Sabtu, 16 Maret 2013

Siapakah Kita?


Siapakah Kita?


BANI BACAN HACANTYA YUDANAGARA


Kita Ini Manusia
Pencarian identitas adalah hal yang selalu menjadi topik hangat ketika seseorang beranjak dewasa, mungkin karena identitas adalah penggerak dalam hidup dan karena identitas adalah esensi seorang manusia. Begitu juga saya, ketika raga ini terus tumbuh, ada hal-hal yang begitu menggelitik dan harus segera digaruk. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benak saya mengenai apapun. Siapakah saya? Akan menjadi apakah nanti? Sebenarnya apa yang saya sukai? Seiring berjalannya waktu, euforia kehidupan peralihan (baca: remaja) yang menyediakan berjuta pengalaman baru menelan pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah saya tanyakan pada siapapun kecuali diri saya sendiri.
Namun, pertanyaan-pertanyaan tersebut kembali muncul ketika mendekati kelulusan SMA. Mengapa muncul lagi? Mungkin karena kekhawatiran saya akan masa depan. Saya akan tinggal jauh dari orang tua dan setelah kuliah saya akan memasuki jenjang kehidupan yang sangat berbeda dengan kehidupan saya sebelumnya. Di titik inilah saya berpikir, betapa bodohnya saya jika menjawab pertanyaan mendasar tentang hidup saja tidak bisa. Padahal kehidupan akan terus berlanjut dan tak bisa dipungkiri, cepat atau lambat, hidup akan berakhir juga. Rasanya rugi jika hidup yang sebentar ini berlalu tanpa makna.
Alhasil, setelah proses pencarian coba-coba yang saya lakukan, saya menemukan jawaban yang begitu sederhana: saya, kamu, kita adalah manusia.
Kata manusia menyimpan begitu banyak esensi sekaligus tanggung jawab. Manusia bukan sekadar kata benda biasa karena ia adalah makhluk Tuhan yang paling sempurna. Dalam penciptaannya, manusia diberi banyak sekali keistimewaan. Ia dianugerahi akal dan pikiran yang dapat mengantarkannya untuk memiliki kebudayaan dan menciptakan simbol-simbol luar biasa menakjubkan, termasuk bahasa. Penciptaan manusia dengan keistimewaan ini tentunya bukan tanpa alasan. Segala keistimewaan ini diberikan karena manusia memiliki tanggung jawab yang juga luar biasa istimewa, tanggung jawab kepada penciptanya, kepada sesamanya, dan kepada alam semesta di sekelilingnya.


Kita Ini Unik
Each of us is a flower which is only one of in the whole world. Each of us has our own seeds. So let’s just do our best to make them grow into flowers.
Alam telah mengajarkan pada kita bahwa keunikan adalah keniscayaan. Tiap bintang yang ada di langit memiliki cahayanya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Namun, bukan berarti satu bintang lebih baik dari bintang lainnya.
Layaknya bunga, masing-masing dari kita adalah bunga yang hanya ada satu di dunia. Bunga, apapun jenisnya akan indah dengan caranya sendiri. Begitu juga kita sebagai manusia. Kita memiliki cara masing-masing untuk menampilkan diri. Yang terpenting bukan saya harus menjadi sosok seperti apa, tapi usaha terbaik apa yang sudah saya lakukan.
Selama belajar di fakultas psikologi, saya belajar banyak tentang menghargai perbedaan. Setiap manusia itu berbeda dan tidak bisa disamakan.  Mereka punya kepribadian berbeda, potensi berbeda, gaya berkomunikasi berbeda, dan kesukaan yang berbeda pula. Tetapi satu hal yang pasti, tiap-tiap manusia punya kekuatan yang tidak terbatas.
Jangan pernah merendahkan diri sendiri karena kau tidak sama dengan orang-orang di sekitarmu. Saya selalu berusaha menemukan passion saya dan “menghajarnya” dengan terjun dan berbuat yang terbaik di sana.
Untuk menyalurkan passion saya di kegiatan pengabdian masyarakat, saya mengikuti sebuah komunitas yang menaruh perhatian pada isu diskriminasi terhadap orang yang pernah mengalami kusta. Saya belajar banyak hal dari kegiatan workcamp yang dilakukan di sebuah desa koloni kusta. Saya belajar bahwa manusia adalah makhluk yang kuat luar biasa dan sekaligus lemah. Namun, satu hal yang perlu ditekankan, jangan pernah menilai orang lain hanya dari penampilannya, jangan pernah sekalipun meremehkan orang lain atau bahkan memandang sebelah mata. Kita mungkin tidak pernah tahu kekuatan apa yang tersimpan di dalam sosok seorang manusia.
Ketika mengikuti workcamp, saya tinggal selama 14 hari di sebuah desa yang bernama Desa Nganget di daerah Tuban, Jawa Timur. Desa Nganget adalah desa terpencil yang berada di antara hutan jati. Jaraknya cukup jauh dari perkotaan, sekitar 30 km dari kota terdekat, Bojonegoro, Jawa Timur. Penduduk desa ini telah mengalami asam garam kehidupan. Mereka telah melalui pahitnya kehidupan. Mereka kesepian tanpa sanak saudara; mereka kehilangan sebagian anggota tubuhnya; mereka tidak berani melihat dunia luar yang sesungguhnya begitu luas; mereka menerima nasibnya: menjalani hidupnya sampai akhir hayat di tempat itu karena keterbatasan pilihan.

Foto 1. Menuju Desa Nganget
(Dok. Bani Bacan Hacantya Yudanagara)


Berbagai kegiatan yang saya lakukan selama dua minggu di desa tersebut berhasil menyentuh hati saya dan membuat saya tersentak. Penduduk desa ini begitu kuat menanggung beban fisik dan psikologis yang amat berat. Di wajah mereka yang keriput selalu tersisip senyuman meski kadang bercampur dengan kegetiran. Namun, ketulusan mereka benar-benar dapat saya rasakan. Mereka bisa memberikan dengan senang hati apa yang tersimpan di lemari makanannya, seperti kacang, buah, sayuran, kue kering, bahkan mie instan pun mereka keluarkan untuk kami yang bukan siapa-siapa.
Saya menyadari bahwa bukan materi yang dapat menciptakan kebahagiaan, melainkan ikatan-ikatan keluarga yang tulus terbentuk karena kita adalah makhluk yang sangat lemah. Kita saling membutuhkan. Kita bahkan butuh orang lain untuk sekadar tahu nama kita. Keluarga-keluarga di sana tidak membutuhkan rumah karena selalu ada tempat kembali di dalam setiap hati kami.

Foto 2. Bersama warga Desa Nganget
(Dok. Bani Bacan Hacantya Yudanagara)

Kita Ini Pemimpin, Pemimpin Itu Wajib Berkarya
Seringkali kita menganggap apa yang kita lakukan hanyalah suatu yang kecil dan tak berarti. Tetapi ingat, setetes air akan sangat berharga ketika kau kehausan di tengah panasnya padang pasir. Teruslah melangkah. Maka, nanti akan banyak yang mengikutimu. Jangan selalu hanya menjadi penonton karena semua orang juga bisa. Tujulah lapangan dan jadilah pemain kehidupan. Jangan menunggu bukti, tapi jadilah bukti itu sendiri.
Masing-masing dari kita pasti memiliki potensi untuk memimpin. Seseorang minimal dapat memimpin dirinya sendiri. Namun, apakah kita mau menjadi orang yang biasa-biasa saja? Kalau saya harus memilih, saya ingin menjadi orang yang luar biasa di hidup yang hanya sekali ini. Saya yakin, saya terlahir sebagai pemimpin (khalifah) sebagaimana manusia lain di dunia ini. Saya juga yakin, pemimpin itu bukan berarti memiliki kekuasaan yang besar atau pengikut yang mengiyakan setiap perkataannya. Pemimpin, bagi saya, adalah sosok yang senantiasa berkarya dan bermanfaat bagi sekitarnya sampai akhirnya orang-orang tergerak untuk melakukan kebaikan bersama.
Salah satu perjalanan saya untuk berkarya lebih adalah ketika saya ikut serta dalam ajang pemilihan mahasiswa berprestasi (mapres) di Fakultas Psikologi. Ajang pemilihan mahasiswa berprestasi adalah ajang tahunan yang diselenggarakan di tingkat fakultas, universitas, dan nasional. Tidak banyak orang yang berani mengambil keputusan untuk mengikutinya (sekadar mendaftar dan mengikuti prosesnya). Ada beribu alasan untuk menyerah sebelum bertanding: merasa tidak pantas, malu, nanti dikira sok, dan alasan-alasan klise lainnya. Belum lagi menimbang proses yang akan dilewati ke depannya, seperti mempersiapkan CV, karya tulis, dan kemampuan berbahasa Inggris. Persiapan CV cukup membuat kepala pusing karena saking banyaknya kolom yang harus diisi. Penyusunan karya tulis membutuhkan referensi bacaan yang tidak sedikit. Selain itu, dibutuhkan pula kemampuan berbahasa Inggris yang memadahi, baik secara oral maupun tulis. Meskipun demikian, keberanian untuk memanfaatkan kesempatan yang ada dengan mengikuti ajang pemilihan mapres adalah salah satu fase terindah dalam hidup saya.
Saya sama sekali tidak merasa menjadi orang yang paling hebat di Fakultas Psikologi. Masih banyak teman lain yang lebih mahir berbahasa Inggris, lebih mantap rekam jejaknya di organisasi, dan lebih berpengalaman dalam membuat karya tulis ilmiah. Sungguh, pencapaian mahasiswa berprestasi yang saya dapatkan ini adalah anugerah dari Tuhan. Segala pengalaman dan prestasi yang mengantarkan saya mendapatkan gelar Mapres adalah dari Tuhan, oleh Tuhan, dan untuk Tuhan.
Ketika akan mengikuti ajang pemilihan mapres, saya berdialog terlebih dulu dengan diri saya sendiri. Kenapa, sih, saya harus ikut mapres? Apa yang bisa saya dapatkan dari perjuangan yang melelahkan dan menyita hampir sebagian besar waktu saya itu? Mungkin memang ada reward eksternal berupa hadiah yang cukup menggiurkan. Selain itu, bisa, lho, jadi semakin dikenal orang. Namun, apakah hanya sebatas itu? Sepertinya terlalu dangkal jika motivasi saya hanya sebatas mencari materi dan popularitas. Saya tersadar ketika kemudian saya membaca sebuah kumpulan tulisan dari mapres se-UI tahun 2010. Saya tersadar, saya ada di dunia ini untuk melakukan sesuatu! Saya menemukan jawaban bahwa saya ada untuk menebar kebaikan sebanyak-banyaknya dan mencegah kemungkaran.  Saya selalu ingin bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekitar saya. Dengan menjadi mapres, kesempatan untuk menginspirasi teman-teman akan semakin terbuka lebar. Selain itu, akses untuk melakukan aksi-aksi sosial langsung ke masyarakat juga semakin luas karena ada program-program pembinaan dari UI untuk mapres dan aktivis organisasi. Program-program pembinaan tersebut mendorong pesertanya untuk berkontribusi langsung ke masyarakat melalui proyek-proyek sosial.

Foto 3. Malam Apresiasi Mahasiswa Berprestasi Universitas Indonesia 2012
(Dok. Bani Bacan Hacantya Yudanagara)

Nyatanya, pintu itu memang terbuka lebih lebar ketika saya telah meraih gelar Mapres. Saya berhasil melampaui batas yang telah saya tetapkan pada diri sendiri. Saya bisa menginspirasi orang di sekitar saya untuk ikut berprestasi. Saya bisa lebih mudah mengajak teman-teman saya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat.
Mapres bukanlah tentang gelar, tetapi ini tentang tangung jawab yang besar. Tanggung jawab untuk menjadi teladan, tanggung jawab untuk bisa berkontribusi lebih, dan tanggung jawab untuk lebih berprestasi. Dengan semua tanggung jawab ini, saya merasa lebih termotivasi untuk berbuat lebih.
Kawan, percayalah, setiap mahasiswa sejatinya adalah mahasiswa berprestasi ketika dia berkarya dan memberikan kontribusi bagi orang-orang, lingkungan, dan masyarakat di sekitarnya.
Selamat berkarya!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar