Sabtu, 11 Oktober 2014

Jual Beli Jodoh


Jual Beli Jodoh
Posted on June 15, 2014 by Febrianti Almeera

“Kita tidak terlahir untuk menikah,” kata seorang sahabat sambil tersenyum. Saya termenung sebentar melanjutkan obrolan ringan yang selalu kami lakukan setiap bertemu. Hey! Kalimat itu tidak bermakna kita (saya dan teman saya)  terlahir untuk tidak menikah lho ya. Kalimat itu bermakna meluruskan tujuan hidup.
Hidup bukan hanya perkara menikah saja. Ingatlah yang paling mendasar bahwa tujuan kita diciptakan bukanlah untuk menikah tok! Tapi perilaku orang-orang saat ini, seakan-akan menikah adalah tujuan akhir dari hidupnya. Tak perlu mengelak karena memang tidak bisa. Mulut bisa berkata bijaksana, tapi perilaku tak dapat mendustakannya.
Sekarang bertebaran buku, seminar, training, film, juga lagu yang isinya tentang jodoh hingga akhirnya fokus diri hanya kepada jodoh, jodoh, dan jodoh. Nikah, nikah, dan nikah.
Belum lagi budaya yang sekarang ini seakan berlaku di segala penjuru, terutama pada kumpulan anak muda, yaitu budaya sindir-sindiran tentang jodoh. Juga status single yang seringkali dipakai sebagai bahan guyonan dan kekocakan karena masih mampu bertahan sendirian, sementara yang lain sudah berduaan.
Dengan segala kerendahan hati, ini bukan postingan nyinyir bagi yang melakukannya, atau bentuk sensitifitas saya. InsyaAllah bukan. Postingan ini ditulis untuk sama-sama menelaah ulang langkah diri kita, khawatir kebablasan.
Begini, tentu tak apa berbicara dan mencari ilmu tentang jodoh juga pernikahan, dengan asumsi untuk persiapan masa depan. Yang menjadi masalah adalah jika pikiran kita isinya hanya itu tok! Menariknya pembahasan tentang jodoh telah mengalihkan fokus kita dari tujuan sejatinya kita diciptakan, yang jauh lebih luas. Menikah hanyalah sebagian kecil dari perkara kehidupan.
Tujuan kita diciptakan adalah untuk beribadah. Dan ibadah ini luas maknanya, tak terbatas shalat, sedekah, puasa, dan naik haji. Aktivitas kehidupan kita ini seleuruhnya adalah ibadah hanya jika dilakukan dengan niat, cara, dan tujuan yang benar. “Nah menikah juga kan ibadah?” Oke, satu, postingan ini bukan penentangan terhadap pernikahan ya. Halo halo.. ini tentang aku, kamu, dan siapapun yang terjebak dalam perkara sederhana yang dibesar-besarkan, hingga lalai pada perkara lainnya. Dua, menikah yang seperti apa dulu yang dikatakan ibadah?
Yuk kita refer kembali ke tujuan hidup. Tujuan hidup kita adalah ibadah, dan tiadalah ibadah tanpa perjuangan (melawan hawa nafsu, melewati ujian harta, tahta, cinta). Nah apabila tujuan hidup kita demikian, maka hanya perilaku yang memperkuat perjuangan lah yang bisa disebut ibadah. Yang dengan dilakukannya semakin meluruskan niat, cara, dan tujuan hanya kepada Allah. Apabila tidak memperkuat perjuangan, ya bukan.
Menikah adalah ibadah, ketika ia dijalankan untuk menguatkan langkah perjuangan itu. Tapi khawatirnya sekarang, menikah dilakukan karena rasa penasaran. Penasaran karena ramai yang membicarakan.
Oke oke, bisa jadi kita tak selalai itu. Pikiran kita sudah sampai pada tahap menikah adalah untuk menggenapkan separuh jiwa, menjaga izzah atau harga diri. Tapi ketahuilah.. iman naik tingkat, godaan naik derajat. Bagi yang memiliki niat seakan mulia pun, telaah lagi jauh ke dalam diri, betulkan demikian? Atau hanya diri terlampau pandai mereka-reka kalimat bijak?
Postingan ini ditulis untuk saling mengingatkan. Karena sungguh fenomena jodoh ini sangat rawan. Rasanya ia kini sudah mulai bisa diperjual belikan. Bukan jodohnya memang, tapi kompor-kompor tak bertanggungjawabnya. Jual beli jodoh sudah jadi industri yang bisa jadi penyelenggaranya tidak lagi lurus niatnya.
Hey. Saat ini, tidak sedikit orang yang tidak bertanggung jawab atas apa yang disampaikannya. Beberapa dari mereka dengan sengaja menyampaikan kegalauan tentang kasih tak sampai, kejombloan, dan lain-lain itu hanya iseng karena seru dan pasti ramai yang menanggapi. Sudah, itu saja. Perkara yang menyimak terkompori, gelisah, susah tidur, hingga salah niat, itu nyaris tidak mereka pikirkan. Adapun yang sedikit berpikir, cukup berpikir bagaimana cara menyampaikannya, dengan kemasan seperti apa, delivery-nya bagaimana.
Orang yang begitu tulus membimbing kita dalam menjalani kehidupan dan mengenalkan kita pada makna dan tujuan hidup sebenarnya kita diciptakan tak akan menyempitkan pandangan kita bahwa hidup ini hanya perkara jodoh dan nikah saja. Juga tak akan hanya dilakukan sesekali dalam bentuk pembicaraan satu arah yang hanya berlangsung beberapa jam saja, melainkan terus menerus dan berkala.
Ada pertanggungjawaban besar bagi setiap jiwa yang menyeru pada khalayak ramai. Sungguh hindarilah menyampaikan sesuatu yang hanya jadi batu loncatan untuk kenikmatan-kenikmatan dunia. Popularitas, harta, serta gelar-gelar ahli dan pakar yang tersemat atas puji dan puja bisa saja jadi boomerang yang kelak berbalik menghancurkan. Dan kata “kelak” ini bukanlah tentang fase kehidupan saat ini, melainkan fase kehidupan berikutnya.
Tidak lebih mulia seseorang yang telah menikah, dibandingkan dengan mereka yang belum menikah, apabila yang belum menikah itu tengah mengisi kesendiriannya dalam ketaatan. Tidak ada kehinaan dalam kesendirian.
Dengan segala kerendahan hati, saya memohon maaf apabila ada yang menyinggung. Tapi coba bacalah kembali lebih tenang.
Hidup ini tak sesederhana soal berpasangan. Sebab ada di zaman Rasulullah, seseorang yang luar biasa indah parasnya, pun sungguh mulia akhlak dan perangainya, meninggal dalam keadaan belum menikah. Seketika orang-orang mengalami keributan dan bertanya, “Bukankah sangat hina bagi seseorang yang meninggal dalam keadaan membujang, ya Rasulullah?” Rasulullah tersenyum dan menjawab dengan amat santun, “Ia tak disandingkan dengan siapa pun, karena tak satupun yang layak mendampinginya di dunia. Hanya bidadari lah yang layak membersamainya.”
***

Jika saat ini masih sendiri, inilah kemuliaan yang sedang Allah percayakan. Jalani dengan baik, dan jangan mengeluh. Saat ini saat yang paling pantas untuk terus memahami hakikat jawaban atas pertanyaan untuk apa diri ini diciptakan.
Ambil lah pelajaran yang bertebaran di penjuru bumi dengan bijak, dan jadikanlah itu bekal untuk kelayakan pujian bagi yang memang pantas memuji. Jangan khawatir bila Allah masih berikan waktu untuk sendiri, manfaatkanlah untuk memikat-Nya dengan segala amal ibadah yang berlimpah. Tiada lah yang lebih manis dari balasan-Nya, atas segala perjuangan dalam bentuk apapun.
Sadarilah, salah satu ujian iman tertinggi adalah ketika diri tak menyadari.. posisi tertinggi hati, tak lagi Allah yang menghuni. Terkelabui oleh cinta yang katanya sejati, padahal hakikat kehadirannya.. hanya untuk menguji. Bersibuk memantaskan diri karena jodoh, bukan lagi karena Allah.
Apabila tulisan ini sulit dipahami saat ini, insyaAllah suatu hari nanti.
Salam sayang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar