Rabu, 26 Desember 2012

Idealisme vs Realita Ekonomi Bisnis Syariah

Idealisme vs Realita


Fakta menunjukkan secara gamblang bahwa negeri ini ditengah perjuangannya menegakkan ekonomi syar’i, masih saja tak mampu menghilangkan hawa sistem lembaga keuangan kontroversial. Memang realita acapkali mengikis idealisme seseorang termasuk seorang mujahid perekonomian islam. Mempertanyakan realita versus idealita pengaplikasian ekonomi syariah di Indonesia membawa penulis pada salah satu kasus produk sukuk yang kontroversial. Menurut penulis ada beberapa aktualisasi sukuk yang mungkin mesti kita pertanyakan eksistensinya.

Pertama, sukuk yang merupakan istilah obligasi berbasis syariah didunia internasional dihujam berbagai pro dan kontra dari para pelaku syariah. Bagi mayoritas yang kontra berpendapat bahwa didalamnya terkandung bai ad-dayn (jual beli utang ). Ulama Timur Tengah berpendapat bahwa utang adalah sama dengan uang (Debt = Money}, sehingga hanya dapat diperjual-belikan dengan harga yang sama (Rp1.000 utang hanya dapat ditukar dengan Rpl.000 uang, dan tidak bisa dijual dengan harga lebihrendah atau lebih tinggi). Pihak pro mengabsahkan ini dengan menyandarkan pada prinsip surat berharga haruslah diendors oleh pihak penerbit dan harus berasal dari aktivitas yang tidak bertentangan dengan syariah. Indonesia pun memilih menjadi minoritas barangkali karena melihat prospek positif modal yang tak mungkin dilepaskan. Kedua, sukuk Indonesia masih saja menerapkan harga diskon atau premium yang dilakukan obligasi konvensional. Padahal pada dasarnya, sukuk disetujui mayoritas dari minoritas pro-sukuk untuk menghindari sistem ini. Indonesia yang belajar dari seniornya Malaisya, sama-sama meyakini bahwa utang sama dengan harta benda (debt=property), maka utang dapat diperjualbelikan dengan harga berapa pun layaknya harta benda. Misalnya, utang dengan nilai Rpl00 juta dapat dijual dengan harga diskon sebesar Rp80 juta.
Ketiga, mayoritas yang pro percaya bahwa sukuk mudharabahlah* yang lebih tepat mewakili prinsip syariah. Kembali Indonesia mesti menjadi minoritas diantara minoritas. Justru, Indonesia lebih memilih sukuk ijarah** untuk “sementara” dalam pemasaran produknya. Hal ini diyakini sebagai langkah awal yang tepat bagi seorang pemula agar tidak menimbulkan shock culture. Sulit memang untuk berinvestasi di sukuk mudharabah karena investor harus tahu benar bisnis si penerbit sukuk . Apalagi korporasi Indonesia belum banyak dikenal di mata investor global. Pelaku ekonomi syariah Indonesia yakin bahwa semua harus dimulai dari ijarah dulu yang diterbitkan pemerintah, lalu BUMN , bank nasional, korporasi. Setelah dunia usaha Indonesia usaha dikenal investor global, menerbitkan sukuk mudharabah baru visible. Pengaplikasian muhdharabah memang butuh proses panjang di negeri yang koruptornya tumbuh subur karena investor global hanya butuh pengelola yang jujur, kreatif, inovatif, entrepeneurship yang mampu menjamin pengelolaan yang tepat dari dana investasi mereka.

Lalu kapankah saatnya Indonesia benar-benar mengaplikasian ekonomi syariahnya sesuai idealismenya? Kapankah sukuk mudharabah dengan bagi hasilnya yang menjadi pendiferensiasi dasar dengan ekonomi konvensional bakal dapt menggantikan ijarah?Kapankah? Yang pasti sebagai mujahid ekonom kita mesti terus mencari dan menggali kesalahan dari apikasi syariah yang tak sesuai syar’i. Ketika kita, agent of change, menggantikan mujahid pendahulu, insyaallh disaat itulah kita dapat menyempurnakan usaha mereka. Hidup mahasiswa! Hidup rakyat Indonesia!Hidup Perekonomian Islam!n_n



*kerjasama berupa pemberian modal oleh pihak lain untuk tujuan perdagangan dengan prinsip bagi hasil sesuai kesepakatan
**sistem sewa menyewa dengan sukuk sebagai barangnay

Tidak ada komentar:

Posting Komentar