Jumat, 01 Maret 2013

Sukuk Salam dalam Pasar Uang Syariah sebagai Langkah Nyata Mewujudkan Swasemda Pertanian[1] di Indonesia


Sukuk Salam dalam Pasar Uang Syariah sebagai Langkah Nyata Mewujudkan Swasemda Pertanian[1] di Indonesia
Oleh Rahma Suci Sentia
essay menjadi juara 1 Lomba Sayembara  Artikel Ekonomi Islam se UI 2011

Pasar uang syariah di Indonesia tidak menampakkan gairahnya sedikitpun di tengah pesatnya perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Aktivitas dari bank syariah sebagai pelaku utama pasar uang ini khususnya di instrument SBI Syariah justru relatif kecil, yakni 2,91%-9, 31% dari total DPK. Berdasarkan data olahan statistik perbankan syariah  dari Bank Indonesia, terlihat bahwa sejak  Januari 2010 hingga akhir Juli  2010, proporsi penempatan SBI syariah  semakin berkurang, yakni dari 6, 34% hingga menjadi 4, 26% (PEBS-FEUI, 2011).
Berbeda sekali dengan Malaisya dan Bahrain yang justru berjaya di pasar ini. Bahkan pasar uang syariah diakui secara internasional sejak  lahirnya Bahrain Monetary Agency (BMA) dan Bank Negara Malaysia. Hal ini merupakan bagian dari perwujudan kesungguhan masing-masing negara ketika hendak memutuskan mendirikan dan mengenalkan bank syariah di negaranya[2]. 
Salah satu penyebab terhambatnya perkembangan pasar keuangan syariah Indonesia, yakni adanya kekhawatiran bahwa pasar uang syariah dengan instrumen derivatifnya akan mengakibatkan bubble economy yang merupakan mayoritas sumber krisis perekonomian abad ini (Arifin, 2011).  Akan tetapi, didalam pasar uang yang dijalankan dengan murni syariah, kekhawatiran ini tidak akan berlaku karena instrumen yang diperjualbelikan merupakan instrumen tahap pertama dan tidak dapat disekuritisasi kembali. Para ulama telah menyepakati bahwa instrumen yang disekuritisasi kembali bersifat derivatif dan tidak untuk diperjualbelikan.
Seiring dengan peningkatan pemahaman tersebut serta semakin berkembang pesatnya perbankan syariah, para pakar, praktisi ekonomi islam, pemerintah beserta stakeholder terkait dituntut untuk mampu mengembangkan pasar uang syariah dengan lebih inovatif dan solutif. Instrumen yang dikembangkan harus segera dibahas bersama-sama. Hal yang terpenting adalah instrumen tersebut  bersifat ke-Indonesian. Tidak sekedar meniru dari negara-negara lain. Terlebih, pembatasan tentang syariah tidaknya suatu transaksi berbeda antar negara dan antar ulama ataupun mazhab[3].
Selain itu, pasar uang syariah yang dikembangkan haruslah berperan sebagai lembaga intermediasi sektor riil yang ukurannya lebih besar dibandingkan perbankan (Harahap, 2008). Produk di sektor moneternya hanya ada dan mengikuti perkembangan sektor riil sehingga prinsip “uang adalah cermin dari barang”  dalam Ihya Ulumuddin Imam Alghazali terpenuhi. Berbeda dengan konvensional yang melenceng dari hakikat kehadiran pasar uang itu sendiri, mereka sekurang-kurangnya telah melanggar prinsip maghrib- maisyir, gharar, dan riba[4]-. Oleh karena itu, butuh instrumen baru dari  pasar uang syariah yang benar-benar berfungsi sebagai penggerak sektor ekonomi riil
Sejalan dengan itu, Indonesia sebagai negara agraris memilki agrikultur yang merupakan sektor rill pertama dan utama yang harus  dikembangkan. Selain karena dominansi penduduk Indonesia masih berada di pertanian, kebutuhan akan peningkatkan keunggulan kompettif Indonesia sebagai negara agraris yang mampu mewujudkan swasembada pangan dan pertanian harus segera direalisasikan. Dalam hal ini, bukan pertanian saja yang akan merasakan keuntungan dari penguatan dan revitalisasi pertanian itu sendiri. Industri pangan dan agrobisins pun sebagai sektor hilir dari pertanian menjadi lebih terserap. Adanya efek domino tersebut perlu dimanfaatkan terlebih ditengah kekuatan sumber daya alam Indonesia  yang dimilki serta peluang  dari aktivitas ekonomi syariah yang semakin digandrungi pasar Indonesia.
Oleh karena itu, dalam essai ini, penulis akan membahas sukuk salam sebagai instrumen pembiayaan pertanian yang dapat dimanfaatkan pemerintah yang dananya diperoleh dari kelebihan likuiditas bank di pasar uang syariah. Dengan demikin, instrument ini sekaligus  menjaga kelebihan likuiditas bank dengan prinsip syariah baik itu berasal dari bank syariah maupun bank konvensional.

Mengenal Pasar Uang Konvensional dan Pasar uang Syariah
Pasar uang adalah suatu mekanisme untuk memperdagangkan dana jangka pendek dalam kurun waktu kurang dari satu tahun yang berguna dalam pengaturan likuiditas bank (Muhammad, 2002). Jika bank memiliki kelebihan likuiditas, ia dapat menggunakan instrumen pasar uang untuk menginvestasikan dananya. Jika mengalami kekurangan likuiditas, ia dapat menerbitkan instrumen yang dapat dijual untuk mendapatkan dana tunai.
Dibolehkannya pasar uang syariah di Indonesia didasarkan pada Fatwa DSN MUI NO: 37/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Pasar uang syariah yang dimaksud bukanlah pasar dengan akad  jual beli utang (bai al-dayn), melainkan berbasis mudharabah (muqaradhah)/ qiradh, musyarakah, qard,  wadi’ah,  al-Sharf, dan akad syariah lainnya. Di dalam fatwa ini juga tertera landasan Alquran dan Sunnah yang mendasari pembolehan tersebut. Salah satunya hadist Nabi Riwayat Ibnu Majah yang mendasarinya, yakni adanya kaidah lebih baik mendahulukan menolak mudharat daripada mendahulukan maslahat. Hingga akhirnya, pasar uang syariah dipandang merupakan tindakan antisipasi lebih lanjut dari bahaya kekurangan maupun  kelebihan likuiditas di bank.

Perbedaan mendasar pasar uang syariah dengan pasar uang konvensional terletak pada mekanisme penerbitan dan sifat instrumen itu sendiri. Dalam pasar konvensional, instrumen yang diterbitkan adalah instrumen hutang, yang dijual dengan diskon dan didasarkan atas perhitungan bunga. Adapun pasar uang syariah lebih kompleks dan lebih mendekati mekanisme dalam pasar modal.
Instrument dari pasar uang konvensional memilki variasi, seperti Surat Utang Negara, seperti Repurchase agreements (Repo), Commercial paper (CP), Negotiable Certificates of Deposit (CDs), serta Bankers acceptances. Sedangkan instrument pasar uang syariah di Indonesia masih terbatas pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), Sertifikat bank Indonesia Syariah  (SBIS), dan Sertifikat Investasi Mudharabah Antar Bank Syari’ah (IMA).  Bahkan diantara jenis instrument yang sedikit ini, SBI syariah masih disinyalir mengandung unsur riba, sebab dalam perjalannanya terjadi ziyadah(pertambahan) tanpa adanya iwadh (aktivitas di sektor riil).

Kebutuhan Instrumen Baru di Pasar Uang Syariah

Dalam  papernya yang berjudul Strategi Pengembangan Uang Syariah, Zainal Arifin menyebutkan bahwa perbankan islam kini menghadapi kendala operasional berupa  kesulitan mengendalikan likuiditasnya secara efisien. Hal itu terlihat pada beberapa gejala yang antara lain :
  Tidak tersedianya kesempatan investasi segera atas dana-dana simpanan yang    diterimanya.  Dana-dana  tersebut  terakumulasi  dan  menganggur  untuk beberapa hari sehingga mengurangi rata-rata pendapatan mereka
  Kesulitan mencairkan dana investasi yang sedang berjalan, pada saat ada penarikan dana dalam situasi kritis. bank syariah menahan alat likuid-nya dalam jumlah yang lebih besar dari pada rata-rata perbankan konvensional. kondisi ini pun menyebabkan berkurangnya rata-rata pendapatan bank.

Instrumen likuiditas yang efisien paling tidak merupakan  instrumen yang dapat dicairkan setiap saat tanpa mengurangi pendapatan efektif dari investasinya. Oleh karena itu setiap instrumen keuangan harus memenuhi beberapa syarat antara lain: pendapatan yang baik (good return); resiko yang rendah (low risk); mudah dicairkan (redemable); sederhana (simple); dan fleksibel (Zainal, n.d.)
Kondisi ini semakin mendesak pihak terkait untuk segera menyediakan alternatif instrumen baru yang sesuai kebutuhan dan jati diri bank syariah itu. Akan tetapi, pertanyaannya sekarang adalah apakah ada instrumen yang bisa memenuhi likuiditas secara efisien sekaligus mendorong kegiatan sektor riil.

Perwujudan Sukuk Salam Sebagai Instrumen Baru Pasar Uang Syariah Guna Akselarasi Swasembada Agraris

Sukuk salam merupakan sukuk yang menggunakan akad salam dimana pemilik dari barang salam menerbitkan sertifikat kepemilikan atas barangnya yang dijual kepada investor. Akad salam menggambarkan bahwa barang baru akan diterima diakhir periode nanti, sedangkan uang pembayaran diterima di muka secara penuh. Di dalam pasar uang syariah, pemerintah menjadi penerbit sukuk sedangkan bank menjadi investor. Dalam tataran praktisnya, pemerintah bisa saja sebelumnya telah menggunakan akad salam paralel antara petani,  pemerintah, maupun bank;  pemerintah berperan sebagai wakil dengan menggunakan akad wakalah ataupun akad syariah lainnya. Sedangkan keuntungan bank diperoleh dari margin yang didapat dari jual beli salam tersebut.
 Metode ini dapat digunakan pemerintah untuk menghimpun dana guna keperluan pembangunan dan proyek tertentu yang dibutuhkan. Pemerintahan Bahrain, misalnya, telah mengeluarkan obligasi syariah semacam ini untuk pembiayaan hasil pertanian dengan prinsip Salam dan Istishna. Bahrain Monetary Agency menerbitkan government bill berakad salam bersifat jangka pendek 91 hari. Underlying asset-nya dijual kepada bank islam dan barang akan diterima di akhir periode sesuai kesepakatan. Bank islam kemudian menunjuk pemerintah sebagai agen penerima pengiriman komoditas dan pasar melalui penyalur.dengan kontrak agen ini, barang pertanian dijual ke pasar dengan harga kompetitif dan tingkat keuntungan yang didapat menjadi milik bank . Sukuk ini bersifat first level securization sehingga bukan merupakan instumen perdagangan dan hanya bisa dipegang hingga akhir periode (Talha, n.d). Jika setelah tiga bulan berakhir dan bank ingin memperpanjang investasi likuiditasnya, dapat dibuat perjanjian baru lagi setelah perjanjian pertama selesai (Wilson, n.d)
Di Bahrain, sukuk salam ini terbilang sukses dan mampu menampilkan sosok bank syariah yang pro-sektor riil. Ini tidak terlepas dari kesediaan dan kesiapan pemerintah, bank, serta pihak terkait. Di Indonesia sendiri, perlu kajian dan analisis lebih lanjut mengenai potensi pengaplikasian sukuk salam. Akan tetapi, melihat peluang sumber daya pertanian yang begitu besar disertai akselarasi transaksi ekonomi syariah, dan niatan pemerintah untuk melakukan swasembada di bidang pertanian, maka sukuk salam diprediksi  sangat berpeluang menjadi primadona di negeri agraris Indonesia.


Daftar Pustaka       

 

Agustianto. (2011, 10 4). Transaksi derivatif dalam perspektif syariah . Retrieved 8 5, 2011, from Agustianto: http://www.agustiantocentre.com/?p=156
Arifin, C. M. (2011, April 25). Retrieved Agustus 5, 2011, from http://www.ekisonline.com/.
Arifin, Z. (n.d.). Strategi Pengembangan Pasar uang Syariah .
Bank Negara Malaisya. Malaysia Toward an Islamic State.
Bisnis Indonesia . (Kamis, 14 Juli 2011. ). BBJ segera rilis 4 komoditas syariah.
Harahap, S. S. (2008). Peranan Perbankan Syariah dalam Mendorong Sektor Riil. Jurnal Ekonomi Syariah Muamalah , 47-64.
Mediawati, E. Pasar Uang dan Pasar Modal Syariah.
Mihajat, I. S. (2011). Pasar Uang Syariah: Instrument Baru di Industri Perbankan Syariah
MUI, D. S. (2002). Fatwa DSN MUI NO: 37/DSN-MUI/X/2002 tentang Pasar Uang Antar Bank Berdasarkan Prinsip Syariah. Jakarta.
PEBS-FEUI. (2011). In I. Wahyudi, & F. Rosmanita, Indonesia Shariah Economic Outlook 2011 (pp. 55-64). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Talha, M. (n.d.). Malaysia Toward an Islamic State.
Wilson, P. R. Islamic Bonds: Your Guide to Issuing, Structuring and Investing in Sukuk –Overview of the sukuk market. University of Durham, Institute for Middle Eastern and Islamic Studies,, United Kingdom.



 





[1] Pertanian yang dimaksud disini mencakup pertanian dalam arti luas, termasuk di dalamnya perkebunan, perikanan, dan  pertanian.
[2] Di malaisya, bank memastikan sedari awal bahwa sistem perbankan islamnya harus berdiri di atas tiga komponen, yakni instrumen keuangan yang seusia kebutuhan bisnis muslim, institusi keuangan yang menyediakan fasilitas pembiayaan islam, serta pasar uang antar bank berbasis syariah.
[3] Misal, Para ulama Malaysia mengkategorikan hutang (yang menjadi salah satu akad di pasar uang syariahnya sebagai harta biasa, sehingga dapat diperjualbelikan pada harga yang disepakati. Karenanya jual-beli hutang dibolehkan dan berkembang pesat di Malaysia. Tidak demikian halnya dengan negara-negara Timur Tengah dan Indonesian yang memperlakukan hutang berbeda dengan harta biasa, sehingga instrumen tersebut tidak berkembang di Timur Tengah dan Indonesia.

3Tiga macam praktik terlarang inilah yang menjadi faktor dan biang utama krisis. Maysir adalah kegiatan bisnis yang berbentuk judi dan spekulasi.. Sedangkan gharar ialah transaksi maya, derivatif dan karena itu ia menjadi bisnis resiko tinggi. Riba ialah pencarian keuntungan tanpa dilandasi kegiatan transaksi bisnis riil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar