Sabtu, 16 Maret 2013

Catatan Singkat Sebuah Perjalanan: Merenungkan Kembali Makna Pemimpin


Catatan Singkat Sebuah Perjalanan: Merenungkan Kembali Makna Pemimpin


INUNG IMTIHANI


Menjadi pemimpin ialah mengenali dan menjadi diri sendiri, melakukan hal-hal terbaik yang ia yakini, yang paling sederhana sekalipun. Ia ada untuk memberi, bukan mengambil apalagi mencuri.

Setiap hal dalam kehidupan manusia saling berkaitan satu sama lain dengan cara-cara yang seringkali sulit dimengerti. Keputusan kecil yang diambil seseorang hari ini akan sangat berpengaruh pada banyak hal dalam kehidupan yang akan datang. Butterfly effect. Perubahan kecil dalam suatu sistem menciptakan perbedaan besar di waktu yang kemudian. Inilah yang membuat saya percaya bahwa setiap orang harus belajar menjadi pemimpin yang baik. Sebab di manapun seseorang hidup, apapun perannya, ia memimpin perubahan besar bagi kehidupan selanjutnya.
Yang tertera di awal tulisan ini adalah arti pemimpin yang saya yakini hingga saat ini. Saya simpul-rangkumkan ia dari hal-hal yang mampu saya lihat, saya dengar, dan saya pahami selama hidup saya yang belum terlalu lama di dunia ini. Saya tidak akan berteori tentang kepemimpinan karena barangkali saya tidak lebih cakap dari orang-orang yang membaca tulisan ini. Seringkali, saya merasa rawan ketika merenungkan arti pemimpin dan segala tanggung jawab dunia akhirat yang menyertainya. Oleh sebab itu, saya hanya mampu mengartikannya secara sederhana. Menjadi pemimpin, pada yang paling mula, adalah mengenali dan menjadi diri sendiri.

Saya anak rantau yang berangkat menimba ilmu ke kota dengan niatan memperbaiki masa depan dan menjadi penulis. Hanya itu, tidak lebih. Maka ketika Tuhan berbaik hati membukakan jalan bagi saya di Program Studi Indonesia FIB UI, saya tak berpikir macam-macam lagi. Tak ada niatan untuk mencoba mendaftar jurusan lain di tahun yang akan datang. Bahwa orang-orang menganggap jurusan yang saya pilih tak punya prospek terlalu bagus, saya tidak ambil pusing. Prospek tidak ditentukan oleh jurusan, melainkan oleh kualitas pribadi. Dan tentang masa depan, tidak ada seorangpun yang lebih mengetahuinya daripada Tuhan. Untuk berpuluh-puluh tahun ke depan, keputusan ini bisa jadi adalah salah satu keputusan paling penting yang pernah saya ambil dalam hidup saya. Penting bagi saya, bagi orang-orang di sekitar lingkaran hidup saya, dan bagi orang-orang yang mungkin tidak pernah terduga sebelumnya.
Betapa saya akan mengkhianati mimpi-mimpi saya jika memaksakan diri untuk mendaftar di jurusan atau fakultas lain yang tidak sesuai dengan minat saya. Yang dibutuhkan bangsa ini adalah orang-orang yang jujur. Dimulai dari jujur pada dirinya sendiri untuk selanjutnya mempersembahkan yang terbaik dari yang mampu ia lakukan. Di dunia yang penuh lalu-lalang suara manusia ini—yang kadang mempersalahkan dan membenarkan tanpa alasan, yang membelokkan ke kiri dan ke kanan—jujur pada diri sendiri menjadi perkara yang tidak mudah. Ia butuh perjuangan dan keteguhan. Di sinilah, seberapa kuat seseorang memegang prinsip hidupnya diuji dan ditimbang.
Perjalanan terus berlanjut. Untuk mengenali diri sendiri, setiap orang butuh waktu. Mungkin sebentar, mungkin juga seumur hidupnya. Tiga tahun yang lalu dari saat tulisan ini dibuat, saya memasuki dunia kampus yang benar-benar baru. Siapa sangka bahwa kehidupan kampus akan begitu riuh. Berbagai pilihan kegiatan, organisasi, ideologi, dan pemikiran, tersaji di depan mata. Saya mendapati diri saya dihadapkan pada berupa-rupa komando yang menginginkan saya untuk menjadi seperti ini dan seperti itu. Senior-senior yang saya pandang sebagai sosok-sosok mengagumkan membuat saya mulai berpikir untuk menjadi seperti mereka. Kemudian, dengan berbagai hal yang saya alami, dengan merenungkan kembali tujuan dan arti hidup, saya menyadari bahwa saya sama sekali tidak perlu memaksakan diri untuk menjadi orang lain. Setiap orang harus paham benar mengapa ia melakukan dan memilih sesuatu. Dari kesadaran inilah, saya melangkah.
Saya berorganisasi, belajar, dan menulis puisi. Sebisa mungkin, saya coba melakukan hal-hal yang saya yakini. Sejumlah perlombaan menulis puisi pun saya ikuti. Dengan cara ini, saya memotivasi diri saya untuk terus berkarya lewat puisi. Barangkali yang bisa saya berikan bagi bangsa ini, selama saya menjadi mahasiswa, bukanlah hal-hal besar. Namun, saya mensyukuri setiap hal yang telah saya lalui. Saya masih percaya, hal-hal kecil yang dilakukan seseorang bisa jadi sangat berarti ketika ia mampu memberinya makna. Hal-hal kecil ini yang akan menjadi awal bagi perubahan besar di masa yang akan datang. Suatu kali, dalam waktu bersamaan, saya dihadapkan pada pilihan antara mengabdikan diri (K2N) selama satu bulan di perbatasan Indonesia dan mewakili DKI Jakarta dalam Pekan Seni Mahasiswa Nasional dalam tangkai lomba menulis puisi di Lombok. Dengan segala hal yang telah saya pertimbangkan matang-matang, saya memilih untuk berangkat K2N di Desa Kifu, Kab. Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Saya masih bisa menulis di mana pun saya mau. Namun, kesempatan untuk memberikan sesuatu dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat perbatasan mungkin tidak datang dua kali. Desa Kifu adalah desa yang amat kering dengan akses jalan yang amat sulit. Untuk mencapai Desa Kifu, hanya ada dua pilihan jalur. Jalur pertama harus melalui 188 anak sungai dan ditempuh dalam waktu kurang lebih 12 jam menggunakan angkutan darat. Jalur kedua dapat ditempuh dalam waktu sekitar 6 jam perjalanan melalui dua sungai besar (tanpa jembatan) dan jurang di kanan kiri yang, tentu saja, tidak lebih mudah daripada jalur yang pertama. Saat musim hujan, akses jalan menuju Desa Kifu akan benar-benar tertutup.
Foto 1. Perjalanan melewati sungai menuju Desa Kifu.

Kondisi masyarakat di Desa Kifu agaknya lebih memprihatinkan dibandingkan kondisi masyarakat di desa-desa terpencil di Jawa Tengah sekitar 20 tahun yang lalu. Segalanya serba terbatas. Tidak ada listrik dan fasilitas kesehatan yang memadahi. Akses pendidikan dan informasi sangat minim. Akses jalan yang amat sulit bahkan membuat sopir angkutan mengatakan bahwa Oepoli—yang di dalamnya meliputi Desa Kifu—itu neraka. Masih lekat dalam ingatan, pada hari-hari awal kedatangan saya dan kawan-kawan K2N, anak-anak Desa Kifu begitu pemalu. Mereka bersembunyi di balik pagar kayu sambil sesekali mengintip. Ketika kami mendekat, mereka langsung berlari menjauh. Kami paham, mereka belum pernah sekalipun didekati orang-orang dari jauh, sangat jauh, seperti kami. Perlahan-lahan, kami mengajak mereka untuk lebih membuka diri.


Foto 2 dan 3. Kegiatan bersama anak-anak di Desa Kifu.

Perjalanan selalu mengajarkan seseorang untuk mengenali dirinya lebih jauh. Perjalanan K2N telah membawa perubahan besar bagi saya secara pribadi. Perubahan yang pertama, yaitu dalam memahami kembali arti pemimpin dalam konteks kehidupan bermasyarakat. Kedua, dalam memahami dan mencintai Indonesia. Saya pun berharap, semoga perjalanan ini juga membawa perubahan yang lebih baik bagi masyarakat Desa Kifu dalam melihat masa depannya dan dalam melihat dirinya sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Sebelum kembali pulang, saya meminta anak-anak di sana untuk selalu menjaga mimpinya, menyimpannya di dalam hati, dan melaksanakannya suatu hari nanti.
Selangkah demi selangkah, saya mencoba menemukan diri saya di dunia yang besar ini. Keputusan dalam memilih jurusan, memilih fokus kegiatan, memilih K2N adalah sebagian kecil dari banyak hal yang membentuk saya hingga seperti saat ini. Satu hal lagi yang tak kurang berpengaruh pada cara saya memaknai pemimpin yaitu Indonesian Leadership Development Program (ILDP). Arief Munandar, melalui program rutin ILDP, berhasil melekatkan kuat-kuat ke dalam kepala saya pemahaman bahwa pemimpin bukanlah tentang jabatan struktural. Pemimpin adalah tentang kapasitas diri. Seorang pemimpin tidak pernah bergantung pada kedudukannya. Yang perlu disadari adalah bahwa pemimpin bukanlah tentang menjadi apa, tetapi tentang melakukan apa. Dengan itu semua, saya berkeyakinan bahwa setiap orang wajib berupaya menjadi pemimpin yang baik, bagi dirinya sendiri, bagi keluarganya, dan bukan tidak mungkin, bagi lingkup yang lebih besar dari keduanya.

Hidup ini sebenarnya akan lebih punya makna kalau saja setiap detik kita tidak pernah berhenti memperjuangkan apa yang kita yakini—apa pun risikonya…Kita harus mempersembahkan setiap detik dari hidup kita untuk hal-hal yang paling baik yang bisa kita lakukan. (Seno Gumira Ajidarma dalam Trilogi Insiden, hlm. 180)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar