Sabtu, 02 Maret 2013

Microfinance (IMF) Indonesia Melalui Upaya- Upaya Pengembangan Baitul Mal wa Tamwil (BMT) dalam Menyukseskan Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia


 
Diajukan untuk Pemiihan Mahasiswa Berprestasi tahun 2012
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan masalah kompleks dan multidimensional, mengingat komposisi penduduknya yang beragam status sosial dan ekonomi serta geografis yang tersebar. (Gatra, 2010) Perlu upaya yang serius dan berkelanjutan untuk menanggulangi kemiskinan ini. Untuk mengatasi masalah ini pemerintah tengah berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat melalui Triple P Strategy: Pro Growth, Pro Poor, Pro Job yang digulirkan sejak awal berdirinya Kabinet Indonesia Bersatu I hingga kini. Di awal Kabinet Indonesia Bersatu jilid II, Pemerintahan SBY pun telah mengokohkan komitmennya di Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 3 Tahun 2010 termasuk didalamnya penanggulangan kemiskinan secara berkeadilan berbasis pemberdayaan usaha mikro dan kecil.
             Namun, faktanya seratus tahun keberadaan lebih dari 75 ribu kredit mikro di Indonesia dengan bank BRI sebagai simbol utamanya, sehingga menempatkan negeri ini sebagai laboratorium keuangan mikro dunia yang terpenting, tidak menghasilkan penurunan riil kemiskinan (Tika, 2010). Hal ini bisa saja dikarenakan pola pembiayaan belum dilakukan sesuai dengan kondisi sosial, geografis, dan ekonomi Indonesia.
            Upaya-upaya untuk memastikan kondisi pembiayaan mikro yang ideal dan sesuai dengan masyarkat Indonesia merupakan sesuatu yang penting. Apalagi,  pembiayaan mikro merupakan topik yang diperbincangkan secara luas di dunia karena merupakan penyokong utama UMKM yang terbukti menyelamatkan ngara-negara di tengah krisis ekonomi.
            Banyaknya lembaga pembiayaan mikro mulai dari institusi pemerintah, lembaga formal keuangan mikro hingga lembaga non formal telah menjdi alternatif pembiayaan mikro yang keberadaannya menyesuaikan kebutuhan masyarakat lingkungannya. Selain itu, kini pun hadir lembaga pembiayaan mikro yang berbasiskan syariah seperti BPRS dan BMT. BPRS merupakan BPR yang dioperasionalkan sejarah syariah. Sedangkan BMT walaupun sebagian BMT nya berada di bawah mentri koperasi dan dianggap serupa dengan koperasi tapi  sebenarnya memiliki pola yang tidak hanya berbeda secara syariah tapi juga berbeda dari aspek lainnya.
            Kondisi masyarakat Indonesia yang mayoritas berada di kalangan menengah ke bawah serta masyarakat muslim yang mencapai 88 % penduduk menjadikan pembiayaan seperti BMT cocok diterapkan.
            Bagaimanapun juga, penulis cenderung mendefinisikan kondisi pembiayaan mikro ideal secara sederhana  sebagai suatu kondisi dimana masyarakat terutama kalangan menengah kebawah dan unbankable dapat mengakses dengan mudah, adil, dan meringankan,  mendapatkan pelayanan dan tidak  memiliki potensi permasalahan atau menyusahkan di masa depan. 
            Kegagalan dalam mengelola  pembiayaan mikro  ini akan memberikan akibat buruk yang sangat besar. Ia akan menurunkan standar hidup (living standards), dan meningkatkan risiko  ekonomi, serta  ketidakstabilan  keuangan.        Namun, hal yang paling berbahaya adalah kondisi ini akan menghambat upaya penanggulangan kemiskinan dan berpotensi meningkatkan jumlah orang miskin Indonesia.  
            Terlepas dari semua itu,  hal yang sangat ironis menurut penulis adalah  meskipun banyak pihak tahu bahwa peran pembiayaan mikro dalam  menanggulangi kemiskinan  sangat besar, banyak pihak yang belum terlalu mementingkan kondisi  pembiayaan mikro ini sendiri. Baik di  kementrian  keuangan maupun media, sangat jarang terdengar kajian  pembiayaan mikro. Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk meneliti  bagaimana peran pembiayaan mikro syariah Baitul Maal wat Tamwil  dalam menanggulangi kemiskinan Indonesia,  kondisi  pembiayaan mikro di  Indonesia, menganalisis akar permasalahannya, dan mencari solusi atas permasalahan tersebut.

Rumusan masalah penelitian ini adalah:
a.  Bagaimanakah peran BMT dalam penanggulangan kemiskinan Indonesia?
b.  Bagaimanakah assesment pembiayaan mikro Indonesia?
c.  Apa risiko yang ada pada kondisi tersebut?
d.  Apa sumber permasalahan utama kondisi tersebut? dan 
e.  Apa solusi yang bisa ditawarkan terhadap permasalahan tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui:
a.  Peran Islamic Microfinance BMT dalam penanggulangan kemiskinan Indonesia,
b.  Assesment pembiayaan mikro Indonesia,
c.  Risiko yang ada pada kondisi tersebut, 
d.  Sumber permasalahan utama kondisi tersebut, dan
e.  Solusi yang bisa ditawarkan terhadap permasalahan tersebut.

1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukannya penelitian ini, di antaranya adalah:
a.  Bagi pemerintah, hasil penelitian ini bisa dijadikan sebagai salah satu pertimbangan untuk merumuskan penanggulangan kemiskinan Indonesia
b.  Bagi dunia keilmuan, terutama dunia mahasiswa, penelitian ini bisa dijadikan sebagai salah satu pemicu ataupun role model kontribusi mahasiswa bagi bangsa Indonesia.
 
1.5 Sistematika Penulisan
  Karya tulis ini terdiri dari lima bab. Bab I merupakan Pendahuluan, yang menjelaskan latar belakang penelitian,  rumusan masalah, tujuan,  manfaat penelitian, serta metode penulisan makalah. Bab selanjutnya, Bab  II, merupakan  Tinjauan Pustaka. Pada Bab ini, dijelaskan beberapa teori yang sangat berkaitan dengan tema penelitian ini. Teori ini berkisar dari teori peran dan fungsi BMT, teori Pembiayaan Mikro Syariah dan teori kemiskinan.

            Bab III merupakan Metode Penulisan. Pada Bab ini dijelaskan sifat penelitian, teknik pengumpulan dan pengolahan data, serta teknik pengambilan kesimpulan dan perumusan rekomendasi.
            Bab IV merupakan inti, yaitu pembahasan. Pada Bab ini dibahasa kondisi pembiayaan mikro di Indonesia ditinjau  dari berbagai indikator. Lalu dari kondisi tersebut diambil kesimpulan apa permasalahan pada pembiayaan mikro  Indonesia  dan diakhiri dengan solusi atas permasalahan tersebut.
             Terakhir Bab V, merupakan penutup. Berisi kesimpulan dan saran, serta pernyataan keterbatasan penelitian.




















 


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Peran dan Fungsi BMT
            Pengertian Baitul Maal wa Tamwil adalah Lembaga Keuangan Mikro Syariah yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil, menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dalam membela kepentingan kaum fakir miskin, ditumbuhkan atas prakarsa dan modal awal dari tokoh – tokoh masyarakat setempat dengan berlandaskan pada sistem ekonomi yang berintikan keadilan (PKES, hlm.24, 2006). BMT bukan hanya sebuah lembaga yang berorientasi bisnis, tetapi juga sosial, lembaga yang kekayaannya terdistribusi secara merata dan adil. Oleh karena itu BMT menjadi harapan bagi masyarakat atau UKM untuk mendapatkan pembiayaan. Dalam beberapa operasional BMT, LKMS tersebut juga melakukan pemberdayaan umat. ( www. Damandiri.or.id) 
BMT adalah lembaga yang memberikan dukungan terhadappeningkatan kualitas ekonomi pengusaha mikro dan pengusaha kecil bawah berlandaskan system syariáh. Lembaga ini terdiri dari dua bagian yang disebut dengan Baitul Mal  (membangun dari sisi sosial) dan Baitul Tamwil (membangun dari sisi sosial)  Baitul mal adalah lembaga yang kegiatannya menerima dan menyalurkan dana zakat, infaq dan sadaqoh. Sedangkan Baitul Tamwil mengembangkan usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas usaha ekonomi pengusaha kecil bawah dan mikro diantaranya dengan cara memotivasi kegiatan menabung dan pembiayaan usaha ekonomi. Sedangkan apabila dilihat dari status badan hukumnya, BMT merupakan organisasi keuangan informasl dalam bentuk Kelompok Simpan Pinjam (KSP)  atau Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) (Mohammad, 1989:17-18).

BMT mempunyai peraan penting dalam:
  1. Menjauhkan masyarakat dari prakterk ekonomi non syariah
  2. Melakukan pembinaan dan pendanaan usahan kecil
  3. Melepas ketergantungan pada rentenir disebabkan rentenir mampu memenuhi keinginan masyarakat dalam meneyediakan dana segera.
  4. Menjaga keadilan ekonomi masyarakat dengan distribusi yang merata
  5. Meningkatkan jumlah pengusaha dari kelompok mikrodan menengah
  6. Mewujudkan pemberdayaan masyarakat berbasis lokal dan komunitas

2.2 Teori Pembiayaan Mikro
            Menurut definisi yang dikeluarkan Micro Credit Summit (1997), Keuangan Mikro
adalah " Program pinjaman uang terhadap keluarga miskin untuk digunakan sebagai usaha yang memberikan hasil dan income dalam memenuhi kebutuhan pribadi dan keluarganya " 
 
            Definisi  ini jelas menyatakan yang berhak untuk mendapatkan pinjaman tersebut adalah keluarga miskin dengan prinsip pinjaman, tanpa pengecualian apakah si miskin nanti dapat memenuhi dan melunasi hutang atau tidak. Dalam sumber lain yang menjelaskan tentang micro finance disebutkan bahwa "  keuangan mikro (microfinance) meliputi pinjaman, tabungan-tabungan, asuransi, layanan transfer, dan berbagai produk keuangan yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah (low-income clients). Micro finance  memiliki cakupan lebih luas dari micro credit karena dalam membantu permasalahan masyarakat miskin tidak terbatas pada aspek pinjaman saja melainkan juga aspek tabungan, asuaransi dan jasa keuangan lain . Sedangkan limit dari keungan mikro berkisar dari 0-5 juta.

2.3 Teori Pembiayaan Mikro Syariah  
Dalam Albaqarah 273, Allah berfirman:

Menurut Imam Nawawi ayat ini menjelaskan bahwa orang miskin tidak akan meminta-minta karena mereka memiliki rasa  Iffah  atau  self-esteem  yang membuat mereka  tidak akan menghinakan diri dengan menjadi pengemis.

Dalam hadist Imam Bukhori dan Muslim memberikan pengertian lain tentang orang miskin, yaitu orang miskin sebenarnya bukanlah orang yang minta-minta tetapi orang yang tidak mendapatkan kepedulian dan perhatian dari orang kaya, tidak pula mendapatkan sedekah darinya sehingga dia dapat memenuhi kebutuhannya. Karena orang miskin sejati mempunyai martabat sehingga ia tidak
akan meminta-minta, itulah miskin sesungguhnya yang lebih berhak untuk menerima sedekah, bukan berarti orang yang minta-minta tidak miskin tetapi tidak sempurna kemiskinannya
            Ayat dan hadist diatas menjadi teori dasar keuangan mikro dalam Islam mencakup program bantuan charity kepada mereka yang membutuhkan, dengan kata lain keuangan mikro Islam adalah " program bantuan sosial kepada orang miskin dilanjutkan dengan memberikan pinjaman  modal usaha dan jasa keuangan lainya sesuai dengan prinsip syariah ".   (Mughni, 2008)   
            Prinsip ekonomi islam meletakkan modal sebagai faktor produksi nomor tiga, setelah manusia dan alam, bukan merupakan factor produksi nomor satu. Modal sebagai factor produksi yang ketiga karena orientasi ekonomi dalam Islam adalah manusia, bukan modal dengan landasan sebagai berikut:

  1. Kerja merupakan unsur produksi terpenting, dengannya bumi diolah dan dikeluarkan segala kebaikan dan kemanfaatan hidup.
     “Dia-lah yang menjadikan kamu sekalian khalifah di muka bumi …” (QS Fathir : 39)
  1. Manusia dapat mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk meningkatkan nilai dari barang dan jasa.
     “…dan yang  telah menciptakan kamu dari bumi dan menyuruh kamu memakmurkannya…”  (QS Hud :61)
Oleh karena itu, dari segi sosial lembaga keuangan mikro syariah LKMS memposisikan failitas peningkatan skill manusia berada diatas modal sehingga dalam praktek lapangan pun LKMS bercirikan pengembangan diri nasabahnya.



2.4 Teori Kemiskinan
            Kondisi kemiskinan yang dialami sekelompok masyarakat berbeda beda atau bersifat heterogen, oleh karena itu perlu dilakukan tingkatan untuk dapat mengetahui kondisi terparah dari kemiskinan. Tingkatan dari kondisi kemiskinan yang terdapat dalam masyarakat dapat dikelompokan dalam tiga tingkatan (Sahyuti, 2006 : 95), yaitu : 

1.  Kelompok yang paling miskin (destitute), merupakan kelompok yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, tidak memiliki sumberpendapatan, dan tidak memiliki akses terhadap pelayanan sosial.
2.  Kelompok miskin (poor), merupakan kelompok kemiskinan yang memiliki pendapatan dibawah garis kemiskinan, namun masih memiliki akses terhadap pelayanan sosial dasar
3.  Kelompok Rentan (vulnerable group) merupakan kelompok miskin yang memiliki kehidupan yang lebih baik, namun mereka rentan terhadap berbagai perubahan sosial disekitarnya..

             Menurut Kuncoro (2000: 107) yang mengutip Sharp, penyebab kemiskinan adalah:
1.                  Secara mikro kemiskinan minimal karena adanya ketidaksamaanpola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang. Penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah terbatas dan kualitasnya rendah;
2.                  Kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumberdaya manusia. Kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitasnya rendah, yang pada gilirannya upahnya rendah. Rendahnya kualitas sumber  daya ini karena rendahnya pendidikan, nasib yang kurang beruntung, adanya diskriminasi, atau karena keturunan
3.                  Kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.  Ketiga penyebab kemiskinan ini bermuara pada teori lingkaran setan   kemiskinan (vicious circle poverty). Adanya keterbelakangan, ketidaksempurnaan pasar, dan kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas sehingga mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima.  

2.5 Teori Keuangan Islam
            Teori Keuangan Islam didasarkan pada larangan 'riba. 'Riba dilarang dalam segala bentuk dan maksud [1]. Dengan demikian, tujuan utama keuangan Islam dan perbankan adalah untuk memberikan masyarakat Muslim dengan alternatif Islam etis untuk sistem perbankan konvensional yang didasarkan pada 'riba ([15] Ziauddin, 1991). 
            Riba 'dapat dibedakan paling tidak dua jenis utama, yaitu kredit riba (riba' al-nasi'ah) dan surplus riba (riba 'al-fadl) ([2] Az-Zuhayli, 2006). Kredit riba 'adalah keterlambatan dalam penyelesaian utang jatuh tempo, tanpa memandang apakah hutang pokok penjualan atau pinjaman. Muslim ahli hukum mendefinisikan 'riba al-nasi'ah di pinjaman membawa kepada pemberi pinjaman tetap kenaikan setelah selang waktu, atau perpanjangan waktu selama periode tetap dan peningkatan kredit melalui kepala sekolah. Di sisi lain, surplus riba (riba 'al-fadl) adalah penjualan barang serupa dengan perbedaan di jumlah dalam enam kategori kanonis dilarang barang: emas, perak, gandum, jelai, garam, dan tanggal kering. Ini 'riba adalah dengan cara kelebihan atas dan di atas jumlah komoditi maju oleh pemberi pinjaman kepada peminjam.'Riba juga ada jika ada baik ketidaksetaraan atau keterlambatan dalam pengiriman barang yang ditawarkan.
            Seperti yang dijelaskan oleh [11] Qureshi (1991), Imam Fakhruddin Razi dalam bukunya al-Tafsir al-Kabir menekankan bahwa pada dasarnya ada tiga alasan etis untuk melawan hukum dari 'riba. Alasan pertama adalah dimana kreditur dapat memastikan pendapatan dari bunga yang dibayarkan oleh debitur yang akan mengarah pada eksploitasi dan hidup dalam keadaan berkurang yang merupakan ketidakadilan besar.Pengisian kelebihan atau surplus dalam pertukaran satu komoditas terhadap yang lain akan mengarah pada eksploitasi terhadap peminjam.Peminjam harus membayar kembali bunga di atas kepala sekolah. Ini akan membuat pemberi pinjaman lebih baik dengan mengorbankan peminjam.Selain itu, kecaman keras transaksi berbasis bunga ini dimaksudkan untuk menegakkan keadilan dan melindungi kelompok miskin (yaitu peminjam).
            Dengan kata lain, bunga atau riba 'mendukung kemungkinan untuk menumpuk kekayaan di tangan beberapa, dan dengan demikian hal itu menunjukkan kekhawatiran bahwa manusia akan sesama manusia menurun.
Kedua, karena kepentingan atau 'riba yang telah ditentukan dan kreditur yang pasti untuk menerima bunga yang dikenakan, mungkin mencegah kreditur dari yang terlibat dalam pekerjaan apa pun karena hal ini tentunya mudah untuk menerima pendapatan dari bunga pada pinjaman ([11] Qureshi , 1991). 
Dalam situasi ini, kreditur belum melakukan upaya apapun atau menjalani segala kesulitan dalam memperoleh pendapatan dan ini akan menghambat perkembangan urusan duniawi. Akhirnya melawan hukum riba 'adalah karena adanya akhir simpati bersama, goodliness manusia, dan kewajiban karena praktek riba' dapat menyebabkan meminjam dan pemborosan ([11] Qureshi, 1991).[1]


 














BAB III
METODE PENULISAN

3.1  Metode Penulisan
Penulisan yang bersifat kualitatif ini pada dasarnya merupakan suatu metode yang
holistik, yang memadukan analisis data dengan aspek-aspek yang terkait.  Berbagai permasalahan yang ada didiskusikan berdasarkan teori untuk selanjutnya dianalisis dan dibuat kesimpulan yang relevan dengan pembahasan. 

3.2   Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi literatur. Data yang digunakan dalam penelitian ini  adalah  data sekunder. Data sekunder  ini berasal dari buku-buku, jurnal, media massa,  laporan kementrian (pemerintah),  serta berbagai literatur dari internet yang berhubungan dengan  kemiskinan, pembiayaan mikro, dan hal-hal yang relevan dengan permasalahan yang dikaji dalam makalah  ini. Buku-buku maupun jurnal yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari Perpustakaan FEUI, Jurnal on-line, serta koleksi pribadi. 

3.3 Pengolahan Data, Pengambilan Kesimpulan, dan Perumusan Rekomendasi
Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisis tren dan proporsi melalui grafik. Lalu kemudian dibandingkan  dengan teori sehingga didapat  kesimpulan. Perumusan rekomendasi dilakukan dengan melakukan analisis akar permasalahan dan memberikan rekomendasi yang menyentuh akar permasalahan tersebut.

3.4  Sifat dan Bentuk Laporan
Sifat dan bentuk laporan yang akan disajikan adalah bersifat deskriptif dan analitis. Deskriptif karena karya tulis ini berusaha menjelaskan dan memberi gambaran  pentingnya BMT sebagai pembiayaan mikro syariah  bagi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Analitis karena berusaha menilai kondisi pembiayaan mikro Indonesia dan mencari akar permasalahan, serta solu
BAB IV
PEMBAHASAN

            Sampai tahun 2011, terdapat 13,33 % penduduk Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan nasional,  atau  dengan kata lain, terdapat 30, 02  juta rakyat Indonesia yang hidup dengan pendapatan di bawah US$1,5 (PPP) per hari.

Grafik 1: Grafik Komposisi Orang Miskin di Indonesia di tahun 2011
Sumber : BPS


            BMT menanggulangi kemiskinan melalui pemberdayaan kepada UMKM khususnya kelompok dibawah garis kemiskinan dan di batas garis kemiskinan, yaitu dengan melakukan tiga kegiatan sebagai berikut :
  1. Pembiayaan
    Pedagang kecil ataupun masyarakat menengah ke bawah dalam memperoleh dana pembiayaan untuk memperluas usahanya ataupun membangun usaha baru bagi masyarakat menengah ke bawah relatif sangat sulit, maka BMT mampu menjangkaunya untuk memperoleh pembiayaan yang diberikan oleh BMT tanpa menghilangkan unsur kehati-hatian dalam penyaluaran pembiayaannya.

  1. Pembinaan

    Pedagang Kecil dan masyarakat menengah ke bawah dalam melakukan usahanya dan agar mampu mempertanggungjawabkan pembiayaannya, maka BMT sering kali memberikan pembinaan kewirausahaan maupun pengelolaan keuangan.
    Bentuk pembinaan dapat dilakukan dengan cara mengadakan seminar ataupun pelatihan. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan keterampilan yang dimiliki oleh penerima pembiayaan. Dalam program pembinaan ini, BMT dapat melakukan pembinaan pelatihan kewirausahaan untuk masyarakat umum, hal ini akan dapat meningkatkan nilai positif bagi masyarakat umum sekaligus membangkitkan semangat berwirausaha kepada masyarakat umum. Dengan demikian program pembinaan dapat memberikan peningkatan jumlah penyaluran dana BMT dengan meningkatnya jumlah penerima pembiayaan yang telah mendapatkan pembinaan terlebih dahulu.

  1. Pemasaran Produk / Jasa

Untuk membantu kelancaran usaha dari penerima pembiayaan dan menjawab kerisauan para anggota penerima pembiayaan, maka BMT dapat melakukan bantuan kepada penerima pembiayaan usaha tersebut dengan cara menghubungkan antara penjual dan pembeli bahan baku yang tergabung dalam penerima pembiayaan. Dan bahkan BMT dengan bekerja sama dengan lembaga bisnis dalam lingkup usaha besar mampu melakukan pemasaran kepada masyarakat luas terhadap hasil usaha penerima pembiayaan.

            Dengan demikian BMT secara aktif mampu menuntaskan kemiskinan dan berhasil menggerakan sektor riil, kegiatan BMT dengan program CSR secara nyata telah membangun suatu masyarakat apalagi masyarakat tersebut merupakan daerah operasional BMT tersebut berada. Dengan adanya BMT yang secara aktif melakukan program CSR dalam pembangunan berkelanjuatan (sustainable development) dengan pemberdayaan masyarakat atau UKM tentunya dapat menghidupkan sektor riel.

            Pengaruh BMT secara nasional memang belum bisa dirasakan karena berdasar data Perhimpunan BMT Indonesia, dilengkapi pencermatan atas data Pinbuk, data kementerian koperasi, maka diperkirakan ada sekitar 3.900 BMT yang operasional sampai dengan akhir tahun 2010 (http://permodalanbmt.com, Oktober 2011). Jumlah ini masih jauh sedikit jika dibandingkan dengan total LKM (lembaga keuangan mikro) yang  saat ini tercatat sekitar 61.000 LKM pada 2011 yang tersebar di Indonesia, angka ini hampir mendekati  jumlah  75.000 desa di negeri ini. (http://www.neraca.co.id, Januari 2012)

            Penelitian mengenai pengaruh BMT secara nasional dalam penanggulangan kemiskinan belum banyak yang dilakukan dengan data terbaru. Dari penelitian yang ada disimpulkan bahwa BMT sangat  diperlukan pengusaha  kecil  mikro.[2] dilihat  dari  prosedur  pembiayaan  dan  jangkauan  pelayanannya  yang  sangat  efektif  dalam melayani kebutuhan  pembiayaan  modal  kerja  jangka  pendek.

            Penelitian BMT lain menghasilkan pendapatan bisnis rata-rata, laba, asset awal dari nasabah yang bergabung adalah Rp. 3,434,120.10, Rp. 803,379.90, dan Rp. 10,002,598.04, masing-masing, dan dalam kondisi terakhir (saat penelitian dilakukan) itu meningkat menjadi Rp. 7,742,279.41, Rp. 1,877,972.79, dan Rp. 25,854,341.67, masing-masing.[3]
           
            Tingkat non-performing financing (NPF) atau tingkat pembayaran hutang juga merupakan indikator penting dari efektivitas pembiayaan. Rendahnya NPF atau tingginya tingkat pembayaran menunjukkan bahwa pembiayaan BMT efektif dalam mengembangkan usaha mikro nasabah.Nasabah yang mampu mengembangkan bisnis mereka akan memperoleh keuntungan dan selanjutnya mereka dapat membayar kembali modal serta bagian laba atau mark-up untuk BMT.  Tingkat NPF dari BMT (2002-2005) masih kurang dari 5 persen atau tingkat pengembalian lebih besar dari 95 persen.. Hal ini menunjukkan bahwa pembiayaan BMT masih efektif.[4]
            Hasil di atas menunjukkan bahwa pembiayaan BMT mampu meningkatkan kinerja bisnis nasabah efektif. Ini merupakan bukti bahwa Islam pembiayaan mikro dapat diterapkan untuk mengembangkan nasabah. Hal ini sesuai dengan temuan [20] Ramadhan (1997) di mana pembiayaan Islam (profit loss sharing) telah berhasil dalam melayani kebutuhan pembiayaan dari nasabah.
            Selain itu, pembiayaan BMT tidak hanya meningkatkan kinerja bisnis nasabah, tetapi juga meningkatkan pendapatan rumah tangga dari nasabah. Pendapatan rumah tangga dari nasabah pada saat pertama mereka bergabung BMT berbeda secara signifikan dari kondisi terakhir ketika survei dilakukan. Yang rata-rata pendapatan rumah tangga meningkat dari Rp. 893,041.67 ke Rp. 2,150,813.7 per bulan. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan rumah tangga rata-rata meningkat lebih dari 100 persen. Selanjutnya, peningkatan pendapatan rumah tangga disertai dengan peningkatan tabungan, kemampuan untuk memenuhi persyaratan kemampuan, dasar untuk membayar biaya sekolah untuk anak-anak mereka dan membayar biaya perawatan medis dari anggota rumah tangga dan, apalagi, peningkatan agama kegiatan. Ini berarti bahwa pembiayaan mikro Islam potensial untuk pengentasan kemiskinan.[5]
           
4.2 Assessment Keidealan Pembiayaan Mikro Indonesia          
            Tidak ada kualifikasi  khusus  dan baku  dalam meng-assess  pembiayaan mikro yang ideal   Selama kualifikasi tersebut bisa mengakomodir pemberdayaan masyarakat yang terlibat didalamnya dan menjamin tidak akan mengalami permasalahan  dalam menjalankan fungsinya di masa mendatang, maka indikator tersebut dapat digunakan sebagai indikator  pemberdayaan  masyarakat melalui pembiyaan mikro yang ideal.  Dalam karya tulis ini, penulis menggunakan tiga kualifikasi yakni adanya program  peningkatan aset fisik dan  modal manusia secara simultan; adanya lingkungan maksro yang kondusif;  kredit mikro tepat sasaran, murah, mau berbagi risiko secara adil (Tika, 2010)

4.2.1 Kualifikasi 1: Program  Peningkatan Aset fisik dan  Modal Manusia secara Simultan
            Modal finansial tidaklah cukup dalam mengentaskan kemiskinan seseorang. Dalam meningkatkan aset fisik dan modal manusia secara simultan diperlukan modal non finansial lainnya. Menurut Friedmen (2001) diperlukan pengembangan pada aset, bakat, dan keterampilan individu dan menyalurkan mereka ke dalam kepemilikan usaha kecil. Selanjutnya, [9] Goldmark (2001) mengungkapkan bahwa masa depan nasabah mikro tergantung pada layanan yang lebih luas tersedia, baik keuangan dan non keuangan, di mana pemilik usaha kecil dapat membangun hubungan dengan bisnis yang lebih besar dan pasar yang lebih menguntungkan . Layanan yang secara langsung menargetkan kegiatan pemilik bisnis 'dapat meliputi pelatihan, akses teknologi, bantuan pemasaran, saran bisnis, pemantauan, dan informasi. Pelayanan ini dapat diberikan melalui technical assistance dalam usaha.
             
Tabel 1 Hambatan Usaha Masyarakat Mikro dan Menengah Kebawah
            Tabel 1 diatas menunjukkan bahwa dalam industri kecil mikro, pengusaha mikro menghadapi masalah modal sebesar 36%,  masalah manajemen dan produksi 26, 69%, dan diikuti 17, 36% masalah persaingan. Manajemen produksi, dan persaingan berkaitan erat dengan bagaimana pengusaha megelola bisnisnya. Pengusaha mikro terutama mereka yang berasal dari kelompok yang paling miskin (destitute), kelompok miskin (poor),  serta kelompok rentan (vulnerable group) merupakan kelompok miskin yang lahir dari penyebab keterbatasan sumber daya. Sumber daya tersebut  tidak hanya modal, tapi yang paling penting adalah sumber daya manusia (skill).
            Lembaga Keuangan Mikro mayoritas memiliki faslitas pendampingan. Sayangnya, dalam pengamatan penulis banyak yang masih menjadikannya sebagai attribute/simbol semata. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut mengenai sejauh mana pendampingan di LKM, alasan utamanya, dan pengaplikasiaannya di lapangan. Akan tetapi, pada hakikatnya BMT menjadikan pendampingan adalah hal yang paling utama dan pertama.
            Ini mengacu  pada model asli produksi Solow-Ramsey, mengenai peran dua faktor penting dalam fungsi produksi, yaitu: modal dan tenaga kerja. Kemudian, model Solow-Ramsey menjelma dalam bentuk per kapita, yang menunjukkan hubungan antara pendapatan per kapita dan modal per kapita. Oleh karena itu, lebih tinggi per kapita modal akan menghasilkan lebih tinggi per kapita income. Akibatnya, jika tujuannya adalah untuk mengurangi kemiskinan melalui keuangan mikro program, maka modal menjadi elemen penting untuk keberhasilannya. Namun, pandangan kita menyimpang dari model Solow-Ramsey asli dalam arti bahwa modal diperkenalkan berdasarkan prinsip bagi hasil. Selanjutnya, agar  model ini bekerja, LKM harus memainkan peran dalam menyediakan modal ini
            Lembaga keuangan mikro saat ini yang mengucurkan dananya sekitar 0-50 juta walaupun sebenarnya dari definisi keuangan mikro sendiri berkisar 0-5 juta.  Dengan rentang definisi yang luas ini, menyebabkan  lembaga mikro akan lebih suka untuk memberikan pembiayaan yang lebih besar kepada orang miskin yang telah memiliki usaha yang risikonya lebih kecil.
            Ini berbeda dengan konsep BMT yang dalam meningkatkan aset fisik dan modal manusia pun, BMT tidak hanya mengucurkan dana kepada mereka yang memiliki usaha produktif dan memerlukan pendampingan. BMT juga  menyediakan pelayan khusus untuk kelompok sangat miskin (destitute),  yang tidak mungkin langsung dibina dalam kegiatan usaha. Kegiatan pemberdayaan the pooerst of the poor dilakukan melalui baitu maal nya.
            BMT mengeluarkan mereka yang berada di kelompok paling miskin (destitute) dan kelompok miskin (poor) agar dapat memenuhi kebutuhan pokoknya melalui pemberian dana secara cuma-cuma untuk mereka yang mustahiq zakat atau peminjaman tanpa tambahan/ return yakni qard ward hasan. Setelah kelompok ini bisa memenuhi kebutuhannya pokoknya, barulah secara gradual diberikan pembiayaan dengan pengembalian bagi hasil. Sebelumnya, mereka pun dibina dan disediakan pelatihan untuk meningkatkan skill.

Gambar 1: Analisa Pemberdayaan Masyarakat melalui BMT dalam Penanggulangan Kemiskinan secara Gradual
Keterangan :
            =Merupakan peran yang dijalankan baitul maal
            =Merupakan peran yang dijalankan baitul tamwil

Jadi, dalam memenuhi kualifikasi peningkatan aset fisik dan manusia, LKM tidak hanya harus menyediakan pendampingan bagi masyarakat miskin yang memiliki usaha saja. Akan tetapi, disediakan pemberdayaan secara gradual yang mencakupi semua kelompok miskin mulai dari sangat miskin hingga miskin.

4.2.2 Kualifikasi 2: Lingkungan Makro yang Kondusif
            Lingkungan makro yang dimaksud terdiri dari kebijaan moneter dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektro riil, kebijakan fiskal dan redistribusi yang berkeadilan kebijakan perdagangan dan investasi yang tidak memarginalkan kelompok lemah, kebijakan lingkungan hidup dan pengelolaan SDA yang berkelanjutan, dan lain-lain.  Kebijkan mikro dapat terhapus manakala kebijakan makro tidak bersahabat (Tika, 2010)

            Di awal 2012,  ini beredar isu akan dilakukannya pembahasan RUU-pengetatan LKM oleh Kemenkeu yang sebeanrnya sudah bergulir sejak 2011. Alasanya, keberadaan LKM ini perlu diatur karena saat ini di pasar ada banyak lembaga keuangan selain bank yang menghimpun dana dari masyarakat. Pemerintah mengatakan bahwa pengetatan ini berfungsi agar LKM bisa dijalankan dengan tertib dan bertanggungjawab.
            Akan tetapi, beberapa ekonom termasuk ekonom Samuel Securitas, Lana Sulistyaningsih, Aris Yunanto beranggapan  adanya perketatan LKM ini akan mematikan usaha mikro sendiri karena keberadaannya yang mudah, murah, dan accesable itulah yang menjadi penunjang bagi kaum miskin
            Pemerintah khawatir jika tidak dikendalikan, akan ada bubble dan usaha mikro sendiri yang akan dirugikan. Tapi LKM adalah ujung tombak kredit mikro yang harus tetap dijaga keberadaannya. Apalagi dari sejarahnya, bubble ekonomi justru terjadi di bank makro bukan LKM karena LKM terutama syariah bergerak di sektor riil dan memiliki pengembalian yang rata-rata jauh lebih besar dan cepat dibanding industri bank makro (www.neraca.co.id)
            Menurut penulis, hanya dalam skala besar dan luas, LKM dengan sistem bunga memang berpotensi menciptakan bubble economy dengan asumsi masyarakat yang dibiayai di sektor ini adalah masyarakat menengah ke bawah, mendapatkan pembiayaan dengan mudah. Apalagi jika perbandingan suku bunga ditentukan keadaan makro. Ini sesuai dengan teori keuangan islam yang menjelaskan bahwa bunga terutama pada kaum miskin justru akan mendorong orang dalam kegiatan meminjam dan pemborosan.

4.2.3 Kualifikasi 3: Reformasi kebijakan dan institusi yang tepat sasaran, murah, dan mau berbagi secara adil.
            Dalam proses reformasi pembangunan keuangan mikro, hendaknya memiliki karakter massive outreach, far reaching impact, dan financial sustainaibilty.
            Agar mampu menjangkau masyarakat miskin secara luas dan masif, kredit mikro harus murah. Banyak rasionalitas ekonomi yang beranggapan bahwa mahalnya kredit mikro secara umum adalah tingginya tingkat risiko dan besarnya operational cost dari  mikro sehingga risiko UMKM yang lebih tinggi dikompensasi dnegan bunga yang lebih tinggi sehingga terciptalah siklus yang tidak berujung. Risiko tinggi membawa peluang pada kredit tinggi  tetapi dengan suka bunga tinggi  membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang lebih tinggi pula (Tika, 2010)
            Akibatnya, sekitar 30,02 juta orang  kelompok yang berada dibawah garis kemiskinan yang termasuk dalam  kelompok yang paling miskin/destitute dan kelompok miskin/poor; serta kelompok berada digaris kemiskinan yakni kelompok rentan makin lemah dan rentan. Hingga, ini  melemahkan mereka untuk menjadi wirasahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil.
            Dari segi harga BMT dengan lembaga keuangan mikro lain bersaing dengan tingkat harga yang hampir sama. Akan tetapi, tingkat pengembalian BMT jauh lebih besar hampir 95% dibandingkan dengan lembaga keuangan lain. Hal ini karena pinjaman BMT dalam jumlah yang kecil 1-5 juta dan adanya pendampingan intensif dari BMT, kontrol bisnis, dan  membangun hubungan yang baik merupakan faktor penting yang tidak dapat diabaikan dalam mencapai efektivitas pembiayaan BMT.
            Dengan tingkat pengembalian hampir yang sama, BMT jauh dianggap lebih murah dan mudah bagi masyarakat miskin karena prinsip yang digunakan adalah bagi hasil. Bagi hasilnya pun disesuaikan dengan kondisi usaha nasabah.

Tabel 2:   Tingkat Harga (BungaBagi Hasil) Pembiayaan Mikro
Lembaga Keuangan Mikro
PNPM
KUR
BMT
tingkat bunga
36% pa
20%-22% pa
35-38%*



*=tingkat bagi hasil disetarakan bunga
Sumber: hasil olahan penulis dari berbeagai sumber[6]
           
            Lain halnya dengan lembaga non syariah seperti Manajemen PNM terikat dengan suku bunga. Di tahun 2011 ini saja, mereka kesulitan menurunkan tingkat bunga pinjaman itu. Penyebabnya adalah PNM juga tidak bisa menekan rasio beban biaya operasional karena selain harus membina masyarakat, mereka pun dituntut untuk melunasi dana yang diperloleh perbankan dengan bunga sekitar 14%-17% efektif per tahun. Hal ini dapat merugikan pemberi modal dan penerima modal. Manakala kredit macet, pemberi modal akan rugi dan tentu kesulitan untuk menagih kepada mereka yang secara ekonomi tidak mampu. Bagi penerima modal pun mereka dituntut harus menyetorkan keuntungan kepada pemberi modal sejumlah modal walaupun mereka sedang dalam keadaan rugi.

            BMT dengan asas pengadaan modal investor dengan tujuan bisnis dan  sosial memberi manfaat sangat  signifikan dibanding yang lain. Dari segi sosial melalui sumber ZISWAF (zakat, infaq, shadaqah, waqaf), ketersediaan dana tidak menuntut pengembalian (return). Sedangkan dari segi profit, prinsip bagi hasil menyebabkan investor pun menerima keuntungannya disaat pengusaha mikro untung. Apalagi tren sekarang ini, investor yang menanamkan modalnya di BMT telah secara sadar memahami bahwa tujuan utama mereka menanamkan bukan untuk mendapatan hasil yang tinggi melainkan lebih pada asas saling membantu kaum papa disekitarnya.

4.3 Permasalahan yang Berpotensi Muncul dari Situasi Kekinian dan Pemetaan   Permasalahan                

            Berdasarkan penjelasan di atas, merupakan sesuatu yang sangat wajar apabila penulis menyimpulkan bahwa kondisi pembiayaan mikro  Indonesia tidak ideal untuk pembiayaan mikro dalam menanggulangi kemiskinan. Jika hal ini tidak segera diselesaikan, maka kemiskinan akan semakin merambak nantinya.

            Hal yang lebih mengkhawatirkan lagi adalah apabila  kondisi ini ini terus dibiarkan, maka  fungsi lembaga keunagan mikro  yang sangat penting dalam penanggulangan kemiskinan akan terganggu.  Pemerintah akan menghadapi kendala banyaknya kerdit macet dari pembiayaan diberikan,  masyarakat yang kertegantungan dengan pemberian dana cuma-cuma pemerintah, tidak berubahnya kesejahteraaan penerima pembiayaan sebelum dan sesudah. Padahal jika seseorang telah keluar dari garis kemiskinan, mereka akan lebih peduli dengan keadaan sosial, politik, budaya dan pendidikan sehingga masalah kompleks bangsa dari berbagai sektor ini dapat dimitigasi secara bertahap. Misalkan di sektorpendidikan, masyarakat yang telah memiiki kecukupa dari segi pemenuhan kebutuhan pokok dan telah berada di lingkungan yang mendorong untuk selalu berusaha lebih baik dengan ilmu yang semakin bertambah akan menyadari arti pentingnya pendidikan. Sehingga pendidikan dijadikan sebagai bagian dari kebutuhan. Keluarga tersebut akan mengusahakan pendapatan yang lebih melalui usaha yang lebih optimal untuk memenuhi target tersebut.
Begitu juga ketika masyarakat telah mulai terdidik, akan meyadari arti pentinngya kehidupan peduli politik agar aspirasi mereka tersampaikan dengan baik. Mereka pun terdorong untuk melaksanakan kehidupan demokrasi yang sehat di negaranya.










            Atas segala penjelasan di atas, berikut adalah peta permasalahan pembiayaan mikro Indonesia.
Gambar 2 Peta Permasalahan Pembiayaan Mikro di Indonesia

4.4 Solusi yang Ditawarkan: Menuju Kondisi Pembiayaan Mikro  Indonesia yang Sustainable melalui Upaya-Upaya Pengembangan Pembiayaan Mikro
            Mengetahui betapa tidak  idealnya kondisi pembiayaan mikro untuk masyarakat miskin di Indonesia, membuat penulis berpikir bahwa Indonesia memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Berdasarkan pemetaan permasalahan pada bagian sebelumnya, terlihat bahwa permasalah utama  pembiayaan mikro Indonesia  terletak pada sasaran yang belum tepat dan berbagi risiko kurang adil. Pada karya tulis ini, penulis ingin memfokuskan solusi pada peningkatan lembaga keuangan mikro non Bank khususnya BMT. Hal ini dikarenakan BMT hampir mendekati kualifikasi lembaga pembiayaan ideal untuk pengentasan kemiskinan Indonesia. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim menjadi sumber pembiayaan mikro yang besar disertai dengan semakin berkembangnya isu perekonomian syariah di Indonesia.
            Jika jumlah penyedia keuangan non bank tinggi, maka masyarakat miskin non bankable bisa memperoleh pendanaan dengan lebih mudah.
            Oleh karena hal di atas, maka diperlukan strategi yang tepat untuk  meningkatkan BMT. Pertanyaan yang mucul setelah itu adalah bagaimana potensi pembiayaan BMT dan penerimanya?  Jika dibandingkan dengan negara yang ukuran ekonominya hampir sama, potensi sumber dana BMT Indonesia tergolong banyak terutama dari ZIWAF dikarenakan mayoritas muslim berada di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PEBS FEUI dengan skenario optimis potensi dana ZIS secara nasional sebesar Rp 1, 3 Triliyun. Bahkan For Foundation mengklaim bahwa potensi bis amencapai 19, 1 Triliyun. Sedangkan berdasarkan data Baznas  2008, total penerimaan ZIS Indonesia 2007 hanya mencapai Rp 348, 943 Milyar. Sedangkan untuk wakaf sendiri, data yang penulis dapatkan dari situs Departemen Agama tanah wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia mencapai 2,7 miliar m2 yang belum terbermanfaatkan yang dapat dijadikan sumber BMT. Belum lagi, wakaf tunai yang kini semakin diminati masyarakat Indonesia. Sayangnya pengelolaannya masih berfokus di lembag abesar dan belum terdistribusi dengan baik di LKM non bank seperti BMT.

            Oleh karena itu, penulis memberikan solusi yakni adanya kebijakan atau dorongan dari masyarakat untuk menyetorkan ZISWAF mereka melalui BMT. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan, BMT yang paling efektif adalah BMT yang berbasis komunitas terutama masjid, pesantren, dan sekolah.
                                                         
4.5 Peran Mahasiswa yang Cerdas dan Berkarakter
             Mahasiswa Indonesia yang cerdas dan berkarakter merupakan suatu keharusan dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal menjamin bahwa tersedianya pembiayaan mikro yang menanggulangi kemiskina. Sudah sangat banyak contoh dan bukti bahwa pembiayaan mikro yang optimal akan mendorong sejahteranya masyarakat miskin
            Mahasiswa sebagai pemimpin masa depan harus bisa memperbaiki kondisi tersebut dengan membuat sistem yang lebih baik. Minimal, sebagai salah satu bagian penyuplai tenaga kerja nantinya, mahasiswa bisa berkomitmen dan mempraktekkan pelayanan publik yang profesional dan berintegritas. Perluny atenaga manajerial yang profesional di sektor ini disebabkan operasional BMT  tidak semudah bank. Selain sistemnya yang baru, program-program pendampingan yang intens butuh diambil alih oleh mahasiwa yang berkompeten seperti melalui kegiatan magang.
             Terdapat dua hal utama yang dapat dilakukan oleh mahasiswa dalam membantu upaya peningkatan pembiayaan mikro, yaitu dari aspek kajian dan penyikapan, serta dari aspek pencerdasan. Dari aspek kajian dan penyikapan, mahasiswa dapat memperbanyak kajian yang berkaitan dengan potensi pembiayaan mikro BMT, lalu upaya untuk   meningkatkannya. Mahasiswa pun juga dapat melakukan kajian terhadap isu-isu kotemporer serta  tindak lanjut atas laporan berbagai lembaga.
            Setalah melakukan kajian, mahasiswa juga dapat melakukan  dengar pendapat (hearing) dengan pejabat yang berwenang dan melakukan tindak lanjut berupa aksi jika diperlukan. 
            Hal lain yang juga bisa dilakukan oleh mahasiswa adalah melakukan pencerdasan kepada publik bahwa mendorong ketersedian pembiayaan mikro yang sesuai dengan masyarakat Indoensia  merupakan sesuatu yang sangat penting demi menjaga kedaultan bangsa. Mahasiswa juga bisa turun hingga ke level pendidikan dasar dan menengah. Terakhir, mahasiswa haruslah menjadi bagian masyarakat yang kritis. Mahasiswa harus  berusaha menjadi pihak yang mengingatkan pemerintah akan kekeliruan, baik yang sengaja maupun tidak sengaja mereka lakukan.
            Hal yang paling nyata dan implementatif yang bisa dilakukan mahasiswa adalah dengan mendirikan BMT Kampus, yakni BMT yang dijalankan di lingkungan kampus sebagai role model masyarakat daam pendiriannya. Pembanguan ini dapat dimulai dari mahasiswa-mahasiswa yang tertarik pada ekonomi syariah baik berada di kampus dengan jurusan syariah maupun tidak. Saat ini di Indonesia telah ada Forum Silaturrahmi dan Studi Ekonomi Islam yang membawahi 210 Kelompok Studi Ekonomi Islam (KSEI) se-Indonesia. Gerakan BMT Kampus bisa dimulai dari kampus-kampus yang telah memilki ketertarikan dengan isu ekonomi dan bisnis syariah. Saat ini telah ada beberapa kampus yang tergabung di KSEI yang telah memiliki BMT seperti Tadzkia, UNPAD, IPB, UII, dan beberapa lainnya.


Gambar 3  Peta Wilayah  Jaringan Kelompok Studi Ekonomi Islam dalam Pembangunan BMT Kampus
Sumber: data FoSSEI milik pribadi









BAB V
PENUTUP

5.1 Simpulan
            Kondisi  pembiayaan mikro Indonesia  memegang peranan yang  sangat penting bagi perekonomian terutama dalam hal penanggulangan kemiskinan. Dalam pembiayaan mikro terdapat banyak program pro penanggulangan kemiskinan. Oleh karena itu, penyediaan pembiayaan mikro ideal  merupakan hal yang sangat penting  dalam upaya penanggulangan kemiskinan tersebut.  Untuk mengukur  keidealan  tersebut, penulis menggunakan tiga kualifikasi yakni adanya program  peningkatan aset fisik dan  modal manusia secara simultan; adanya lingkungan maksro yang kondusif;  kredit mikro tepat sasaran, murah, mau berbagi risiko secara adil
            Berdasarkan assessment penulis, dapat disimpulkan bahwa kondisi pembiayaan mikro Indonesia belum ideal. Berdasarkan pemetaan masalah yang penulis lakukan, penulis berkesimpulan bahwa sasaran yang belum tepat dan berbagi risiko yang kurang adil menjadi penyebab utama. Oleh karena itu, penulis memformulasikan dua solusi utama yang dapat diimplementasikan  untuk meningkatkan jumlah LKMS BMT  melalui pembangunan BMT berbasis komunitas mesjid, sekolah, ataupun pesantren. Selain itu, penulis juga mengusulkan dibentuknya BMT kampus yang tersebar di kampus-kampusIndoensia sebagai role model aplikatif dari pembiayaan mikro syariah di masyarakat.
            Penulis menutup karya tulis ini dengan menekankan bahwa peningkatan pembiayaan mikro syariah tidak hanya tugas pemerintah. Semua elemen masyarakat bisa bergerak termasuk mahasiswa dan kampus. Pada akhirnya pembiayaan mikro untuk kelompok miskin yang menuju sejahtera akan meningkat dan upaya penanggulangan kemiskinan bisa terus berjalan.   

5.2 Saran
            Beberapa hal yang penulis sarankan melalui karya tulis ini adalah:
Pertama untuk pemerintah, organisasi masyarakat agar dapat menerapkan solusi yang ditawarkan penulis. Kedua, bagi rekan-rekan  mahasiswa,  penulis sangat menyarankan agar para mahasiswa aktif melakukan berbagai kajian dan penyikapan atas isu keuangan mkiro Indonesia, serta melakukan pencerdasan kepada masyarakat. [U3] Selain itu, karya tulis ini diharapkan dapat menjadi  role model  bagi kontribusi mahasiswa terhadap perekonomian nasional. Penulis sangat menyarankan teman-teman mahasiswa untuk menumbuhkan budaya menulis dan riset di kampus. Ketiga, bagi dunia keilmuan, penulis sangat mengharapakan agar karya tulis dilanjutkan dan dikembangkan baik dari segi analisis maupun rekomendasinya.

5.3 Keterbatasan Penelitian
            Keterbasan utama penelitian ini adalah keterbatasan waktu yang mungkin
menyebabkan analisis pada karya tulis ini masih kurang dalam. Dalam memperbaiki  pembiayaan mikro Indonesia, penulis hanya berfokus pada peningkatan jumlah LKM non Bank, BMT,  yang setelah ditelaah sesuai dengan keadaan pembiayaan mikro yang dibutuhkan masyarakat.

















Alquran dan Terjemahan. Depok: Alhuda Kelompok Gema Insani
Hadisumarto, Widiyanto bin Mislan Cokro dkk. 2010 Humanomics Improving the effectiveness of Islamic micro-financing: Learning from BMT experience. http://search.proquest.com/docview/203018189/fulltext/1358ECF0F60823CA53/1?accountid=17242#center (19 Maret 2012)
http://permodalanbmt.com/bmtcenter/?p=1006. Diakses tanggal (19 Maret 2012)
PEBS FEUI.2010. Keungan Mikro Syariah Berjalan Lambat Di Jalur Yang Kurang Diregulasi. Depok: PEBS FEUI
PEBS FEUI.2010. Zakat Er Baru Menuju Pertumbuhan Yang Berkelajuta. Depok: PEBS FEUI
Prasetya, Rully. 2011.Menuju Kondisi Fiskal Indonesia yang Sustainable Melalui Upaya-Upaya Peningkatan Penerimaan Perpajakan Demi Menyukseskan Upaya Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia
Siutmorang, Jannes.Kaji Tindak Peran Koperasi dan UKM sebagai Lembaga Keuangan Alternatif




 



[1] Disadur dari Widiyanto bin Mislan Cokro dkk. 2010 Humanomics Improving the effectiveness of Islamic micro-financing: Learning from BMT experience. http://search.proquest.com/docview/203018189/fulltext/1358ECF0F60823CA53/1?accountid=17242#center (19 Maret 2012)
[2] Penelitian Jannes Siutmorang  (Peneliti pada Deputi Bidang Pengkajian Sumber Daya UKMK) berjudul  Kaji Tindak Peran Koperasi dan UKM sebagai Lembaga Keuangan Alternatif menggunakan sample t yang dilaksanakan  di  9  (sembilan)  propinsi  yang  meliputi  :  Sumatera  Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan
[3] Hasil penelitian Widiyanto bin Mislan Cokro Hadisumarto; Ismail, Abdul Ghafar B. Humanomics denganmenggunakan 60 BMT dan 204 pengusaha sebagai sampel dari daerah Jawa
[4] Widiyanto bin Mislan Cokro dkk. 2010 Humanomics Improving the effectiveness of Islamic micro-financing: Learning from BMT experience. http://search.proquest.com/docview/203018189/fulltext/1358ECF0F60823CA53/1?accountid=17242#center (19 Maret 2012)
[5] idem

 [U1]Pastikan bahwa ‘SImpulan” yang akan dibuat Sentia bisa menjawab seluruh rumusan masalah ini.
 [U2]Good job., Kalau bisa dibandingkan dengan peran koperasi konvensional, lintah darat, bank, microfinance, dll.
 [U3]Coba deh kalo sempat Sentia cari2 informasi tentang BMT nya anak2 UNS.. dulu waktu mahasiswa, saya pernah kesana.. ok lho.. coba di UI ada juga J Coba juga kalo bisa interview ke Pak Imam dan Pak Rizki (Departemen Manajemen) dan Pak Banu. Beliau2juga aktif menggerakkan BMT .. J
 [U4]Untuk Daftar Pustaka, coba manfaatkan lagi fasilitas yang ada di Word. Caranya? Klik Help (F1), search: How to make bibliography.

2 komentar:

  1. Halo, saya Ibu Joyce, pemberi pinjaman pinjaman swasta yang memberikan pinjaman kesempatan seumur hidup. Apakah Anda membutuhkan pinjaman mendesak untuk melunasi utang Anda atau Anda membutuhkan pinjaman untuk meningkatkan bisnis Anda? Anda telah ditolak oleh bank dan lembaga keuangan lainnya? Apakah Anda membutuhkan pinjaman konsolidasi atau hipotek? mencari lebih karena kita di sini untuk membuat semua masalah keuangan Anda sesuatu dari masa lalu. Kami meminjamkan dana kepada individu yang membutuhkan bantuan keuangan, yang memiliki kredit buruk atau membutuhkan uang untuk membayar tagihan, untuk berinvestasi di bisnis di tingkat 2%. Saya ingin menggunakan media ini untuk memberitahu Anda bahwa kami memberikan bantuan yang handal dan penerima dan akan bersedia untuk menawarkan pinjaman. Jadi hubungi kami hari ini melalui email di: joycemeyerloanfirm@gmail.com

    BalasHapus