindarkan. Itukah yang kita harapkan? Tentu tidak.
Sebagai pemimpin harapan bangsa—kita adalah pemimpin, minimal bagi diri kita sendiri—kita harus bergerak mempengaruhi yang lain untuk ikut bergerak. Itulah kuncinya. Saat ini, yang dibutuhkan ialah pemimpin yang mampu menggerakkan. Bukankah kepemimpinan seseorang dibuktikan dengan seberapa mampu ia mempengaruhi yang lain untuk ikut bergerak? Pengaruh kita semakin teruji ketika kita mampu melakukannya tanpa bergantung pada jabatan struktural yang kita pegang. Ada banyak contoh gerakan yang bisa dijadikan model, mulai dari gerakan individu sampai gerakan massa. Gerakan individu sadar dan taat hukum, misalnya, merupakan gerakan sederhana yang bisa mempengaruhi orang lain untuk sadar terhadap pentingnya hukum. Ada pula gerakan menolak suap menyuap sebagai contoh lain. Gerakan-gerakan tersebut merupakan contoh sederhana yang dapat dilakukan untuk menggerakkan masyarakat kepada terwujudnya keadilan bagi sesama.
Saat ini, jejaring sosial merupakan media yang efisien untuk mempengaruhi dan menggerakkan masyarakat. Kicauan-kicauan sederhana yang mampu membumikan isu menjadi sarana efektif untuk menyadarkan masyarakat. Media sosial juga memudahkan kita untuk mengajak masyarakat ikut bergerak. Layanan-layanan seperti one vote dapat dengan mudah digunakan untuk menggalang dukungan masyarakat dari berbagai belahan dunia.
Kasus Prita, Cicak VS Buaya, dan kriminalisasi KPK baru-baru ini menjadi contoh bagi kita mengenai betapa efektifnya gerakan melalui jejaring sosial. Penggalangan dukungan melalui jejaring sosial bahkan dapat mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pihak-pihak yang berwenang. Kita dapat menggerakkan masyarakat dengan berbagai cara yang kita anggap efektif. Sebagai pemimpin, tugas kita adalah menggerakkan masyarakat untuk sadar dan mau berperan aktif mewujudkan keadilan di negeri ini, dan tentu saja, di dunia. Sudah saatnya kita berhenti memaki keadaan. Mari bergerak, wahai para pemimpin masa depan!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar