Sabtu, 16 Maret 2013

Rahasia Kecil Si Pemimpin


Rahasia Kecil Si Pemimpin


DEWI HERMAWATI RESMININGAYU


“Hah, membuat tulisan mengenai pemimpin?
Are you kidding me?
Demikianlah respon saya ketika pertama kali diminta menulis mengenai pemimpin. Sekelebat ketakutan menyelinap karena barangkali pembaca akan merasa saya tidak kompeten untuk membuat tulisan mengenai pemimpin dan kepemimpinan. Oleh karena itu, dalam esai ini saya akan berbagi “rahasia kecil” saya mengenai kepemimpinan dan bagaimana saya mempraktikkannya ketika menjadi pemimpin. Dengan demikian, pembaca bisa lebih bebas dalam menilai potensi kepemimpinan yang saya miliki.
Dalam tulisan ini, saya akan menyebut organisasi sebagai suatu perkumpulan yang harus dipimpin oleh seorang pemimpin. Dalam praktiknya, organisasi ini bisa berbentuk apa saja, misalnya kepanitiaan, Badan Eksekutif Mahasiswa, organisasi siswa intrasekolah, dan sebagainya. Istilah organisasi ini digunakan dengan tujuan mempermudah pembahasan saja.
The last but not least, happy reading!

Pemimpin Luar Biasa!
Jadi pemimpin? Bagi sebagian orang, jabatan yang satu ini seringkali dihindari. Pasalnya, kabar burung dari seantero Nusantara telah mengamini bahwa menjadi pemimpin bukanlah pekerjaan yang mudah. Bayangkan saja, seorang individu harus bertanggung jawab atas belasan, puluhan, ratusan, hingga bahkan milyaran orang. Tentu saja kebanyakan dari mereka yang diberi tawaran menjadi pemimpin akan berkata, “No. It’s a BIG NO!”
Lain halnya dengan sebagian orang yang sangat antusias menjadi pemimpin. Tak peduli kabar burung berkata apa, mereka berpacu dan melaju, memburu posisi yang bergengsi itu. Berbagai alasan mereka kemukakan. Contohnya saja, menjadi pemimpin berarti bebas membuat aturan sesuai dengan yang mereka kehendaki, alih-alih terperangkap dalam aturan yang dibuat orang lain. Alasan yang lain, menjadi pemimpin berarti membuka kesempatan emas untuk mendapat pengakuan atas kapasitas kepemimpinannya. Apa pun latar belakangnya, inti dari tujuan mereka adalah menjadi orang nomor satu.
Sekarang, mari tinggalkan mereka yang tak ingin maupun mereka yang bersemangat ingin menjadi pemimpin. Saatnya saya bertanya pada pembaca, pernahkah kalian mendapat posisi menjadi pemimpin? Jika iya, bagaimana proses yang kalian lalui untuk menjadi pemimpin? Apakah melalui pemilihan suara layaknya presiden beserta kampanye melelahkan yang berlangsung selama berhari-hari? Ah, itu sudah biasa. Atau barangkali musyawarah para anggota dengan intensitas debat yang cukup panas? Proses ini juga lumrah ditemui. Akan tetapi, adakah dari kalian yang menjadi pemimpin melaui penunjukan luar biasa?
Alih-alih menjawab iya atau tidak, mungkin pembaca malah bertanya-tanya, “Apa itu penunjukan luar biasa?” Sebenarnya ini istilah yang saya ciptakan sendiri. Wajar jika terdengar asing di telinga pembaca. Penunjukan luar biasaini terjadi ketika kalian sebenarnya bukan orang nomor satu dalam sebuah organisasi tetapi diangkat menjadi pemimpin karena sang orang nomor satu mendadak tidak bisa menjalankan tugas sampai akhir. Jika ada yang memiliki pengalaman ini, ayo angkat tangan! Bagi yang mengacungkan tangan, selamat menikmati kemiripan-kemiripan cerita kalian dalam tulisan ini. Bagi yang tidak, selamat menelusuri sebuah pengalaman yang bisa jadi akan kalian alami dalam fase-fase kehidupan yang akan datang.
Pemimpin yang diangkat melalui penunjukan luar biasaini saya sebut sebagai pemimpin alternatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata alternatif berarti pilihan di antara dua atau beberapa kemungkinan. Dengan kata lain, alternatif berarti bukan satu-satunya. Dalam Tesaurus Bahasa Indonesia pun, padanan kata alternatif adalah pengganti, substitusi, surogat.
Mengapa saya repot-repot menghabiskan satu paragraf hanya untuk membahas definisi kata alternatif? Tak lain dan tak bukan adalah karena kebanyakan pemimpin alternatif seringkali berkecil hati. Karena mereka tidak berada dalam posisi yang pertama, seringkali pemimpin alternatif merasa bahwa dirinya adalah pemimpin yang tidak diharapkan. Mereka hanya sebatas pengganti yang mau tidak mau harus melanjutkan tampuk kepemimpinan.
Sang pengganti ini bisa siapa saja. Dalam sebuah organisasi formal, wakil ketua yang berada satu tingkat di bawah pemimpin biasanya akan menjadi pengganti dan langsung menduduki jabatan orang nomor satu. Dalam kesempatan lain, mungkin organisasi informal, anggota pun dapat diangkat langsung menjadi ketua. Saya lebih suka membahas hal-hal yang tidak biasa. Oleh sebab itu, pemimpin alternatif yang akan saya bicarakan dalam tulisan ini bukanlah seseorang yang ditunjuk menjadi pengganti karena ia merupakan bawahan langsung seperti halnya wakil ketua, melainkan ia yang ditunjuk karena sudah tidak ada lagi yang bersedia mengambil alih posisi pemimpin.
Selain alasan tersebut, saya memiliki pengalaman pribadi menjadi pemimpin alternatif. Sejauh ini, sudah tiga kali saya menjadi pemimpin alternatif dalam sebuah organisasi yang bobrok dan oleng. Mungkin tinggal menunggu tiupan angin lembut untuk membuat organisasi itu benar-benar roboh. Ya, hampir tidak ada seorang pun yang mau menjadi orang nomor satu dalam organisasi yang sudah hancur.
Ketika posisi itu ditawarkan dan diberikan paksa pada saya, mau tidak mau, saya menerima posisi yang katanya hebat itu. Alasannya sederhana: saya teringat mimpi-mimpi besar kami di awal terbentuknya organisasi. Jika organisasi ini roboh, mimpi-mimpi besar itu hanya akan menjadi visi usang yang terlupakan.
Alasan saya mungkin terdengar sangat idealis, tapi jika ada yang menanyakan bagaimana rasanya, saya akan menjawab singkat saja: rasanya seperti permen Nano-Nano. Berjuta rasa campur aduk menjadi satu. Pasrah, kesal, takut, khawatir, cemas, gugup, getir, geram, dan berbagai perasaan yang tak bisa dilukiskan dengan kata-kata.
Akibat hal-hal yang saya sebutkan di atas, dapat dipahami jika pemimpin alternatif biasanya cenderung berkecil hati. Ia seolah jatuh tertimpa tangga. Sudah menjadi yang kedua, diserahi organisasi bobrok pula. Bagaimana tidak berkecil hati?
Jika kalian berada dalam posisi ini dan berkecil hati, think the other way round! Pertama, menjadi yang kedua” bukan berarti menjadi yang lebih tidak baik. Selalu ada alasan mengapa kita ditunjuk untuk menggantikan yang pertama. Alasan-alasan itu pastinya berkiblat pada kinerja kita selama berada dalam suatu organisasi. Melalui kinerja tersebut, kelebihan dan kekurangan kita sudah terdeteksi sehingga orang-orang bisa menilai kapasitas kita di dalam organisasi tersebut.
Selain itu, satu poin tambahan ketika kita menjadi yang kedua adalah kita sudah banyak berinteraksi dengan anggota-anggota lain selama masa kepengurusan berjalan. Bandingkan dengan pemimpin pertama yang dipilih berdasarkan kehebatannya di tempat lain. Bisa jadi ia memang hebat di tempat lain, tetapi sebenarnya tidak berkompeten di bidang organisasi yang dia pimpin saat ini.
Mungkin kalian berpikir, jangan-jangan tulisan ini hanya pemanis buatan untuk memacu semangat. Kawan, percayalah, sebobrok apa pun suatu organisasi, tak akan ada anggota yang mau menunjuk pemimpin secara asal-asalan. Pasti muncul pertanyaan ini di dalam kepala setiap orang yang mencari sosok pemimpin, Pantaskah ia menjadi pemimpin?”
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa dalam suatu organisasi, anggota memilih seorang pemimpin karena mereka percaya pada kapasitas orang yang bersangkutan. Kepercayaan itu harganya sangat mahal, kawan. Jangan pernah mengecewakan orang-orang yang telah memberi kepercayaan dengan sikap pesismis akibat menjadi “yang kedua”.
Kedua, jangan panik! Melihat sisa-sisa yang ditinggalkan pemimpin sebelumnya, praduga bahwa tugas kalian akan berat untuk ke depannya pasti muncul. Namun, ingat, menjadi pemimpin bukan berarti bekerja sendirian! Pemimpin memang hanya satu, tapi hakikat pemimpin adalah mereka yang bisa merangkul anggotanya untuk bekerja sama dengan baik. Apakah ada kerjasama yang dilakukan sendirian? Tentu saja tidak.
Bangun kembali mimpi-mimpi awal untuk memupuk semangat bersama. Pelajari kekurangan-kekurangan yang menjadikan organisasi itu sulit mencapai visi dan misinya. Perbaiki sedikit demi sedikit. Jika ada satu-dua pihak yang mengeluh dan berkomentar bahwa kita tidak becus, jangan ciut! Kita bukan ibu peri dengan bubuk ajaib yang sekali ditaburkan, “wuuuush!”, semua yang buruk akan jadi baik. Tentu saja tidak semudah itu.
Hal yang sering dilupakan oleh banyak orang adalah proses. Ibu saya sering berkata, “Mana ada hal instan yang baik?” Mari kita data: mi instan, bubur instan, bumbu instan, kopi instan, dan barang-barang instan lainnya. Apakah semua yang berakhiran dengan kata instan lebih baik daripada produk alami yang untuk menikmatinya saja membutuhkan proses? Tentu saja tidak. Semua makanan instan itu memang terlihat enak dan praktis, tapi seringkali semua itu dibarengi dengan efek jangka panjang yang negatif.
Begitu pula dalam memperbaiki organisasi yang buruk manajemennya. Butuh proses.  Bukan sim sala bim kemudian selesai. Kalau prosesnya cepat, bak dibantu Jin Aladin, semua orang pastinya tak keberatan jadi pemimpin.
Seandainya hasil kerja di akhir tidak sesuai harapan, hal itu tidak menjadi masalah, toh kita bukan Tuhan. Mungkin akan ada cacat di sana-sini. Namun, usaha terbaik yang diberikan untuk memperbaiki yang rusak itu pada dasarnya sudah merupakan pencapaian tersendiri. Akan tetapi, jangan sekali-kali menjadikan posisi kalian sebagai yang kedua itu sebagai dalih atas kecacatan yang ada. Ini sama halnya dengan mencari kambing hitam. Oke?
Ketiga, sesuaikan diri dengan jabatan baru. Berganti jabatan berarti beradaptasi dengan lingkungan baru yang mungkin masih terasa asing bagi kita. Oleh karena itu, kenali posisi dan tugas-tugas kita dengan sebaik-baiknya. Kebanyakan pemimpin yang gagal adalah mereka yang tidak mengerti tugas dan posisinya. Akan tetapi, jangan sampai lupa, pemimpin bukan berarti seseorang yang paling berkuasa. Di atas pemimpin masih ada pemimpin yang lain. Misalnya, pemimpin di Badan Eksekutif Mahasiswa. Walaupun memegang posisi teratas, ia masih berada di bawah Direktorat Kemahasiswaan kampus (mungkin setiap perguruan tinggi memiliki istilah yang berbeda).
Mengutip perkataan Arief Munandar, “Pemimpin kadang lupa akan pentingnya membangun relasi dengan pihak yang lebih tinggi. Arief Munandar mengilustrasikan bahwa mahasiswa yang menjadi pemimpin organisasi memiliki kecenderungan untuk mendekat pada Direktorat Kemahasiswaan kalau ada maunya saja. Oleh sebab itu, wajar jika pihak Direktorat Kemahasiswaan enggan membantu. Jika relasi antara mahasiswa dan Direktorat Kemahasiswaan dibina dengan baik sejak awal, tentunya Direktorat Kemahasiswaan tidak akan segan mengulurkan bantuan. Urusan birokrasi pun akan menjadi lebih mudah.
Seperti kata pepatah, di atas langit masih ada langit. Pasti akan ada seseorang yang lebih berkuasa di atas seorang pemimpin yang sedang berkuasa. Oleh karena itu, pemimpin harus memahami posisinya dan mengetahui apa yang harus dilakukan.
Sebagai penutup, saya menyimpulkan bahwa pemimpin alternatif adalah pemimpin yang luar biasa karena mereka “ditunjuk secara luar biasa”. Mereka bersedia mengemban amanah yang tak terselesaikan. Oleh sebab itu, mereka patut diacungi jempol.



What I Have Done…
Terkait dengan pemikiran  di atas, ada satu pengalaman yang sangat berkesan bagi saya. Pada saat itu saya sedang mengikuti kepanitiaan dalam rangka menyelenggarakan sebuah pementasan drama. Kepanitiaan ini wajib diikuti oleh mahasiswa/i program studi Inggris FIB UI dan berlangsung selama kurang lebih tiga bulan. Di tengah perjalanan, pimpinan produksi (Pimpro) mendadak tidak bisa menjalankan tugasnya. Dengan semena-mena, teman-teman menunjuk saya untuk memegang jabatan paling mengerikan itu.
Jujur saja, saya orang yang paling buta seni. Selain itu, banyak sekali hal yang harus dikejar dalam waktu satu setengah bulan. Masalah paling rumit adalah mengenai penggantian tanggal pementasan. Ketika jabatan sebagai pimpinan produksi dialihkan ke pundak saya, saya merasa tim kami tidak siap sehingga akan lebih baik jika pementasan tersebut dimundurkan satu minggu.
Hal ini sungguh tidak semudah membalikkan telor dadar dalam wajan. Mengganti tanggal pementasan berarti mencari tempat baru untuk melaksanakan pementasan. Itu bukan hal yang mudah dilakukan karena mahasiswa/i FIB UI benar-benar hobi membuat acara. Semua auditorium sudah dipesan. Pun ada anggota yang tidak bisa turut tampil jika tanggal pementasan diganti. Banyak sekali pertimbangan yang membuat dunia rasanya tidak nyaman lagi untuk ditinggali. Pening, kalut, dan stres bercampur jadi satu.
Mengutip kata Arief Munandar, “Jangan menunda dalam membuat keputusan. Jika keputusan yang diambil salah, toh kita masih bisa memutar otak untuk mencari solusinya. Dan jika keputusan itu benar, maka kita bisa melanjutkannya. Apabila kita terlalu banyak menunda sehubungan dengan adanya berbagai macam pertimbangan, bagaimana kita bisa tahu bahwa keputusan kita itu benar atau salah?”
Singkat cerita, keputusan pun diambil. Tak lupa keputusan ini didiskusikan terlebih dahulu dengan dosen pembimbing sebagai seseorang yang memiliki posisi lebih tinggi. Satu masalah pun selesai.
Tanggal sudah ditetapkan. Akan tetapi, masih ada masalah-masalah lain yang menunggu dan menuntut untuk diperhatikan, seperti masalah tata rias, kostum, properti, musik, dan lain-lain. Dihadapkan dengan posisi yang seperti ini, seperti yang sudah saya utarakan di awal, rasanya seperti permen Nano Nano: berjuta rasanya! Efeknya? Tidur tak tenang, bangun pun enggan. Akan tetapi, saya tidak sendiri. Menjadi pemimpin berarti bertanggung jawab atas semuanya, tapi bukan berarti mengerjakan semuanya! Ada tim yang bisa diajak bekerja sama. Ada para senior yang bisa dimintai pendapat dan diajak berdiskusi.
Singkat cerita lagi, pementasan saya pun terlaksana. Ketika pementasan sedang berlangsung pun saya tetap tak tenang, takut apabila di tengah-tengah pementasan akan muncul masalah yang mengacaukan semuanya. Akan tetapi, perjuangan berdarah-darah nan berkesan itu terbayar lunas di akhir pementasan. Ketika sutradara, para aktor, pimpinan produksi, dan segenap kru muncul dari balik layar, para penonton berhamburan menghampiri kami dan berkata, “Good job!” Wajah-wajah yang tersenyum, binar di mata penonton, serta berbagai pelukan selamat yang saya terima seketika menghapus segala letih, peluh, dan jenuh yang sempat bersemayam dalam diri saya. Satu ucapan yang paling membekas adalah, “Selamat ya, Bu Pimpro! Pementasannya sukses!”
“Beban terberat dalam sebuah pementasan adalah membuat penonton puas”, ucap dosen saya. Ucapan-ucapan yang saya sebutkan tadi bukan berarti saya berbangga diri. Ucapan itu mencerminkan bahwa secara umum penonton puas dengan pementasan kami. Kepuasan yang tampak dari wajah dan ekspresi mereka merupakan hal paling menakjubkan sekaligus kado terindah yang membuat saya merasa menjadi manusia paling bahagia.
Pun demikian, bukan berarti pementasan ini tanpa cacat. Ada banyak hal yang tidak terkejar. Dosen saya bahkan hanya memberi nilai B untuk pementasan ini. Bagi saya bukan masalah, karena memang inilah hasil dari usaha terbaik yang telah saya lakukan. Saya tidak menyesal menjadi pemimpin alternatif. Pengalaman ini begitu berharga dan tidak bisa ditukar dengan emas 100 karat sekalipun.


Foto 1. Pesan dan kesan para penonton yang ditulis setelah menyaksikan pementasan Ada Apa dengan Otong?
(Dok. Dewi Hermawati Resminingayu)

Saya Perempuan, so What?
Sudah tak terhitung banyaknya keluhan yang saya dengar mengenai kepemimpinan perempuan. Jujur, saya sudah jengah dengan keluhan-keluhan yang intinya sama: menyalahkan sifat-sifat feminin yang dimiliki perempuan. Sifat-sifat tersebut dikatakan tidak sesuai dengan sifat yang diharapkan ada pada seorang pemimpin.
Misalnya saja, perempuan cenderung indecisive sehingga kadang mereka tidak bisa membuat keputusan dengan cepat dan tepat. Dengan kata lain, perempuan menimbang terlalu banyak hal dan tidak bisa menentukan keputusan mana yang terbaik. Hal ini tentu saja akan mengganggu dinamika suatu organisasi.
Selain itu, perempuan dipandang sebagai makhluk yang terlalu sensitif. Sifat ini tidak baik dimiliki oleh seorang pemimpin. Pasalnya, sensitivitas itu akan mudah merusak suasana hati dan membuat kondisi mental perempuan menjadi tidak stabil. Akibatnya, perempuan tidak bisa berpikir jernih dan ujung-ujungnya mengganggu kestabilan suatu organisasi.
Hal yang paling mengganggu adalah ketika sifat-sifat perempuan itu mulai dibanding-bandingkan dengan sifat laki-laki. Banyak pendapat yang mengatakan kepemimpinan laki-laki lebih baik daripada perempuan dengan mengesampingkan konteks kepemimpinan tersebut. Sekali lagi saya katakan bahwa ini cukup mengganggu. Hal ini bukan karena saya perempuan, melainkan karena pendapat tersebut dikemukakan tidak pada tempatnya. Oleh karena itu, saya merasa perlu meluruskan beberapa hal di sini.
Saya beri satu rahasia kecil yang seringkali tak terlihat secara kasat mata: sifat-sifat perempuan yang saya sebutkan di atas tersebut hanyalah konstruksi sosial. Artinya, sifat-sifat seperti terlalu sensitif, indecisive, lemah, dan sifat-sifat feminin lainnya merupakan dogma yang sudah ditanamkan pada para perempuan sejak lahir.
Mari sejenak kembali ke masa kecil masing-masing. Sadar atau tidak sadar, kebanyakan orang tua akan membedakan mainan yang mereka belikan untuk anak perempuan dan laki-laki. Perempuan akan mendapat boneka dan peralatan masak-memasak yang terbuat dari plastik. Ketika main rumah-rumahan, perempuan jelas akan berperan sebagi ibu yang bertugas merawat boneka barbie (yang dianggap sebagai bayi) dan membeli sayur plastik untuk memasak.
Sementara itu, anak laki-laki mendapat mobil-mobilan yang umurnya mungkin hanya akan bertahan paling lama sebulan. Mobil-mobilan tersebut seringkali digunakan untuk ngebut ketika bermain bersama teman-teman lainnya. Ketika mobil-mobilan itu rusak, komentar yang paling sering terdengar adalah, “Ah, namanya juga anak laki-laki.” Coba saja ketika anak perempuan memanjat pohon, kebanyakan orang akan berkata, “Perempuan, kok, manjat-manjat?”
Bahkan buku pelajaran kita sejak SD pun mengilustrasikan hal serupa, “Budi bermain bola. Ani pergi ke pasar bersama ibu.” Iya atau iya?
Dengan pembedaan perlakuan terhadap anak perempuan dan laki-laki ini, maka lingkungan sekitar, baik keluarga, masyarakat, maupun sekolah, berperan dalam menanamkan sifat yang diharapkan dimiliki oleh perempuan dan laki-laki. Proses penanaman mana yang pantas dan mana yang tidak pantas inilah yang kita sebut sebagai konstruksi sosial.
Saya menulis mengenai konstruksi sosial ini bukan berarti tanpa dasar akademis atau hanya subjektivitas belaka. Teori mengenai konstruksi sosial sifat-sifat perempuan dan laki-laki ini dapat ditemui di banyak buku dan artikel seperti Women and Gender besutan Mary Crawford dan Rhoda Unger serta Bargaining with Patriarchy karya Denis Kandiyoti.
Jika masih tidak percaya ataupun merasa terlalu malas untuk membaca buku-buku tebal tersebut, saya akan mengutip Millett yang mengusulkan istilah canggih dalam bidang ini, yaitu expressive traits dan instrumental traits (dalam Eisenstein: 1984, 8). Expressive traits merupakan sifat pasif yang dilekatkan pada kaum feminin (perempuan), misalnya karakter penurut, baik hati, dan ramah. Sementara itu, instrumental traits adalah karakter aktif kaum maskulin (laki-laki) seperti agresif, ambisius, dan penuh rasa ingin tahu.
Kembali pada konteks Indonesia dan contoh-contoh di atas. Konstruksi sosial bahkan diinternalisasikan melalui permainan-permainan anak-anak. Dengan bermain peran sebagai ibu dan tidak memainkan permainan laki-laki, anak perempuan diharapkan memiliki expressive traits. Seperti yang dikatakan Millett, expressive traits ini merupakan karakter pasif. Alhasil, orang yang pasif tidak akan cocok untuk menjadi pemimpin. Salah satu contoh karakter pasif ini adalah sifat indecisive yang merupakan turunan dari sifat penurut yang disebutkan Millett. Anak perempuan dibiasakan untuk menuruti keputusan yang ada sehingga ia tidak pernah terbiasa mengambil keputusan. Alhasil, ia terbentuk menjadi pribadi yang indecisive.
Hal inilah yang membuat saya jengah. Namanya saja konstruksi sosial, berarti sifat-sifat feminin itu adalah nurture, bukan nature! Bedakan antara mana yang kodrat dan mana yang bentukan. Saya kira, perbedaan ini cukup jelas sehingga tidak perlu saya jelaskan lebih detail. Intinya, sifat-sifat yang kita pelajari sejak kecil sebenarnya bukanlah hal alami yang pasti dimiliki semua perempuan, melainkan hanya hal yang terbentuk melalui konstuksi. Adalah pilihan kita untuk mengikutinya atau tidak.
Jika seorang anak perempuan menolak untuk menerima dogma-dogma feminin yang tidak baik, misalnya indecisive, ia akan bisa menjadi tegas dalam membuat keputusan. Bagi para perempuan yang membaca tulisan ini, mohon jangan pernah menggunakan excuse bahwa kalian perempuan sehingga kinerja kalian tidak sebaik laki-laki. Dengan mengamini bahwa kalian tak tegas dan tak cakap, sesungguhnya kalian sudah menguatkan konstruksi sosial yang sudah kuat dan tak perlu dikuatkan lagi.
Dalam hal ini, saya tidak menyalahkan sifat feminin yang sudah terinternalisasi terlalu dalam. Kalau memang sifat itu sudah terinternalisasi, pastinya tidak bisa dipaksa untuk berubah dalam waktu singkat. Saya juga tidak memungkiri bahwa sifat itu dimiliki perempuan pada umumnya. Hal yang ingin saya luruskan adalah bagaimana cara kita memandang sifat itu.
Pertama, yang harus diluruskan adalah generalisasi yang menganggap bahwa semua perempuan pasti memiliki sifat feminin sehingga tidak baik menjadi pemimpin. Sebagai ilustrasi, dalam satu organisasi yang pernah saya ikuti, pemimpin saya merupakan seorang laki-laki yang sangat indecisive. Dia tidak bisa tegas dalam memutuskan sesuatu sehingga memerlukan wakil yang bisa menyokong dia dalam hal pengambilan keputusan. Akan tetapi, dengan adanya sifat itu, apakah orang-orang menyalahkan dia sebagai laki-laki? Tidak. Coba bayangkan jika pemimpin saya itu perempuan dan indecisive, sudah pasti predikat dia sebagai perempuanlah yang akan disalahkan. Komentar yang muncul barangkali semacam, “Namanya aja perempuan, banyak mikirnya. Nggak tegas.”
Sifat perempuan yang feminin telah tertanam sangat dalam di otak kita sehingga ketika ada yang tak beres dalam kepemimpinannya, orang-orang akan menyalahkan statusnya sebagai perempuan. Sementara itu, jika yang indecisive adalah pihak laki-laki, maka orang-orang akan memakluminya sebagai salah satu kekurangannya dalam memimpin.
Di sinilah letak keritingnya masalah kepemimpinan perempuan. Konstruksi sosial yang sudah terlanjur kita telan bulat-bulat membuat kita cenderung menyalahkan ketidakbecusan perempuan karena sifat femininnya.
Setelah membaca tulisan ini, mohon dengan sangat, jangan lagi membawa-bawa namaperempuan ketika menyampaikan keluhan mengenai kepemimpinan perempuan. Pun ketika pemimpin perempuan itu indecisive. Terimalah kekurangannya layaknya menerima kekurangan pemimpin laki-laki yang indecisive. Tak perlu menambah embel-embel, “Tuh kan, kalau cewek yang jadi pemimpin pasti gitu.”
Kedua, kebanyakan orang membandingkan perempuan dan laki-laki tidak pada tempatnya. Karena sudah tertanam dalam konstruksi sosial bahwa perempuan tidak baik menjadi pemimpin, tanpa berpikir panjang mereka akan lebih memilih laki-laki sebagai pemimpin dibandingkan perempuan.
Ketika memilih seorang pemimpin, bukankah kita diminta untuk melihat karakter pemimpin tersebut baik-baik? Apakah dia layak menjadi pemimpin? Apakah dia siap menjadi pemimpin? Ketika dalam suatu komunitas terdapat perempuan yang lebih kompeten menjadi pemimpin dibandingkan semua laki-laki yang ada, manakah yang akan kalian pilih? Jawaban ini saya kembalikan kepada masing-masing pembaca. Saya hanya ingin menyatakan, mohon dengan sangat buatlah perbandingan yang objektif ketika memilih. Jangan berpraduga bahwa perempuan tidak kompeten sebelum melihat kompetensinya dengan mata kepala sendiri.
Dengan menulis mengenai kepemimpinan perempuan ini bukan berarti saya sudah lepas dari beberapa sifat perempuan yang hadir tidak pada tempatnya saat memimpin. Saya juga dalam proses belajar dan akan terus belajar untuk menjadi pribadi yang lebih baik, khususnya dalam hal kepemimpinan.



What I Have Done…
Ini adalah pengalaman terbaru yang sedang saya jalani. Saat ini saya mendapat kesempatan untuk belajar selama satu semester di Universti Malaya. Saya menjabat sebagai class respresentative (class rep) dalam satu kelas yang diikuti oleh mahasiswa/i lokal Malaysia dan mahasiswa/i internasional. Awalnya, class rep yang ditunjuk adalah mahasiswa laki-laki dengan wakil yang juga laki-laki.
Sewajarnya, ketika pemimpin tidak bisa memegang tugas, wakil diharapkan untuk menggantikan. Akan tetapi, keduanya dicap dysfunctional oleh dosen kami. Rupanya dosen kami tidak puas dengan kinerja mereka dan mengharuskan penggantian class rep.
Dengan semena-mena lagi, saya ditunjuk. Yang ditunjuk sebagai wakil saya pun perempuan. Sebenarnya masih ada laki-laki yang menjadi peserta di kelas itu. Namun, ketika saya tanya kenapa mereka tidak mau menjadi class rep, jawabannya seragam, “It is too difficult” atau “too complicated”.
Dalam kesempatan ini, saya mempelajari apa yang salah dalam kepengurusan para laki-laki sebelumnya. Salah satu masalah yang saya temui adalah kurangnya koordinasi karena peserta kelas sangat variatif dan kurang mengenal satu sama lain. Hal yang membuat saya pening adalah fakta bahwa dosen kelas ini sangat perfeksonis. Selain itu, kelas ini adalah kelas multikultural yang dihuni oleh mahasiswa/i dari berbagai negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Jepang, Korea, Maroko hingga Prancis. Kelas yang sangat beragam ini cukup menantang untuk diatur. Pasalnya, budaya yang berbeda membuat ritme kerja kami pun sangat berbeda.
Satu inovasi yang saya lakukan adalah mengumpulkan mereka dalam satu grup melalui jejaring sosial Facebook. Grup itu digunakan sebagai media untuk berdiskusi, saling memberi informasi, sekaligus saling mengenal satu sama lain. Dengan adanya grup ini, bukan berarti masalah selesai karena ada mahasiswa yang tidak memiliki akun Facebook sehingga saya harus menggunakan email dan handphone untuk menghubungi mereka.
Cara lain yang saya lakukan untuk mengatasi perbedaan budaya adalah mengenali mereka lebih dalam melalui kesempatan-kesempatan informal di luar kelas. Istilah kerennya, hang out bersama mereka. Cara ini terbukti cukup ampuh karena forum informal membuat kami lebih cepat belajar mengenai toleransi dan perbedaan. Selain itu, kami pun menjadi lebih dekat dan terbuka. Di bawah ini adalah salah satu contoh foto yang diambil ketika kami menghadiri acara makan malam dengan Menteri Pendidikan Malaysia.
Sejauh ini, saya belum mendengar keluhan apa pun dari dosen maupun peserta kelas. Ketika saya menulis ini, saya belum menyelesaikan masa jabatan saya sehingga belum bisa disimpulkan bahwa saya sukses.
Foto 3. Makan malam bersama Menteri Pendidikan Malaysia
(Dok. Dewi Hermawati Resminingayu)

Saya hanya ingin menyatakan bahwa dalam kelas ini perempuan lebih dipercaya untuk menjadi pemimpin. Sejujurnya, saya sedang menanti predikat apa yang akan diberikan pada saya di akhir semester nanti, entah itu class rep atau class crap!


Referensi
Eisenstein, Hester. 1984. Contemporary Feminist Thought. London: Unwin Paperbacks

Tidak ada komentar:

Posting Komentar