Rabu, 17 Desember 2014

Mengglobalisasikan Filantropi Islam-Indonesia Melalui Peningkatan Sistem Tata Kelola


Rahma Suci Sentia

Indonesia,  Best Practices Pengumpulan dan Pengelolaan Dana Filantropi di Dunia?
Filantropi yang sukses acapkali dikaitkan dengan kisah lembaga-lembaga filantropi internasional, yang mampu mendanai kegiatan sosial lintas negara, seperti Bill Gates Foundation, Ford, Rokefeller, dan MacArthur Foundation. Sejumlah nama yang tentu tidak diasing, baik dari segi ketokohan pemiliknya maupun kesuksesan perusahaan bisnis yang mendanai dibaliknya. Filantropis ini dikatakan sukses dikarenakan program sosialnya yang fokus dan berdampak nyata untuk masyarakat, seperti Bill dan Melinda Gates Foundation yang diklaim sukses mengurangi angka kematian anak-anak akibat diare maupun folio – mereka sejak awal fokus untuk menyelesaikan keterbatasan akses fasilitas kesehatan di negara berkembang-. Lembaga filantropi ini tidak hanya memiliki dana yang besar, yang memiliki tujuan tertentu, tapi juga akuntabel dalam pelaksanaannya, sehingga tak ayal dicap sukses di mata dunia. Walaupun kecenderungan diantara lembaga ini yang lebih suka mendanai program yang terukur dan nyata dalam waktu singkat (Republika, 2010). 

Akan tetapi, jika ditelaah lebih dalam lagi, gerakan masif dari lembaga filantropi, yang disebut Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) –lembaga formal yang mengelola dana sedekah, zakat, dan infaq- di Indonesia, pada dasarnya lebih sukses dan lebih patut diapresiasi. OPZ ini mendanai kegiatannya dari kumpulan dana-dana kecil dari masyarakat yang secara ekonomi sangat jauh dibandingkan filantropis dunia, tetapi melalui lembaga yang terprogram, dana kecil tersebut mampu digunakan untuk beragam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Lebih uniknya lagi, program ini mampu menyentuh daerah-daerah terdekat kota dan  tidakw terkecuali daerah pedalaman di Indonesia, dengan program yang menyesuaikan kekhasan lokal, seperti Dompet Dhuafa (DD) dengan jejaring Lembaga Pertanian Sehat di Jawa Barat, atau DD dengan jejaring Minangkabau Trust Fund untuk pemberdayaan usaha bagi kaum dhuafa di Sumatera Barat. Inilah ‘gerakan kecil-kecil cabe rawit’.
Tidak hanya itu, beberapa OPZ terutama OPZ yang dikelola oleh lembaga dengan karakteristik lembaga independen atau melalui lembaga bisnis di Indonesia, cenderung dikelola lebih transparan dan memiliki pengendalian internal pendistribusian dana yang efektif (Sentia, 2013). Organisasi pun dikelola oleh kalangan intelektual dimulai dengan sistem perekrutan tenaga Sumber Daya Manusia yang selektif dan berkualitas semisal Management Trainee. Selain itu, ia memiliki pembagian program pemberdayaan jangka pendek (semisal Program Sosial-Releif), menengah (Program Kesehatan), dan jangka panjang (Program Ekonomi) dengan langkah taktis program yang jelas. Terlebih,  program jangka panjang merupakan ruh dari OPZ yang memang memiliki tujuan untuk mengentaskan kefakiran dan kemiskinan. 

Jika dibandingkan dengan filantropi sejenisnya -lembaga pengelola zakat di negara lainnya-, kekhasan Indonesia yang tidak dimiliki lembaga lainnya adalah dananya dikumpulkan dan dikelola oleh pemerintah dan juga masyarakat. Hal ini tentu berbeda dengan Arab Saudi, Sudan, Pakistan, Yaman, Libya yang dikumpulkan dan dikelola oleh Pemerintah atau Afrika Selatan, Aljazair oleh masyarakat atau Malaisya yang dikumpulkandan  dikelola oleh Pemerintah dan perusahaan (Indonesia Zakat and Development Report 2010, hal. 78.). Keadaan yang ada ini membuat filantropi seperti zakat menjadi bagian dari pemerintah dan juga bagian dari masyarakat, sehingga gerakan zakat Indonesia lebih hidup dan kreatif  karena bergerak top down dan juga grass root.
 
Bahkan keadaan OPZ sudah bertransformasi dari dahulunya hadir sebatas dalam lingkup amal, sosial, dan invidual menjadi lingkup ekonomi, pembangunan, dan umat. Perubahan ini memberikan double effect bahwa filantropi di Indonesia bukan tentang charity tapi development dan empowerment yang menentukan gerak ekonomi suatu negara. Oleh karena itulah penulis meyakini bahwa OPZ yang ada di Indonesia merupakan salah satu contoh model OPZ yang unik dan bentuk filantropi ideal di mata dunia.  

Meningkatkan Peran Melalui Peningkatan Tata Kelola
Kesuksesan model filantopi Indonesia menjadikan Indonesia sebagai negara yang arah gerak filantropinya menjadi acuan-walaupun untuk saat ini dalam lingkup filantopi secara umum, filantopi Indonesia belum diakui sukses. Akan tetapi pentingnya peran Indonesia bisa dilihat dengan ditunjuk perwakilan Indonesia untuk beberapa periode belakangan ini menjadi Sekjen World Zakat Forum. Kesempatan ini menjadikan Indonesia memiliki lebih banyak wewenang dan kesempatan  untuk lebih membakukan praktik pengelolaan zakat secara umum  agar lembaga filantropi OPZ berjalan profesional. Jika keprofesioanalan OPZ Indonesia bisa dipupuk dan dikembangkan, menjadi hal yang mungkin untuk mengembangkan kerja OPZ Indonesia dalam skop yang lebih menggobal. Hal ini tentu telah dilakukan sebelumnya oleh beberapa OPZ semisal Dompet Dhuafa dengan cabang programnya di Hongkong untuk bantuan advokasi para Tenaga Kerja Indonesia(TKI) atau bantuan aksi cepat tanggap untuk Palestina atau pengumpulan dan pengelolaan dana zakat dari warga negara Indonesia yang bekerja di luar negeri. 

Akan tetapi, peran yang bisa digarap Indonesia bisa melebihi itu, yakni menjadi lembaga pilihan masyarakat muslim ataupun non muslim dunia dalam mengumpulkan dan  mengelola dana filantropi. Hal ini bukanlah mustahil ketika OPZ mampu membuktikan dirinya berbeda dengan lembaga filantropis lain, yang sering dicap sebagai ‘filantropi laba’ atau ‘selebrasi media’ (Nickel & Eikenberry, “MarketizedPhilanthropy”, 2007). Filantropi-filantorpi sejenis inilah yang membuat masyarakat lebih suka memberikan dananya langsung kepada yang menerima daripada mempercayakan kepada lembaga dan membuat program filantopi yang ada hanya sebagai objek kebutuhan pihak tertentu. Pada hakikatnyam, OPZ memang bukan termasuk dari kedua jenis filantopi diatas. Dengan menjadi lembaga filantropi yang bekerja profesional dan dengan sistem yang dapat dipertanggungjawabkan, OPZ dapat menarik lebih banyak jejaring untuk bersatu padu dalam melakukan kegiatan filantopi yang skalanya lebih besar.  Tidak hanya itu, ia juga mampu melipatgandakan pengumpulan dananya karena lebih dipercayai dan  juga lebih optimal dalam melakukan pengelolaan zakat. 

Sebagai illustrasi, ketika pemilik kekayaan mulai sadar akan pentingnya kesyariahan –bebas riba- , mereka  pun mengincar lembaga perbankan syariah  untuk menyimpan dan memutar uang simpanan mereka. Tak ayal uang dari miliarder minyak Arab, bisa terendap di lembaga lembaga keuangan Eropa seperti Inggris karena syariah,  lebih profesional dan aman. Maka, bisakah dibayangkan jika ada sebuah lembaga filantropi dimana miliarder bisa mempercayakan ‘sumbangan’ nya? Berapa banyak dana yang dapat dimanfaatkan dan berapa banyak bantuan yang dapat disalurkan kepada muslim lainnya. Bukankah aneh jika program filantropi di negara mayoritas muslim Afrika, justru hingga kini didapatkan dari lembaga filantropi non islam, semisal Bill Gates Foundation. Padahal sebenarnya kaum muslim sendiri berpotensi besar untuk mengambil peran disana. Lalu, apakah ‘cabe rawit’ OPZ ini bisa menjadi raksasa besar dunia dimasa depan?. 

Penulis kembali meyakini dengan segala  kelebihan yang dimiliki OPZ, pada dasamya OPZ dapat menjadi filantropi kelas internasional jika mampu mengembangkan kapasitas dan kualitasnya tidak hanya didalam mengelola dana filantropi tapi mengelolanya dengan optimal. Selain tentunya adanya program kreatif, jangka panjang, publlik akan lebih peduli dengan adanya keterbukaan dan sistem pengendalian internal dalam pendistribusian zakat yang dapat dipertanggungjawabkan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar